BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR
BELAKANG MASALAH
Masalah perbatasan wilayah erat kaitannya dengan pemahaman dan
pelaksanaan konsepsi wawasan nusantara. Akhir-akhir ini makin marak berita yang
menayangkan berbagai persengketaan wilayah antar negara, mulai dari
persengkataan wilayah oleh Palestina dan Israel yang belum juga menemukan titik
pemecahan sampai detik ini sampai masalah yang terjadi di wilayah Nusantara
sendiri. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan dengan pulau-pulau besar dan
ribuan pulau kecil, dan letaknya yang di antara dua benua dan dua samudra
sangat rawan dengan akan adanya masalah perbatasan ini. Masalah perbatasan
sudah 2 kali terjadi antara Indonesia dan Malaysia yaitu yang pertama
persengketaan mengenai wilayah Sipadan dan Ligitan yang berujung dengan
kemenangan oleh pihak Malaysia, dan kasus yang terbaru mengenai persengketaan
atas wilayah Ambalat. Sebelum membahas mengenai perbatasan Ambalat dan
kaitannya dengan konsep serta implementasi wawasan nusntara, ada baiknya kita
kilas balik mengenai masalah Sipadan dan Ligitan sebagai acuan untuk masalah
ini.
Mahkamah Internasional telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki
kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan pertimbangan
“effectivitee”, yaitu bahwa Pemerintah Inggris telah melakukan tindakan
administratif secara nyata sebagai wujud kedaulatannya berupa penerbitan
ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur
penyu sejak 1930-an, dan operasi mercu suar sejak awal 1960-an. Sementara itu
kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia hampir 15 tahun terakhir tidak
menjadi faktor pertimbangan.
Pada pihak lain, Mahkamah menolak argumentasi Indonesia yang bersandar
pada Konvensi 1891 yang dinilai hanya mengatur perbatasan darat dari kedua
negara di Kalimantan. Garis paralel 4º 10' Lintang Utara ditafsirkan hanya
menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai timur Pulau Sebatik sesuai
ketentuan hukum laut internasional pada waktu itu yang menetapkan laut wilayah
sejauh 3 mil. Sebaliknya, Mahkamah juga menolaak argumentasi Malaysia mengenai
perolehan kepemilikan atas kedua pulau tersebut berdasarkan “chain of title”
(rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu). Hampir tidak dapat dielakkan adanya
rasa kecewa yang mendalam bahwa upaya maksimal yang dilakukan oleh empat
pemerintahan Indonesia sejak tahun 1997 ternyata tidak membuahkan hasil seperti
yang kita harapkan bersama. Suatu fakta penting yang perlu kita ketahui
adalah UU No. 4 Tahun 1960 yang memuat peta Wawasan Nusantara kita dimana ditarik
dengan garis pangkal yang menghubungkan titik terluar dari pulau-pulau terluar
yang dimiliki Indonesia, kedua pulau Sipadan dan Ligitan berada diluar peta
tersebut. Sementara itu perlu juga dicatat bahwa pihak Malaysia juga tidak
memuat kedua pulau tersebut dalam peta-peta mereka hingga tahun 1979. Namun
kita berkewajiban untuk menghormati Persetujuan Khusus untuk bersama-sama
mengajukan sengketa antara Indonesia dan Malaysia tentang kedaulatan atas Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan kepada Mahkamah Internasional, yang ditandatangani
pada tanggal 31 Mei 1997. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia menerima
keputusan Mahkamah Internasional tersebut sebagai final dan mengikat.
(Pernyataan Pers Hassan Wirajuda Tentang Keputusan Kasus Sipadan dan Ligitan) Belajar
dari masalah Sipadan dan Ligitan maka diperlukan suatu pemahaman mengenai
konsep kepulauan Indonesia yang lazim disebut dengan Wawasan Nusantara serta
implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini penting untuk
menjaga keutuhan wilayah Republik Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh
yang terbentang dari ujung barat, sabang ke ujung timur, merauke.
I.2. RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana
Teori Tentang Subjek Hukum ?
2.
Bagaimana
Solusi Kasus Ambalat dan Kaitannya dengan Implementasi Wawasan Nusantara ?
I.3. TUJUAN
DAN MANFAAT
1.
Untuk
Mengetahui Bagaimana Teori Tentang Subjek Hukum.
2.
Untuk
Mengetahui Bagaimana Solusi Kasus Ambalat dan Kaitannya dengan Implementasi
Wawasan Nusantara.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. TEORI
TENTANG SUBJEK HUKUM PIDANA INTERNASIONAL.
Ada dua teori tentang subjek hukum pidana internasional memang
berbeda-beda satu samalainnya. Yang satu menyatakan bahwa yang merupakan subjek
hukum pidana internasional hanyalah negara, yang lain menyatakan bahwa yang
merupakan subjek hukum pidana internasional hanyalah individu.
Teori yang menyatakan bahwa subjek hukum pidana internasional hanyalah
negara karena hak dan kewajiban yang diatur hukum pidana internasional adalah
hak dan kewajiban negara. Adanya ketentuan hukum pidana internasional yang
mengatur individu tidak berarti mendudukan individu tersebut sebagai subjek
hukum pidana internasional. Ketentuan hukum pidana internasional itu mengatur
individu sebagai objek hukum pidana internasional. Ketentuan hukum pidana internasional
mengenai bajaklaut “jure gentium”misalnya adalah ketentuan hukum pidana internasional
yang mengatur hak negara untuk menghukum bajak laut tersebut. Demikian juga
ketentuan hukum pidana internasional tentang budak belian adalah ketentuan
hukum pidana internasional yang mengatur kewajiban negara untuk melindungi
budak belian itu.
Teori yang menyakan bahwa subjek hukum pidana internasional hanyalah
negara di kemukakan oleh Kelsen. Menurut teori ini negara merupakan pengertian
abstrak. Negara merupakan konsep hukum teknis untuk menunjuk sekumpulan
ketentuan hukum yang berlaku pada sekelompok orang yang ada disuatu wilayah
tertentu. Negara adalah sama dengan hukum. Hak dan kewajiban negara dengan
demikian sebenarnya merupakan hak kewajiban orang-orang yang membentuknya. Hukum
pidana internasional mengikat individu secara tidak langsung.
Starke menyatakan bahwa dari segi teori murni, teori Kelsen adalah benar.
Namun dari segi praktik, sebagian besar ketentuan hukum pidana internasional
mengatur hak kewajiban negara. Sebagai pengecualian beberapa perjanjian
internasional juga megatur hak kewajiban individu, misalnya konvensi Jenewa
tahun 1949 tentang tawanan perang. Konvensi ini mengikat individu secara
langsung.
Pemberian konsesi eksplorasi pertambangan di Blok ND7 dan ND6 dalam
wilayah perairan Indonesia. Tepatnya di Laut Sulawesi, perairan sebelah timur
Kalimantan oleh perusahaan minyak malaysia, petronas kepada PT Shell, pada
tanggal16 Februari 2005. Padahal Pertamina dan Petronas sudah lama saling
mengklaim hak atas sumber minyak dan gas di Laut Sulawesi dekat Tawau, Sabah
yang dikenal dengan East Ambalat. Kedua perusahaan minyak dan gas itu sama-sama
menawarkan hak eksplorasi ke perusahaan asing. Blok Ambalat diperkirakan
memiliki kandungan 421,61 juta barel minyak dan gas 3,3 triliun kaki kubik. Pemberian konsesi minyak oleh Malaysia tersebut menimbulkan reaksi dari
berbagai pihak di Indonesia. Klaim tersebut dilakukan Malaysia dengan
argumentasi peta tahun 1979 yang diterbitkan secara sepihak oleh Malaysia. Dan menurut
Marty Natalegawa "Jangankan Indonesia, negara lain saja sudah protes atas
penerbitan peta itu, karena mengubah wilayah perairan di Asia Tenggara,". Protes
terhadap peta itu sudah dilakukan sejak Tahun 1980 dan tetap dilakukan secara
berkala. Indonesia sendiri telah memberikan konsesi minyak kepada beberapa
perusahaan minyak dunia di lokasi ini sejak tahun 1960-an tanpa ada keberatan
dan protes dari negara lain. "Karena memang dilakukan di wilayah
Indonesia.
Malaysia semula mengklaim memiliki wilayah perairan Indonesia lebih dari
70 mil dari batas pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Belakangan Malaysia
memperluas wilayahnya sampai sejauh dua mil. Dengan demikian, total luas
wilayah Indonesia yang telah "dicaplok" Malaysia adalah 15.235
kilometer persegi. Adapun titik awal penarikan garis batas pengakuan dimulai
dari garis pantai Pulau Sebatik, Kaltim. Salah satu bukti kesewenang-wenangan
Malaysia yang lain adalah mencantumkan kawasan Karang Unarang ke dalam wilayah
perairan Malaysia pada peta terbaru yang dikeluarkan pemerintahan pimpinan
Perdana Menteri Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi. Padahal selama ini Karang
Unarang berada di kawasan Indonesia. Pengakuan tersebut kontan ditolak
Indonesia. Alasannya, Malaysia bukan negara kepulauan dan hanya berhak atas 12
mil dari garis batas pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Patut diketahui, konsep
Wawasan Nusantara atau status Indonesia sebagai negara kepulauan telah diakui
dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun
1982. Kontan saja, tindakan sepihak ini menuai tanggapan yang
beragam dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia, dari mulai demo, sikap untuk
melakukan diplomasi, hingga sikap keras untuk melakukan perang terbuka.
Ada beberapa sikap masyarakat di dalam negeri Indonesia yang merespons
kasus Ambalat. Pertama, sikap anti-Malaysia dalam pengertian politik. Sikap ini
ditunjukkan oleh kalangan nasionalis dan masyarakat awam yang sebenarnya
memiliki perasaan sakit hati atas kebijakan politik pemerintah Malaysia dalam
kasus TKI. Sikap ini ditunjukkan dalam berbagai demonstrasi dengan isu
"Ganyang Malaysia". Kedua, sikap kritis dan rasional. Sikap ini
mencoba mengkritisi kasus Ambalat sebagai bentuk sengketa kewilayahan antardua
negara tetangga karena perbedaan sudut pandang politik kemaritiman dan juga
kepentingan ekonomi-politik. Sikap ini ditunjukkan oleh kalangan cerdik pandai
di Indonesia yang memposisikan kasus Ambalat setara dengan kasus-kasus sengketa
batas wilayah atau klaim teritorial seperti Kepulauan Spratly, yang
diperebutkan lima negara asia. Ketiga, sikap kritis-progresif. Sikap ini
ditunjukkan oleh berbagai komponen gerakan mahasiswa yang mencoba membaca kasus
Ambalat sebagai bentuk pertaruhan harga diri bangsa dan negara dari deraan
kepentingan ekonomi-politik neo-imperalisme.Sikap kritis-progresif kalangan
gerakan mahasiswa -- yang terekspresi dalam berbagai aksi, demonstrasi,
pernyataan sikap -- tersebut dilandasi oleh kerangka berpikir bahwa kasus
konflik Ambalat sebenarnya merupakan konflik kepentingan rezim neo-liberalisme
dan neo-imperalisme yang terwakili berbagai serikat perusahaan minyak global
yang ingin mengeksploitasi sumber daya minyak di gugus perairan Ambalat (East
Ambalat). Yakni antara perusahaan minyak UNOCAL (AS) dan ENI (Italia) yang
telah menjalin kontrak dengan pemerintah Indonesia, diwakili Pertamina melawan
perusahaan SHELL (Inggris-Belanda) yang telah menjalin kontrak kerja sama
dengan pemerintah Malaysia,yang telah menjalin kontrak kerja sama dengan
pemerintah Malaysia, yang diwakili "mitra bisnisnya'', yakni
Petronas.Dalam catatan pengamat politik Riswanda Imawan, sengketa perairan
Ambalat merupakan medan "pertempuran'' kepentingan antarperusahaan
kapitalis minyak di atas untuk memperebutkan sumber daya minyak dan gas yang
ada di dasar perairan Ambalat. Dalam konteks demikian sebenarnya konflik
Ambalat adalah pertentangan kepentingan antarperusahaan minyak global dengan
memanfaatkan politik intervensi pemerintah Malaysia yang mungkin memiliki sikap
berani berkonflik melawan pemerintah Indonesia, yang saat ini lemah secara
politik, ekonomi dan kekuatan persenjataan karena deraan praktik korupsi serta
krisis ekonomi sejak akhir kekuasaan Orde Baru.
Perjuangan Indonesia untuk memperoleh pengakuan sebagai negara kepulauan
merupakan sebuah perjalanan panjang yang sangat melelahkan. Hal ini dikarenakan
usaha-usaha untuk memasukkan rezim kepulauan selama diadakan Konferensi
Kodifikasi Den Haag tahun 1930 dan Konferensi Hukum Laut di Jenewa tahun 1958
selalu mengalami kegagalan. Di samping tidak adanya kesepakatan mengenai
pengertian negara kepulauan, kegagalan tersebut dipengaruhi oleh berbagai
kepentingan antarnegara, khususnya negara-negara maritim besar yang ingin terus
menancapkan hegemoninya di wilayah laut. Sementara itu jauh sebelum
bergabungnya Indonesia, Filipina, Fiji, dan Mauritus sebagai negara pendukung
asas-asas kepulauan pada akhir tahun 1972, Pemerintah Republik Indonesia pada
tanggal 13 Desember 1957 mengeluarkan suatu deklarasi tentang wilayah Perairan
Indonesia yang dikenal dengan istilah Deklarasi Djuanda. Deklarasi ini mengubah
batas laut teritorial Indonesia dari 3 mil berdasarkan Territoriale Zee en
Maritime Kringen Ordonnantie (TZMKO) 1939 menjadi 12 mil. Artinya, bagian laut
yang sebelumnya termasuk laut lepas (high seas), sekarang menjadi laut
teritorial Indonesia, seperti Laut Jawa yang terletak antara Pulau Kalimantan
dan Pulau Jawa. Untuk memperkuat Deklarasi Djuanda 1957 dan melaksanakan
konsepsi Wawasan Nusantara, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Perpu
Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang kemudian diganti oleh
UndangUndang No 6/1996. Dalam perkembangan selanjutnya, konsepsi negara
kepulauan akhirnya mendapat pengakuan pada Konvensi Hukum Laut 1982.
Dimasukannya poin-poin negara kepulauan dalam Bab IV UNCLOS 1982 yang berisi 9
pasal, bagi seluruh rakyat Indonesia hal ini memiliki arti penting karena
selama 25 tahun secara terus-menerus Pemerintah Indonesia memperjuangkan
asas-asas negara kepulauan. Pengakuan resmi asas negara kepulauan ini merupakan
hal yang penting dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah yang utuh sesuai
dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 dan Wawasan Nusantara sebagaimana termaktub
dalam TAP MPR tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang menjadi dasar bagi
perwujudan kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan, dan keamanan. Berdasarkan informasi yang berkembang,
mencuatnya konflik Malaysia-Indonesia di Perairan Sulawesi disebabkan salah
satunya oleh kesalahan Malaysia dalam melakukan penarikan garis pangkal (base
line) pascasidang kasus Sipadan-Ligitan. Sejak beralihnya kepemilikan Pulau
Sipadan dan Ligitan, pihak Pemerintah Malaysia menempatkan dirinya sebagai
negara kepulauan (archipelagis state), yang kemudian menggunakan garis pangkal
lurus kepulauan (straight archipelagic baseline) dalam penentuan batas
wilayahnya sehingga wilayah perairannya menjorok jauh ke selatan, mengambil wilayah
perairan Indonesia.
II.2. SOLUSI
KASUS AMBALAT DAN KAITANNYA DENGAN IMPLEMENTASI WAWASAN NUSANTARA.
Lepasnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia, dan kini Blok Ambalat
dalam klaimnya juga, secara hukum sebenarnya akibat kelalaian Indonesia yang
tidak segera menetapkan batas terluar kepulauan Indonesia, terutama sejak rezim
hukum negara kepulauan mendapat pengakuan dari masyarakat internasional melalui
Konvensi Hukum Laut (KLH) 1982. Bab IV KLH, 1982 (Pasal 46 hingga Pasal 54)
mengatur tentang Negara Kapulauan (Archipelagic States) Indonesia
telah meratifikasi KLH 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985. Namun,
ratifikasi KLH 1982 ternyata dalam perkembangannya tidak segera diikuti dengan
langkah-langkah tindak lanjut sebagai penjabarannya ke dalam peraturan
perundang-undangan nasional. Kondisi tersebut sebenarnya kurang menguntungkan
bagi Indonesia, karena berarti Indonesia belum dapat mengambil manfaat dari
adanya perubahan dan atau pembaruan di bidang pengaturan atas laut khususnya
yang diatur dalam Bab IV KLH 1982 tentang Negara Kapulauan. Rezim hukum
"negara kepulauan" Indonesia yang telah diperjuangkan dengan susah
payah sejak deklarasi Juanda 1957, harus dijaga keutuhannya dan dipertahankan
eksistensinya, bila perlu dengan mengerahkan kekuatan bersenjata dan seluruh
rakyat Indonesia. Aksi Malaysia dengan klaimnya atas Blok Ambalat merupakan
tamparan nyata terhadap kedaulatan teritorial "negara kepulauan"
Indonesia. Aksi tersebut tidak boleh dibiarkan menjadi kenyataan. Tunjukkan dan
tegaskan baik secara "faktual" maupun "yuridis" bahwa Blok
Ambalat adalah milik Indonesia. Pengaturan masalah kelautan bagi
pemerintah Republik Indonesia merupakan hal yang penting dan mendesak mengingat
bentuk geografi Republik Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri
dari 17.508 pulau dengan sifat dan corak tersendiri. Hal tersebut sesuai dengan
amanat pembukaan UUD 1945 bahwa, "Pemerintah Republik Indonesia
berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia".
Penetapan batas-batas laut teritorial selebar 3 mil dari pantai
sebagaimana terdapat dalam Territiriale Zee en Maritieme
Kringen-Ordonnantie 1939 (TZMKO 1939)Pasal 1 ayat 1 tidak sesuai lagi
dengan kepentingan keselamatan dan keamanan negara Republik Indonesia. Demi
kesatuan wilayah negara Republik Indonesia, semua pulau-pulau serta laut yang
terletak di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang
bulat. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pada tanggal 13 Desember 1957,
Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan suatu pernyataan mengenai wilayah
perairan Indonesia (deklarasi Juanda). Deklarasi tersebut yang di dalamnya
mengandung konsepsi nusantara menimbulkan konsekuensi bagi pemerintah dan
bangsa Indonsia untuk memperjuangkan dan mempertahankannya hingga mendapat
pengakuan dari masyarakat internasional. Deklarasi Juanda 1957 mendapat
tantangan dari negara-negara yang saat itu merasa kepentingannya terganggu
seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Belanda dan New Zealand dengan
menyatakan tidak mengakui klain Indonesia atas konsepsi nusantara. Negara yang
mendukung pernyataan Indonesia mengenai konsepsi nusantara hanya Uni Soviet dan
Republik Rakyat Cina. Tapi dalam visi dan orientasi pembangunan, khususnya
sejak Orba, kita melupakan visi dan orientasi negara kepulauan ini dan lebih
berorientasi tanah daratan (land based oriented) yang
mengakibatkan kita bersifat inward looking. Tanpa orientasi
kepulauan, seperti dikatakan Dimyati Hartono, kita tidak punya national
security belt, yakni titik-titik kawasan strategis bagi mengamankan
kewilayahan dan kedaulatan negara. Setiap titik itu bukan saja menjadi pos
pertahanan tetapi juga dikembangkan ekonomi dan sarana-prasarana pendidikannya
sehingga kawasan-kawasan titik ini dengan sendirinya akan terbangun sistem peringatan
dini (early warning system). Dengan orientasi kepulauan, Indonesia
akan membangun dengan pandangan integratif darat, laut dan udara. Dan orientasi
ini akan membuat kita lebih outward looking.
Dalam menghadapi sengketa dan konflik daerah perbatasan ada beberapa
model dan pola yang pernah dan dapat dilakukan untuk mengatasinya seperti
dijelaskan dalam Pasal 33 Piagam PBB tentang Hukum Laut Internasional bahwa
bila tak bisa diselesaikan secara bilateral, ada pelbagai alternatif, misalnya
mediator, arbitrator dan mekanisme regional. Dalam kasus Ambalat, Malaysia
pasti tak akan menggunakan mekanisme regional di ASEAN, karena dia punya
persoalan dengan semua negara tetangganya seperti Singapura, Vietnam, Brunei
Darusalam, Filipina dan Thailand mengenai batas laut. Malaysia takut semua
anggota ASEAN berpihak ke Indonesia. Bila perundingan bilateral menemui
jalan buntu, bisa dipilih solusi joint development, di mana
Indonesia termasuk pelopor dalam penggunaan mekanisme itu. Pada 1989, setelah
bertahun-tahun menemui jalan buntu, kita sepakat tak membuat garis batas dengan
Australia di Celah Timor. Kita menyepakati membuat joint development dengan
melakukan kerja sama ekonomi di wilayah yang disengketakan. Model joint
development banyak mendapat pujian dari dunia dan konsep ini akhirnya
ditiru negara-negata lain. Sebagai negara kepulauan, kita mempunyai
persoalan dalam menjaganya karena saat kemerdekaan, laut kita cuma 3 mil dari
pantai. Jadi luas laut kita tak lebih dari 100 ribu kilometer persegi. Setelah
konsep wawasan nusantara diterima dunia, dan mendapat tambahan ZEE 200 mil,
total laut kita menjadi 6 juta kilometer persegi.
Dengan demikian, dengan alasan apa pun, klaim wilayah di Blok Ambalat dan
Blok East Ambalat tidak dibenarkan oleh hukum laut internasional. Apalagi
Indonesia diperkuat oleh serentetan sejarah yang mencatat bahwa perairan di
Ambalat masuk ke dalam wilayah pengaturan Kerajaan Bulungan. Namun, langkah
yang juga harus segera ditempuh oleh Pemerintah Indonesia adalah segera
perbaiki dan depositkan PP No 38/2002 tentang Daftar Koordinat Geografis
Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia ke Sekjen PBB untuk dicatatkan
sebagai bukti dalam penguasaan wilayah. Semoga usaha diplomasi yang kuat dan
terukur dapat mempertahankan kedaulatan keutuhan Negeri Bahari yang kita
cintai. Persengketaan atas wilayah Ambalat membutuhkan penyelesaian yang logis,
relevan, tanpa merugikan pihak manapun apalagi sampai menimbulkan peperangan.
Jika terjadi kontak senjata antar Angkatan Laut maka masing-masing negara
bersengketa RI-Malaysia mengalami kerugian. Diusahakan sedapat mungkin
persengketaan atas wilayah Ambalat dapat diselesaikan secara damai. Sebuah
sentilan mengenai kasus sipadan, ligitan, dan yang terakhir adalah ambalat,
harusnya menyadarkan kita bahwa kita telah jauh dari konsep wawasan nasional
yang merupakan landasan visional bangsa dan Negara Indonesia. Berkaitan dengan
masalah perbatasan ini kaitannya dengan Wawasan Nusantara, penulis menawarkan
solusi untuk menilik kembali kepada diri kita masing-masing harusnya setiap
warga Negara Indonesia perlu memiliki kesadaran untuk:
1. Mengerti,
memahami, dan menghayati hak dan kewajiban warga Negara serta hubungan warga
Negara dan Negara, sehingga sadar sebagai bangsa Indonesia yang cinta tanah air
berdasarkan pancasila, UUD 1945, dan Wawasan Nuasantara
2. Mengerti,
memahami, dan menghahayati bahwa di dalam menyelenggarakan kehidupannya Negara
memerlukan konsepsi wawasan nusantara, sehingga sadar sebagai earga Negara
memiliki wawasan nusantara guna mencapai cita-cita dan tujuan nasional
Indonesia harus lebih jeli dalam melihat setiap wilayahnya yang
berbatasan dengan Negara lain, dan tentu apapun yang berkaitan dengan hal ini
dibutuhkan bukti autentik. Indonesia harus belajar dari kasus Sipadan Ligitan
agar wilayah Indonesia tetap merupakan satu kesatuan utuh yang berlandaskan
kebhineka.
BAB III
PENUTUP
III. 1.
KESIMPULAN
1. Mengenai
sengketa indonesia-malaysia atas wilayah amabalat dikaitkan dengan konsep
wawasan nusantara. Berbagai ancaman, hambatan, tantangan dan gangguan baik yang
berasal dari dalam negeri maupun luar negeri dapat mengancam keutuhan bangsa
dan Negara Indonesia. Hal yang berkaitan dengan konsep wawasan nusantara serta
implementasinya salah satunya mengenai persengketaan berkaitan dengan daerah
perbatasan antar Negara. Seperti hal yang sangat marak baru-baru ini yaitu
sengketa antar dua negara serumpun, Indonesia-Malaysia mengenai daerah
perbatasan di wilayah Ambalat. Malaysia semula mengklaim memiliki wilayah
perairan Indonesia lebih dari 70 mil dari batas pantai Pulau Sipadan dan
Ligitan. Belakangan Malaysia memperluas wilayahnya sampai sejauh dua mil.
Dengan demikian, total luas wilayah Indonesia yang telah "dicaplok"
Malaysia adalah 15.235 kilometer persegi.
2. Solusi mengenai kasus Indonesia-Malaysia atas wilayah perbatasan ambalat
dikaitkan dengan konsep wawasan nusatara. Dalam menghadapi sengketa dan konflik
daerah perbatasan ada beberapa model dan pola yang pernah dan dapat dilakukan
untuk mengatasinya seperti dijelaskan dalam Pasal 33 Piagam PBB tentang Hukum
Laut Internasional bahwa bila tak bisa diselesaikan secara bilateral, ada
pelbagai alternatif, misalnya mediator, arbitrator dan mekanisme regional.
Dalam kasus Ambalat, Malaysia pasti tak akan menggunakan mekanisme regional di
ASEAN, karena dia punya persoalan dengan semua negara tetangganya seperti
Singapura, Vietnam, Brunei Darusalam, Filipina dan Thailand mengenai batas
laut. Malaysia takut semua anggota ASEAN berpihak ke Indonesia. Bila
perundingan bilateral menemui jalan buntu, bisa dipilih solusi joint
development, di mana Indonesia termasuk pelopor dalam penggunaan mekanisme itu.
Pada 1989, setelah bertahun-tahun menemui jalan buntu, kita sepakat tak membuat
garis batas dengan Australia di Celah Timor
DAFTAR PUSTAKA
Kusumastanto, Tridoyo. Ambalat dan Diplomasi
Negara Kepulauan Republik Indonesia. CV. Chitra Delima, Jakarta.
http://en.wikipedia.org/wiki/world_wawasan nusantara (di akses tanggal 26 desember
2010)
http://en.wikipedia.org/wiki/sengketa Indonesia-Malaysia (di akses tanggal 26 desember 2010)
http://en.wikipedia.org/wiki/sengketa Indonesia-Malaysia (di akses tanggal 26 desember 2010)
0 komentar:
Posting Komentar