BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Pemilu pada
dasarnya adalah setumpuk hal ihwal teknis yang berusaha untuk mentransfer suara
pemilih menjadi kursi. Mekanisme transfer suara menjadi kursi tersebut memiliki
berbagai variasi tergantung kepada kondisi sosial politik suatu negara dan
rezim yang sedang berkuasa. Pemilu umumnya digunakan untuk mencari pemimpin
terbaik. Pada masyarakat yang tingkat kedewasaan politiknya relatif tinggi,
kesadaran untuk berpartisipasi dalam pemilu akan cukup tinggi. Namun belum
tentu ditunjukkan oleh tingginya voters turnout atau kehadiran
pemilih dalam pemilu yang menggunakan hak suaranya. Beberapa negara malah
mewajibkan warganya untuk mengikuti pemilu dengan ancaman denda jika tidak
hadir di pemilu, semata-mata untuk mempertahankan voters turnout tetap
di angka yang cukup legitimate. Jika turnout rendah, siapapun
pemimpin yang dihasilkan akan diragukan legitimasinya dan hal ini merupakan
ancaman serius demokrasi. Di Indonesia, angka turnout untuk
pemilu legislatif cukup tinggi walaupun menunjukkan tren yang terus menurun
sejak reformasi, 90% dalam Pemilu 1999 dan 87% dalam Pemilu 2004 dan 70% di
tahun 2009 (Idea Int 2012).
Sesuai
dengan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar”. Makna dari “kedaulatan berada di tangan rakyat”
adalah bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban
untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna
mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil rakyat
untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Perwujudan kedaulatan rakyat
dilaksanakan melalui Pemilu secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk
memilih wakilnya.
Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2012 merupakan sebuah terobosan bangsa untuk mewujudkan negara
yang berkeadilan. Setelah disahkannya dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12
April 2012 menggantikan Undang-undang nomor 10 Tahun 2008, undang-undang ini
diharapkan mampu menciptakan lembaga perwakilan yang berkualitas dan mampu
menjadi lembaga perwakilan yang benar-benar menjadi perwujudan seluruh rakyat
Indonesia.
I.2. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana tahapan pemilu ?
2.
Bagaimana peserta dan persyaratan mengikuti pemilu ?
3.
Bagaimana sistem pemilu ?
4.
Bagaimana jumlah kursi dan
daerah pemilihan ?
5.
Bagaimana penyusunan daftar
pemilih ?
6.
Bagaimana proses
pencalonan ?
7.
Bagaimana proses kampanye ?
8.
Bagaimana dana untuk kampanye
?
9.
Bagaimana pemungutan dan
penghitungan suara ?
10. Bagaimana rekapitulasi suara ?
11. Bagaimana penetapan hasil pemilu, perolehan suara, dan calon terpilih ?
12. Bagaimana partisipasi masyarakat ?
13. Bagaimana penanganan laporan pelanggaran pemilu ?
14. Bagaimana majelis khusus tindak pidana pemilu ?
15. Bagaimana sengketa tata usaha Negara dalam pemilu ?
16. Bagaimana menangani perselisihan pemilu ?
17. Bagaimana ketentuan pidana dalam UU 8/2012 ?
I.3. TUJUAN DAN MANFAAT
1. Untuk mengetahui bagaimana tahapan
pemilu.
2.
Untuk mengetahui bagaimana peserta dan persyaratan mengikuti pemilu.
3.
Untuk mengetahui bagaimana sistem pemilu.
4.
Untuk mengetahui bagaimana jumlah kursi dan daerah pemilihan.
5.
Untuk mengetahui bagaimana penyusunan daftar pemilih.
6.
Untuk mengetahui bagaimana proses
pencalonan.
7.
Untuk mengetahui bagaimana proses kampanye.
8.
Untuk mengetahui bagaimana dana untuk kampanye.
9.
Untuk mengetahui bagaimana pemungutan dan penghitungan suara.
10. Untuk mengetahui bagaimana
rekapitulasi suara.
11. Untuk mengetahui bagaimana penetapan
hasil pemilu, perolehan suara, dan calon terpilih.
12. Untuk mengetahui bagaimana partisipasi
masyarakat.
13. Untuk mengetahui bagaimana penanganan
laporan pelanggaran pemilu.
14. Untuk mengetahui bagaimana majelis
khusus tindak pidana pemilu.
15. Untuk mengetahui bagaimana sengketa
tata usaha Negara dalam pemilu.
16. Untuk mengetahui bagaimana menangani
perselisihan pemilu.
17. Untuk mengetahui bagaimana ketentuan
pidana dalam UU 8/2012.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 TAHAPAN PEMILU
Penyelenggaraan
tahapan pemilu ditambah satu tahapan baru yang tidak termasuk tahapan pemilu
dalam Undang-undang Pemilu sebelumnya, yaitu tahapan perencanaan program
dan anggaran, serta penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu.
Pansus Pemilu beralasan perlunya dimasukannya tahapan tersebut dinilai sangat
penting menjadi suatu tahapan tersendiri guna menciptakan transparansi dan
akuntabilitas penyelenggaraan pemilu. Selain itu terkait jangka waktu
dimulainya tahapan pemilu diatur bahwa tahapan pemilu dimulai
sekurang-kurangnya 22 bulan sebelum hari pemungutan suara. Waktu ini lebih
panjang dan dianggap akan lebih memadai bagi KPU dalam mempersiapkan seluruh
teknis penyelenggaraan pemilu 2014.
II.2 PESERTA DAN PERSYARATAN
MENGIKUTI PEMILU
Pada awalnya
sebelum di ubah oleh Mahkamah Konstitusi pada Agustus 2012, terkait dengan persyaratan
mengikuti pemilu, bagi partai Politik Peserta Pemilu pada pemilu terakhir yang
memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional
ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya.
Ketentuan ini menegaskan bahwa partai yang mencapai angka parliamentary threshold (ambang
batas) 2,5% pada pemilu 2009 langsung ditetapkan sebagai peserta pemilu 2014
dengan alasan partai politik tersebut sudah membuktikan memperoleh dukungan
rakyat. Pansus Pemilu menganggap ambang batas merupakan legal
policy pembuat undang-undang dalam rangka mencapai tujuan negara.
Namun pada bulan Agustus tahun 2012 Mahkamah Konstistusi mengubah pasal ini
menjadi bahwa setiap partai politik dapat mengikuti Pemilu setelah melalkui
tahapan Verifikasi.
II.3 SISTEM PEMILU
Tidak ada perubahan sistem pemilu dalam Undang-undang Pemilu baru
ini. Sistem Pemilu yang dipilih tetap sistem proporsional terbuka untuk memilih
anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota (dengan suara terbanyak) dan sistem distrik berwakil banyak (Single
Non-Transferable Vote System) untuk memilih anggota DPD.
Sedangkan partai politik yang tidak memenuhi ambang
batas perolehan suara pada pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat
menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan yang lebih berat dari Undang-undang Pemilu
sebelumnya. Persyaratan tersebut antara lain: berstatus badan hukum sesuai
dengan Undang-Undang tentang Partai Politik; memiliki kepengurusan di seluruh
provinsi; memiliki kepengurusan di 75% (jumlah kabupaten/kota di provinsi yang
bersangkutan; memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan
di kabupaten/kota yang bersangkutan; menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga
puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat
pusat; mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu; dan menyerahkan
nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU (Pasal
8 ayat (2)).
Namun pada bulan Agustus tahun 2012 Mahkamah
Konstistusi mengubah pasal ini menjadi bahwa setiap partai politik dapat
mengikuti Pemilu setelah melalui tahapan Verifikasi administrasi dan faktual
tidak terkecuali bagi partai-partai yang .
Selanjutnya dalam Undang-undang
No. 8 Tahun
2012 ini diatur bahwa pendaftaran dan verifikasi partai politik dilakukan 20
bulan sebelum hari pemungutan suara dan selesai dalam kurun waktu 5 bulan.
II.4 JUMLAH KURSI DAN DAERAH
PEMILIHAN
Pengaturan
jumlah kursi dan daerah pemilihan untuk DPR RI tidak berubah dibandingankan
pemilu 2009 lalu. Jumlah kursi anggota DPR tetap 560 kursi dan Jumlah kursi
setiap daerah pemilihan paling sedikit 3 kursi dan paling banyak 10 kursi. Demikian
juga dengan jumlah kursi untuk DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Jumlah kursi
DPRD provinsi paling sedikit 35 dan paling banyak 100 (didasarkan pada jumlah
Penduduk provinsi yang bersangkutan dengan sejumlah ketentuan yang disyaratkan
dalam Undang-Undang). Sedangkan Jumlah kursi DPRD kabupaten/kota paling sedikit
20 dan paling banyak 50 (didasarkan pada jumlah Penduduk provinsi yang
bersangkutan dengan sejumlah ketentuan yang disyaratkan dalam Undang-Undang No.
8 Tahun 2012). Sedangkan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota adalah sama, yaitu paling sedikit 3 kursi dan
paling banyak 12 kursi.
II.5 PENYUSUNAN DAFTAR PEMILIH
Terkait
penyediaan data kependudukan, dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 ini
disepakati terdapat 3 bentuk yaitu (a) data agregat kependudukan per kecamatan
sebagai bahan bagi KPU dalam menyusun daerah pemilihan DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota; (b) Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu sebagai bahan bagi
KPU dalam menyusun daftar pemilih sementara; dan (c) data Warga Negara
Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri sebagai bahan bagi KPU dalam
penyusunan daerah pemilihan dan daftar pemilih sementara. Data kependudukan
harus sudah tersedia dan diserahkan kepada KPU paling lambat 16 bulan sebelum
hari pemungutan suara. Selanjutnya data tersebut disinkronisasikan oleh
Pemerintah bersama KPU dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak
diterimanya data kependudukan dari Menteri Dalam Negeri dan Menteri Luar
Negeri.
Tahapan
berikutnya adalah Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) wajib
dimutakhirkan oleh KPU menjadi data Pemilih dengan memperhatikan data Pemilih
pada Pemilu dan/atau pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yang terakhir.
Proses pemutakhiran data pemilih harus diselesaikan paling lama 4 bulan setelah
diterimanya DP4. Selain itu, dalam Undang-Undang Pemilu baru ini terdapat
pengaturan baru, dimana apabila terdapat warga negara yang memenuhi syarat
sebagai pemilih namun tidak memiliki identitas kependudukan dan/atau tidak
terdaftar dalam daftar pemilih sementara, daftar pemilih sementara hasil
perbaikan, daftar pemilih tetap, atau daftar pemilih tambahan; KPU Provinsi
tetap melakukan pendaftaran dan memasukkannya ke dalam daftar pemilih khusus
(Pasal 40 ayat (5)).
II.6 PENCALONAN
Pasal
pencalonan tidak banyak berubah, hanya saja terdapat penambahan ketentuan yaitu
kewajiban mengundurkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah,
bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah yang ingin maju sebagai calon
anggota DPR, DPD, atau DPRD. Selain itu, ketentuan tentang keterwakilan
perempuan masih menggunakan ketentuan lama pada Undang-Undang No. 10 Tahun 2008
yang menyebutkan bahwa daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
disusun berdasarkan nomor urut. Daftar calon memuat paling sedikit
30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan; yang mana dalam daftar bakal
calon tersebut, setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang
perempuan bakal calon.
Namun
terkait keterwakilan perempuan ini, dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2012
terdapat penambahan pengaturan pada penjelasan Pasal 56 ayat (2) yang
menyebutkan: Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan
dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan demikian seterusnya, tidak
hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya. Ketentuan ini dianggap sebagai
penguatan dan penegasan bahwa calon perempuan tidak selalu harus ditempatkan
pada nomor buncit (ketentuan ini seakan menegaskan tentang signifikannya peran
nomor urut dalam sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak sekalipun).
Selain itu,
proses pengajuan nama bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota dalam Undang-Undang Pemilu baru ini diatur lebih panjang
prosesnya, yaitu dilaksanakan 12 bulan sebelum hari pemungutan suara (Pasal 57
ayat (2)).
Berkaitan
dengan kewajiban pengunduran bagi anggota DPRD yang maju menjadi Calon Anggota
DPR/DPRD melalui partai yang berbeda, mahkamah konstitusi telah memutuskan bahwa
tidak wajib untuk mundur tetapi diserahkan kepada mekanisme masing-masing
partai.
II.7 KAMPANYE
Undang-Undang No. 8 Tahun 2012
memberikan pengaturan yang tegas bahwa kampanye melalui media massa cetak dan
media massa elektronik dikategorikan sebagai “iklan kampanye”, yang mana
pelaksanaannya sama dengan kampanye dalam bentuk rapat umum, yaitu dilakukan
(hanya) selama 21 hari dan berakhir sampai dengan dimulainya masa tenang (3
hari sebelum hari pemungutan suara). Periode waktu kampanye dalam Undang-Undang
baru ini tidak berubah, tetap berlangsung setelah 3 hari setelah penetapan
peserta pemilu dan berakhir 3 hari sebelum hari-H pemungutan suara (kurang
lebih selama 9 bulan).
II.8 DANA KAMPANYE
Terkait
pengaturan dana kampanye, terdapat penaikan jumlah batasan sumbangan dana
kampanye yang signifikan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 ini. Jika
sebelumnya dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 diatur dana kampanye pemilu
yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan, dan/atau badan
usaha nonpemerintah tidak boleh lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar),
dalam Undang-Undang baru ini batasannya dinaikan menjadi sebesar
Rp7.500.000.000,00 (tujuh koma lima milyar). Sedangkan batasan sumbangan dana
kampanye dari perseorangan tidak berubah, yaitu tetap tidak boleh lebih dari
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar). Naiknya batasan sumbangan dana kampanye dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 dikarenakan adanya konkordansi dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (lihat Tabel.1
berikut).
Perbandingan
Batasan Sumbangan Dana Politik dan Dana Kampanye
Pengaturan
|
Batasan
Sumbangan dari Perseorangan
|
Batasan
Sumbangan Non-Perseorangan (Kelompok/ Badan Usaha)
|
UU No. 10
Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPR (UU Pemilu lama)
|
Rp 1.000.000.000,00
|
Rp 5.000.000.000,00
|
UU No. 2
Tahun 2011 tentang Partai Politik
|
Rp 1.000.000.000,00
|
Rp 7.500.000.000,00
|
UU No. 8
Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPR (UU Pemilu baru)
|
Rp 1.000.000.000,00
|
Rp 7.500.000.000,00
|
II.9 PEMUNGUTAN DAN PENGHITUNGAN
SUARA
Dalam ketentuan pasal 150 Undang-Undang
No. 8 Tahun 2012 diatur ketentuan tentang pemilih yang tidak terdaftar pada
daftar pemilih tetap atau daftar pemilih tambahan dapat menggunakan kartu tanda
penduduk atau paspor, yang mana hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi terkait hal tersebut (Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009, yang
dimohonkan oleh Refly Harun dan Maheswara Prabandono pada Pemilu 2009 lalu). Selain itu terdapat perubahan cara pemberian suara yang diatur dalam Undang-Undang
No. 8 Tahun 2012 ini. Jika sebelumnya pada Pemilu 2009, pemilih menandai dengan
tanda centang, cawang atau contreng, maka untuk pemilu mendatang pemberian
suara untuk pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai
politik dan/atau nama calon pada surat suara (Pasal 154).
II.10 REKAPITULASI SUARA
Dalam Undang-Undang Pemilu baru ini
terdapat pengaturan baru dalam penyelenggaraan rekapitualsi perhitungan suara
setelah di Tempat Pemungutan Suara (TPS), terkait dengan dikembalikannya fungsi
Panitia Pemungutan Suara (PPS) dalam melakukan rekapitulasi penghitungan
perolehan suara melalui Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum. Melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 ini (dalam rangka
sinkronisasi dan konkordansi dengan Undang-Undang Penyelenggara Pemilihan Umum)
diatur secara mendetil tugas dan kewenangannya dalam proses rekapitulasi suara
di tingkat desa/kelurahan.
II.11 PENETAPAN HASIL PEMILU,
PEROLEHAN KURSI, DAN CALON TERPILIH
Pada
awalnya, ketentuan dalam Undang-Undang ini sebagai berikut: ketentuan Pasal 208
yang berbunyi “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas
perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional
untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota. Lalu Penjelasan Pasal 208 Undang-Undang No. 8 Tahun 2012
berbunyi: yang dimaksud dengan “jumlah suara sah secara nasional”
adalah hasil penghitungan untuk suara DPR.
Pasal ini
setidaknya menyangkut 2 hal, yaitu pertama, ada kenaikan angka
ambang batas pada Pemilu 2014 nanti. Jika pada Pemilu 2009 angka ambang batas
ditetapkan pada angka 2,5%, maka Pemilu 2014 naik menjadi 3,5%. Kedua, jika
pada Pemilu 2009 lalu ambang batas hanya diterapkan untuk Pemilu Anggota DPR,
maka Pemilu 2014 angka ambang batas diberlakukan secara nasional, tidak
berjenjang.
Artinya pada
Pemilu 2014, setiap partai politik peserta pemilu harus memperoleh
sekurang-kurangnya 3,5% suara sah untuk DPR RI, untuk dapat diikutsertakan
dalam penentuan perolehan kursi untuk DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota.
Sehingga, meskipun suatu partai memperoleh lebih dari 3,5% suara sah di pemilu
anggota DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota, akan tetapi kalau perolehan
suaranya untuk pemilu anggota DPR RI kurang dari 3,5%, maka partai tersebut
secara otomatis tidak bisa ikut dalam penentuan perolehan kursi untuk DPRD
Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota (suaranya dianggap hangus/terbuang/wasted
votes). Namun sebaliknya, jika suatu partai memperoleh suara sah lebih dari
3,5% untuk pemilu DPR RI, maka meski suaranya kurang dari 3,5% untuk pemilu
anggota DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota, partai politik tersebut tetap
berhak untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi untuk DPRD Provinsi
maupun DPRD Kabupaten/Kota karena dia dianggap telah lolos ambang batas secara
nasional.
Namun
ketentuan sebagaimana diuraikan di atas telah dilakukan judicial review dan
oleh Mahkamah Konstitusi dikeluarkan keputusan MK Nomor 52/PUU/X/2012 dan salah
satu isinya adalah pembagian kursi tidak dipengaruhi oleh perolehan suara sah
secara nasional.
Selain itu
untuk penetapan perolehan kursi, lakukan metode kuota murni untuk menentukan
perolehan kursi partai politik (habis di daerah pemilihan). Dengan ketentuan:
(a) apabila jumlah suara sah suatu Partai Politik Peserta Pemilu sama dengan
atau lebih besar dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), maka dalam penghitungan
tahap pertama diperoleh sejumlah kursi dengan kemungkinan terdapat sisa suara
yang akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua; namun (b) apabila jumlah
suara sah suatu Partai Politik Peserta Pemilu lebih kecil daripada BPP, maka
dalam penghitungan tahap pertama tidak diperoleh kursi, dan jumlah suara sah
tersebut dikategorikan sebagai sisa suara yang akan dihitung dalam penghitungan
tahap kedua dalam hal masih terdapat sisa kursi di daerah pemilihan yang
bersangkutan; dan selanjutnya (c) penghitungan perolehan kursi tahap kedua
dilakukan apabila masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dalam
penghitungan tahap pertama, dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum
terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu satu demi satu berturut-turut
sampai habis, dimulai dari Partai Politik Peserta Pemilu yang mempunyai sisa
suara terbanyak (Pasal 212.)
II.12 PARTISIPASI MASYARAKAT
Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 ini
tidak banyak mengatur perubahan ketentuan tentang partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pemilu. Hanya saja dalam Pasal 247 ayat (5) disebutkan
ketentuan baru bahwa khusus soal pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat
pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 jam setelah selesai pemungutan
suara di wilayah Indonesia bagian barat. Pelanggaran terhadap ketentuan
tersebut merupakan tindak pidana pemilu.
II.13 PENANGANAN LAPORAN PELANGGARAN
PEMILU
Undang-Undang
No. 8 Tahun 2012 secara eksplisit memiliki semangat untuk memperkuat peran dan
fungsi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sebagaimana hal serupa telah dilakukan
melalui Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Pengawas
Pemilu (meliputi Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu
Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri) menerima
laporan pelanggaran Pemilu pada setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.
Terhadap
waktu penyampaian laporan, terdapat perubahan pengaturan dalam Undang-Undang
Pemilu yang baru. Jika sebelumnya diatur bahwa laporan pelanggaran pemilu
disampaikan paling lama hari sejak terjadinya pelanggaran pemilu, sekarang
batas waktu pelaporan tersebut diperpanjang durasinya menjadi laporan
pelanggaran pemilu disampaikan paling lama 7 hari sejak diketahui dan/atau
ditemukannya pelanggaran Pemilu. Sedangkan lamanya waktu penanganan laporan
pelanggaran pemilu oleh jajaran pengawas pemilu tidak mengalami perubahan,
tetap sama dengan pemilu 2009 lalu, yaitu pengawas pemilu wajib menindaklanjuti
laporan paling lama 3 hari setelah laporan diterima. Namun, dalam hal pengawas
pemilu memerlukan keterangan tambahan dari pelapor, maka tindak lanjut
penanganan laporan pelanggaran pemilu dilakukan paling lama 5 hari setelah
laporan diterima.
Setelah
pengawas pemilu menerima dan mengkaji laporan pelanggaran yang masuk, maka
pengawas pemilu akan mengkategorisasikan laporan pelanggaran tersebut menjadi
beberapa klasifikasi, yaitu:
a)
Pelanggaran kode etik penyelenggara
pemilu diteruskan kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Pelanggaran kode etik sebelumnya tidak diatur dalam Undang-Undang Pemilu yang
lama.
b)
Pelanggaran administrasi pemilu
diteruskan kepada KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota.
c)
Sengketa pemilu diselesaikan oleh
Bawaslu. Dalam Undang-Undang Pemilu lama tidak diatur masalah sengketa pemilu
sebagai masalah hukum yang penyelesaiannya secara spesifik menjadi otoritas
Bawaslu.
d)
Tindak pidana pemilu diteruskan
kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
e)
Selain itu, terkait dengan masalah
hukum pemilu, dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 ini juga dikenal adanya: (a)
sengketa tata usaha negara pemilu, dan (b) perselisihan hasil pemilu
Pelanggaran
kode etik penyelenggara Pemilu oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 diartikan
sebagai pelanggaran terhadap etika penyelenggara pemilu yang berpedomankan
sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu.
Tata cara penyelesaian pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu.
Pengaturan
dan definisi pelanggaran administrasi pemilu diatur lebih kongkrit dalam Undang-Undang
No. 8 Tahun 2012 dibandingkan pengaturan sebelumnya. Pelanggaran administrasi
pemilu didefinisikan sebagai pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur, dan
mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap
tahapan penyelenggaraan pemilu di luar tindak pidana pemilu dan pelanggaran
kode etik penyelenggara pemilu. Penyelesaian pelanggaran administrasi pemilu
dilakukan oleh KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota berdasarkan rekomendasi Bawaslu,
paling lama 7 hari sejak diterimanya rekomendasi tersebut.
Sedangkan
sengketa pemilu dimaknai sebagai sengketa yang terjadi antarpeserta pemilu dan
sengketa Peserta Pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Penyelesaian sengketa pemilu ini disinkronkan dengan UU No. 15 Tahun 2011,
yakni diselesaikan oleh Bawaslu paling lama 12 hari sejak diterimanya laporan
atau temuan (Pasal 258). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian
sengketa pemilu diperintahkan untuk diatur dalam Peraturan Bawaslu (Pasal 259
ayat (5)).
Keputusan
Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa pemilu merupakan keputusan terakhir dan
mengikat, kecuali keputusan terhadap sengketa pemilu yang berkaitan dengan
verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu dan daftar calon tetap anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Terkait sengketa pemilu yang
berkaitan dengan verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu dan daftar calon
tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, bila tidak
dapat diselesaikan oleh Bawaslu maka pihak yang merasa dirugikan kepentingannya
dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
(PTTUN).
Selain itu
Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 mengganti semua terminologi pelanggaran pidana
pemilu yang ada dalam Undang-Undang Pemilu yang lama dengan terminologi baru
yang lebih konsisten, yaitu tindak pidana pemilu. Skema waktu penyelesaian
tindak pidana pemilu juga diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu
tahapan penyelenggaraan pemilu berikutnya. Terkait penanganan tindak pidana
pemilu, Undang-Undang Pemilu baru juga mengatur tentang pembentukan Sentra
Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) dengan tujuan untuk menyamakan
pemahaman dan pola penanganan tindak pidana pemilu antara Bawaslu, Kepolisian
Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Ketentuan
lebih lanjut mengenai Sentra Gakkumdu ini akan diatur berdasarkan kesepakatan
bersama antara Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung
Republik Indonesia, dan Ketua Bawaslu.
II.14 MAJELIS KHUSUS TINDAK PIDANA
PEMILU
Sama seperti Undang-Undang Pemilu
sebelumnya, terkait dengan penyelesaian tindak pidana pemilu, Undang-Undang No.
8 Tahun 2012 kembali memerintahkan untuk dibentuknya Majelis Khusus di
pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana
pemilu. Majelis Khusus tersebut terdiri atas hakim khusus yang merupakan hakim
karier pada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang ditetapkan secara
khusus untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana Pemilu.
Hakim khusus harus memenuhi syarat telah melaksanakan tugasnya sebagai hakim
minimal 3 tahun, kecuali dalam suatu pengadilan tidak terdapat hakim yang masa
kerjanya telah mencapai 3 tahun. Selain harus menguasai pengetahuan tentang
pemilu, hakim khusus selama memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana
pemilu dibebaskan dari tugasnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
lain. Ketentuan lebih lanjut mengenai hakim khusus ini akan diatur dengan
Peraturan Mahkamah Agung (Pasal 266).
II.15 SENGKETA TATA USAHA NEGARA
PEMILU
Undang-Undang
No. 8 Tahun 2012 mengatur hal baru terkait dengan adanya ketentuan tentang
sengketa tata usaha negara pemilu. Sengketa tata usaha negara pemilu adalah
sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara pemilu antara calon anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik calon Peserta
Pemilu dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Sengketa
tata usaha negara Pemilu merupakan sengketa yang timbul antara: (a) KPU dan
Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan Partai Politik Peserta Pemilu;
dan (b) antara KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dengan calon anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang dicoret dari daftar calon
tetap sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan daftar
calon tetap.
Pengajuan
gugatan atas sengketa tata usaha negara pemilu ke PTTUN dilakukan setelah seluruh
upaya administratif di Bawaslu telah digunakan. Selanjutnya, atas Putusan PTTUN
atas sengketa tata usaha negara pemilu, hanya dapat dilakukan permohonan kasasi
ke Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung bersifat terakhir dan mengikat serta
tidak dapat dilakukan upaya hukum lain. Sama halnya seperti penanganan tindak
piudana pemilu, dalam memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa tata usaha
negara pemilu dibentuk pula Majelis Khusus yang terdiri dari hakim khusus yang
merupakan hakim karier di lingkungan pengadilan tinggi tata usaha negara dan
Mahkamah Agung (Pasal 270).
II.16 PERSELISIHAN HASIL PEMILU
Tidak ada
terobosan maupun pengaturan baru yang substantif dalam Undang-Undang No. 8
Tahun 2012 terkait dengan penananganan perselisihan hasil pemilu (diatur dalam
Pasal 273). Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil
pemilu secara nasional, Peserta Pemilu dapat mengajukan permohonan pembatalan
penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah
Konstitusi. Peserta Pemilu disini tentu saja tetap merujuk pada ketentuan Pasal
1 angka 26 Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 yang menyebutkan bahwa Peserta Pemilu
adalah partai politik untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota; dan perseorangan untuk Pemilu anggota DPD. Dengan demikian,
Undang-Undang baru ini “tetap” tidak memberi peluang bagi (perseorangan) calon
anggota legislatif untuk mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilu ke
Mahkamah Konstitusi.
Batasan
pengajuan permohonan perselisihan hasil kepada Mahkamah Konstitusi tetap sama
dengan pemilu 2009, yaitu paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan penetapan
perolehan suara hasil pemilu secara nasional oleh KPU. Satu-satunya ketentuan
baru terkait perselisihan hasil pemilu dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 ini
hanyalah berupa pengaturan apabila pengajuan permohonan kurang lengkap, maka
pemohon dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 3 x 24 jam
sejak diterimanya permohonan oleh Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya, hanya
diberikan waktu 1 x 24 jam (itupun diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi,
bukan dalam Undang-Undang Pemilu).
II.17 KETENTUAN PIDANA
Undang-Undang
No. 8 Tahun 2012 mengkategorisasi antara tindak pidana yang berupa pelanggaran
dengan tindak pidana yang berupa kejahatan, beserta segala sifat yang
menyertainya. Selain itu juga terdapat perubahan pengaturan ketentuan pidana,
dimana dalam Undang-Undang ini dilakukan penghapusan atas ketentuan pidana
minimum. Penghapusan ketentuan pidana minimum ini menurut Pansus Pemilu
dilakukan dalam rangka memberikan asas kepastian hukum dan memudahkan bagi
hakim dalam memberikan putusan.
Beberapa
ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tersebut semestinya
harus dipahami dan dimengerti oleh berbagai pihak yang berkepentingan sehingga
dapat dilaksanakan dengan baik dan tercipta Pemilihan Umum yang berkualitas.
Mahkamah
Konstitusi sebagai sebuah lembaga yang dibentuk guna melakukan pengujian undang
undang dituntut untuk bekerja secara profesional dalam memutus segala perkara
yang masuk ke lembaga tersebut. Keberadaan lembaga tersebut sejauh ini masih
dibutuhkan guna mengawal dan melakukan pengkajian undang-undang yang dihasilkan
oleh DPR maupun menyelesaikan sengketa Pemilu yang terjadi. Salah satu
contoh nyata kiprah MK yang berdampak positif dalam perjalanan demokrasi bangsa
adalah peran MK yang cukup dominan dalam pengkajian Undang-Undang No. 8 Tahun
2012 ini.
BAB III
PENUTUP
III. 1. KESIMPULAN
Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2012 merupakan sebuah terobosan bangsa untuk mewujudkan negara
yang berkeadilan. Setelah disahkannya dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12
April 2012 menggantikan Undang-undang nomor 10 Tahun 2008, undang-undang ini
diharapkan mampu menciptakan lembaga perwakilan yang berkualitas dan mampu
menjadi lembaga perwakilan yang benar-benar menjadi perwujudan seluruh rakyat
Indonesia.
Undang-Undang
Pemilu juga harus ditopang oleh penyelenggara pemilu yang profesional, punya
kapasitas dan tentu saja berintegritas. Serta keterlibatan pemilih dan peserta
pemilu dalam kompetisi yang adil antar satu dengan yang lainnya. Oleh karena
itu, jalan masih panjang untuk menuju pemilu yang mampu mewujudkan keadilan (electoral
justice) bagi seluruh pemangku kepentingan. Hal itu adalah kerja keras kita
bersama, pemilih, peserta pemilu, kandidat, penyelengara, maupun pemantau
pemilu, tanpa terkecuali. Tidak bisa semata digantungkan pada kerangka hukum,
sebab sebaik-baiknya aturan main, jika aktornya korup dan manipulatif maka
selalu ada cara untuk menciderainya
Sarah Birch
dari Universitas Essex dalam laporan hasil penelitiannya (diamembandingakan
laporan pengamat mengenai 136 pemilu yang diselenggarakan antara tahun 1995
hingga 2006) menyatakan dan menemukan bahwa taktik yang paling sering digunakan
untuk memanipulasi pemilu adalah dengan mengubah undang-undang pemilu sebagai
sarana menghalangi kandidat lawan atau menciptakan peluang bagi tindak
kecurangan pada konstitusi yang sulit ditembus. Namun, bicara tentang pemilu yang jujur, adil, dan demokratis, maka
Undang-Undang Pemilu hanya salah satu saja dari instrumen yang ada untuk
mewujudkannya. Pentingnya keterbukaan dan partisipasi masyarakat dalam setiap
pembentukan undang-undang. Mengingat undang-undang disusun tidak
untuk mengabdi kepada DPR dan Pemerintah yang telah diberikan mandat
konstitusi, tetapi undang-undang sebagai hukum tertulis diadakan untuk
kepentingan masyarakat lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang
No 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Titi
Anggraini dan August Melaz, Beberapa Catatan Atas Keberlakuan UU No. 8
Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Perkumpulan
Untuk Pemilu dan Demokrasi, Jakara Pusat, 2012.
Bayu
Dardias, Isu Krusial UU Pemilu dan
Perubahan Politik di Indonesia, dipresentasikan dalam Seminar Politik “Membedah
UU Pemilu dan Implikasinya terhadap Sistem Politik di Indonesia” di
Universitas Jember 22 Mei 2012.
Mahkamahkonstitusi.go.id
0 komentar:
Posting Komentar