BAB I
Pendahuluan
A. Istilah
Perikatan
Istilahnya mempergunakan “Verbintenis” dan “Overeenkomst”
1. Dalam KUHPerdata: “Verbintenis” = Perikatan
“ Overeenkomst” = Persetujuan
2. Menurut Utrecht : “Verbintenis” = Perutangan
“Overeenkomst” = Perjanjian
3. Menurut Achmad Ichsan : “Verbintenis = Perjanjian
“Overeenkomst” = Persetujuan
Dari Uraian tersebut Dikenal istilah:
“Verbintenis” = - Perikatan
- Perutangan
- Perjanjian
“Overeenkomst” = - Perjanjian
- Persetujuan
“Verbintenis” berasal dari kata kerja “Verbinden” yang artinya “Mengikat” Jadi
“Verbintenis” menunjuk kepada adanya “Ikatan” atau “hubungan” Maka cenderung dipergunakan
istilah “Perikatan” “Overeenkomst” berasal dari kata kerja “Overeenkomen”
yang artinya “setuju” atau “sepakat”. Jadi, “Overeenkoms” mengandung kata
“sepakat” sesuai dengan azas “Konsensualisme” yang dianut oleh
KUHPerdata.
B. Pengertian
Perikatan
Undang-undang tidak memberikan pengertian tentang Perikatan. Oleh karena
itu harus disimpulkan dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Buku III itu
sendiri. Dalam Buku III dapat disimpulkan bahwa “Perikatan adalah suatu
hubungan hukum yang terletak di bidang hukum kekayaan yang mengatur hubungan
hukum antara dua orang atau lebih, dimana pihak yang satu berhak atas Prestasi
sedangkan pihak yang lain wajib melaksanakan / memenuhi Prestasi tersebut.”
Kalau diteliti dalam pengertian tersebut terkandung beberapa aspek.
a. Hukum
Jika perlu Prestasi yang diperjanjikan itu dapat dipaksakan realisasinya.
b. Hukum Kekayaan
Bahwa apa
saja yang diperjanjikan menyangkut hal-hal yang dapat dinilai dengan uang.
c. Hubungan Antara
Hubungan
antar orang yang satu dengan yang lain. Jadi, Perikatan itu menghubungkan dua
pihak dalam suatu hubungan hukum, dimana bila perlu pihak yang satu dapat
menuntut realisasi dari apa yang diperjanjikan oleh pihak lain. Jadi, mengatur
hubungan hukum antara orang dengan orang.
Hal ini yang membedakannya dengan “Hukum Kebendaan”, yang menghubungkan
hubungan hukum antara orang denga benda, dalam arti orang tersebut menguasai
benda tersebut. Hubungan Perikatan dinamakan hubungan yang bersifat perorangan
dan hanya berlaku terhadap dua orang yang bersangkutan (sifat relative) dalam
Perikatan tersebut. Hubungan kebendaan meletakkan hubungan antara orang dengan
benda (sifat absolute), yakni dapat dipertahankan terhadap setiap orang yang
mengganggu.
C. Obyek Perikatan
Yang dimaksud dengan obyek Perikatan ialah segala sesuatu yang
diperjanjikan oleh kedua belah pihak yang bersangkutan. Obyek Perikatan
dinamakan Prestasi Perikatan. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, Prestasi dapat
berupa:
a. Kewajiban untuk memberikan sesuatu;
b. Kewajiban untuk berbuat sesuatu;
c. Kewajiban untuk tidak berbuat sesuatu
Kewajiban untuk memberikan Sesuatu ialah kewajiban untuk memberikan hak
milik / hak penguasaan atau hak memilki sesuatu. Kewajiban untuk berbuat
sesuatu adalah Segala perbuatan yang bukan memberikan sesuatu, misalnya
membangun gedung. Kewajiban untuk tidak berbuat sesuatu adalah kewajiban yang
menjanjikan untuk tidak berbua sesuatu yang telah diperjanjikan. Misalnya,
pedagang beras A yang berjualan disebelah pedagang beras B berjanji untuk tidak
menurunkan harga berasnya, yang dimaksudkan untuk menyainginya.
D. Subyek
Perikatan
Para pihak pada suatu perikatan disebut Subyek-Subyek Perikatan, yakni
Kreditur yang berhak dan debitur yang berkewajiban atas Prestasi.
Kedudukan Kreditur, tidak dapat diganti secara sepihak misalnya: Cessie
Akan tetapi dapat diganti dengan menggunakan klausula atas tunjuk dan atas bawa Penggantian debitur secara sepihak pada umumnya tidak pernah terjadi.
Akan tetapi dapat diganti dengan menggunakan klausula atas tunjuk dan atas bawa Penggantian debitur secara sepihak pada umumnya tidak pernah terjadi.
E. Hak
Relatif dan Absolut
a. Hak Mutlak (Hak Absolut)
Hak mutlak
(hak absolut) terdiri dari :
a. Hak
kepribadiaaan, misalnya hak atas namanya, hidup, dan kemerdekaan.
b. Hak-hak
yang terletak dalam hukum keluarga, yakni hak yang timbul karena adanya
hubungan antara suami istri dan hubungan orang tua dan anak.
c. Hak
mutlak atas sesuatu benda inilah yang disebut hak kebendaan.
b. Hak Nisbi (Hak Relatif)
Hak nisbi
adalah semua hak yang timbul karena adanya hubungan utang-piutang, sedangkan
utang-piutang timbul dari perjanjian dan undang-undang.
1. Penggolongan
hak kebendaan
a. Hak
kebendaan yang sifatnya memberikan kenikmatan atas suatu benda (zakelijk
genotsrecht). Contohnya hak milik atas benda bergerak dan hak yang memberikan
kenikmatan atas benda milik orang lain.
b. Hak
kebendaan yang sifatnya memberikan jaminan atas pelunasan. Contohnya gadai yang
merupakan jaminan utang atas benda bergerak dan hipotik sebagai jaminan atas
benda tidak bergerak.
2. Cara
memperoleh hak milik atas suatu benda
a. Pelekatan
b. Daluwarsa
c. Pewarisan
d. Penyerahan
F. Schuld
dan Haftung
Pada
setiap perikatan selalu terdapat 2 pihak yaitu Kreditor sebagai pihak yang
berhak atas suatu prestasi dan Debitor sebagai pihak yang wajib berprestasi.
Pada terdapat 2 unsur yakni schuld dan haftung. Schuld merupakan kewajiban Debitor untuk
melakukan sesuatu terhadap Kreditor, sedang haftung merupakan kewajiban Debitor
mempertanggung jawabkan harta kekayaan Debitor sebagai pelunasan schuld.
Dalam hal perjanjian hutang piutang, schuld merupakan utang Debitor kepada
Kreditor. Setiap Debitor memiliki kewajiban untuk menyerahkan prestasi kepada
Kreditor, oleh karena itu Debitor mempunyai kewajiban untuk membayar pelunasan
hutang. Sedangkan, haftung
merupakan harta kekayaan Debitor yang dipertanggungjawabkan sebagai pelunasan
hutang tersebut.
Debitor
tersebut berkewajiban untuk membiarkan Kreditor untuk mengambil harta
kekayaannya sebanyak hutang yang dimiliki oleh Debitor untuk pelunasan hutang
tersebut apabila Debitor tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar pelunasan
hutang tersebut. Setiap Kreditor yang memiliki piutang kepada Debitor memiliki
hak menagih atas pembayaran pelunasan piutang tersebut jika Debitor tidak
memenuhi prestasinya untuk pelunasan pembayar hutangnya. Di dalam Hukum
Perdata, disamping memiliki hak menagih (vorderingerecht), Kreditor
memiliki hak menagih kekayaan Debitor sebasar piutang yang miliki oleh Debitor
tersebut (verhaalarecht).
Berdasarkan
Pasal 1131 KUHPerdata yang mengatur bahwa “Segala kebendaan si berutang, baik
yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru
aka nada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perseorangan”. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pasal tersebut mengandung
asas bahwa kekayaan Debitor dipertanggung jawabkan sebagai penulasan hutangnya
kepada Kreditor. Namun, terdapat penyimpangan antara schuld dan haftung, yakni:
1. Schuld tanpa Haftung
Hal
ini dapat dijumpai dalam perikatan alam (natuurlijke verbentenis). Dalam
perikatan alam sekalipun Debitor memiliki hutang (schuld) kepada
Kreditor, namun jika Debitor tidak melaksanakan prestasinya, Kreditor tidak
dapat menuntut pemenuhannya. Contohnya dapat ditemukan dalam hutang yang timbul
karena perjudian. Sebaliknya jika Debitor memenuhi prestasi, Debitor
tidak dapat menuntut pengembalian apa yang telah dibayarkan.
2. Schuld dengan Haftung terbatas
Dalam
hal ini Debitor tidak bertanggung jawab dengan seluruh harta kekayaannya, akan
tetapi terbatas sampai dengan jumlah tertentu atau atas barang tertentu.
Contoh: ahli waris yang menerima warisan dengan hak pendaftaran berkewajiban
untuk membayar schuld daripada pewaris samapai schuld jumlah
harta kekayaan pewaris yang diterima oleh ahli waris tersebut.
3. Haftung dengan Schuld pada pihak lain
Jika
pihak III menyerahkan barangnya untuk dipergunakan sebagai jaminan oleh Debitor
kepada Kreditor maka walupun dalam hal ini pihak III tidak memiliki hutang
kepada Kreditor akan tetapi pihak III tersebut bertanggung jawab atas hutang
Debitor dengan barang yang dipakai sebagia jaminan. Hal ini dapat dikatakan
sebagi bourtogh (pertanggungan).
Contoh: A mengadakan perjanjian hutang piutang dengan B akan tetapi C bersedia
menjaminkan barang yang dimilikinya untuk pelunasan hutang yang dimiliki oleh A
terhadap B walaupun C tidak memiliki hutang terhadap B.
G. Eksekusi
rill
Kuasa Kreditur yang dikuasakan oleh Hakim / melalui putusan Hakim untuk
mewujudkan / merealisasikan hak Kreditur tersebut baik “Prestasi Primair”
maupun “Prestasi Subsidiair” Berdasarkan Pasal 1240 dan 1241 KUHPerdata;
Apa yang dijanjikan
Prestasi Primer
Ganti Rugi
Prestasi Subsidiair
Pasal 1240 KUHPerdata
Pada “Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu” kreditur berhak menuntut
penghapusan segala sesuatu yang telah diperjanjikan dan Kreditur diperbolehkan
untuk meminta Kuasa dari Hakim untuk menghapuskan perjanjian tersebut atas
biaya Debitur , dengan tidak mengurangi Hak-nya untuk menuntut ganti rugi jika
ada alasan untuk itu.
Pasal 1241 KUHPerdata
Pada “Perjanjian untuk berbuat sesuatu” , jika Perjanjian tidak
dilaksanakan maka Kreditur dapat juga dikuasakan agar dia sendiri yang
mengusahakan pelaksanaannya atas biaya Debitur.
Permintaan Lain
Kreditur dapat meminta kepada Pengadilan, supaya meminta penetapan adanya
“Uang Paksa” untuk mendorong Debitur supaya jera, dan Kreditur juga dapat
meminta agar Debitur dihukum untuk membayar sejumlah uang sebagai Ganti Rugi.
Eksekusi Riil yang dapat dilakukan adalah Pada Barang Bergerak yang
tertentu (barang yang sudah disetujui dan jelas apa barangnya). Eksekusi
Riil yang tidak dapat dilakukan adalah pada Barang Tidak Bergerak, Contohnya
Tanah karena Eksekusi ini memerlukan suatu Akta Kepemilikan dari Obyek
Perjanjian tersebut. Eksekusi dapat dilakukan asal Barang
tidak Bergerak tersebut benar-benar telah diikat secara sah untuk meng-cover
apabila Debitur Wanprestasi / Cidera janji. Eksekusi
riil dalam hal ini harus dengan Putusan Hakim (berdasarkan Pasal 1171 ayat 3
KUHPerdata).
H. Sistematik
Buku III BW
Susunan buku III KUHPerdata tentang perikatan terdapat 4 (empat) bab berisi
ketentuan umum dan 14 (empat belas) bab berisi ketentuan hukum.
Bab I : tentang perikatan-perikatan
umumnya.
Bab II : tentang
perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan, atau lahir dari
perjanjian saja.
Bab III :
tentang perikatan –perikatan yang dilahirkan demi undang-undang.
Bab IV : tentang hapusnya perikatan.
Pembagian perikatan berdasarkan cirri-ciri tertentu dapat dikelompokan
berdasarkan sumbernya, berdasarkan isinya, sifat prestasinya.
Berdasarkan sumbernya:
1. perjanjian sebagai sumber perikatan.
2. undang-undang sebagai sumber perikatan.
Berdasrkan isi prestasinya:
1. perikatan untuk memberikan sesuatu.
2. perikatan untuk melakukan sesuatu.
3. perikatan untuk tidak melakukan sesuatu.
Pembagian perikatan menurut doktrin:
1. perikatan perdata dan perikatan alamiah.
2. perikatan pokok/principal dan perikatan accessoir.
3. perikatan primer dan sekunder.
4. perikatan sepintas dan perikatan memakan waktu.
5. perikatan yang positip dan perikatan negative.
6. perikatan yang sederhana dan perikatan yang komulatif.
7. perikatan fakultatif dan perikatan alternative.
8. perikatan yang dapat dibagi-bagi dan tidak dapat dibagi-bagi.
BAB II
Perikatan Pada Umumnya
A. Kenyataan-kenyataan
Hukum
Kenyataan hukum adalah suatu kenyataan yang
menimbulkan akibat hukum, yaitu terjadinya, berubahnya, hapusnya, dan
beralihnya hak subyektif, baik dalam bidang hukum keluarga, hukum benda maupun
hukum perorangan.
Kelahiran adalah kenyataan hukum sedangkan akibat
hukumnya adalah kewajiban-kewajiban untuk memelihara dan memberikan pendidikan.
Kenyatan-kenyataan hukum dibedakan kedalam :
I. Perbuatan-perbuatan hukum
Perbuatan-perbuatan hukum adalah perbuatan-perbuatan dengan mana orang
yang melakukan perbuatan itu bermaksud untuk menimbulkan suatu akibat hukum.
Perbuatan-perbuatan hukum ini dapat dibedakan kedalam:
a. perbuatan-perbuatan hukum bersegi satu. Ini adalah perbuatan hukum
yang untuk terjadinya cukup dengan pernyataan kehendak dari seorang saja.
b. perbuatan-perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Ini adalah perbuatan
hukum yang untuk terjadinya disyaratkan kata sepakat antara dua orang atau
lebih. Jadi merupakan persetujuan.
II. Perbuatan-perbuatan yang bukan merupakan perbuatan hukum.
Adakalanya undang-undang memberi akibat hukum
kepada perbuatan-perbuatan di mana orang yang melakukannya tidak memikirkan
sama sekali kepada akibat-akibat hukumnya.
Perbuatan ini dibagi dalam dua golongan :
a. perbuatan menurut hukum. Misalnya, perwakilan sukarela (zaawaarneming)
dan pembayaran tidak terutang.
b. perbuatan melawan hukum.
Ketentuan pokok dari ajaran ini diatur dalam pasal 1365 sampaidengan pasal 1380
BW.
III. Peristiwa-peristiwa hukum.
Adakalanya undang-undang memberi akibat hukum pada
suatu keadaan atau peristiwa, yang bukan terjadi karena perbuatan manusia:
pekarangan yang bertetangga; kelahiran dan kematian.
B. Sumber-sumber
Perikatan
Pasal pertama dari buku III undang-undang
menyebutkan tentang terjadinya perikatan-perikatan dan mengemukakan bahwa
perikatan-perikatan timbul dari persetujuan atau undang-undang.
PERIKATAN
(Pasal 1233)
|
PERSETUJUAN
Pasal 1313
|
UNDANG-UNDANG
Pasal 1352
|
Undang-undang
Karena perbuatan
Manusia (Pasal 1352)
|
Melulu Undang-undang
a. Pekarangan yang berdampingan (Pasal 625)
b. Kewajiban mendidik dan memelihara anak (Pasal 104)
|
Perbuatan Menurut Hukum
a. Perwakilan Sukarela (Pasal 1354)
b. Pembayaran tak terutang (Pasal 1359)
|
Perbuatan
Melawan Hukum (Pasal 1365)
|
C. Memberi,
Berbuat dan Tidak Berbuat
Pasal pertama dari Buku III BW membagi perikatan
berdasarkan sumbernya dan pasal kedua membedakan perikatan menurut isinya:
memberi, berbuat dan tidak berbuat.
Mengenai perikatan untuk tidak berbuat tidak
menimbulkan persoalan, karena prestasi debitur hanya berupa tidak melakukan
sesuatu atau membiarkan orang lain berbuat sesuatu misalnya, tidak akan
mendirikan bangunan atau tidak akan menghalangi seseorang mendirikan bangunan.
Dalam menentukan batas antara memberi dan berbuat
seringkali menimbulkan keragu-raguan. Walaupun menurut tata bahasa memberi
adalah berbuat, akan tetapi pada umumnya yang diartikan dengan memberi adalah
menyerahkan hak milik atau memberi kenikmatan atas suatu benda. Misalnya,
penyerahan hak milik atas sebuah rumah atau memberi kenikmatan atas barang yang
disewa kepada si penyewa. Adapun yang dimaksud dengan berbuat adalah setiap
prestasi yang bersifat positif yang tidak berupa memberi, misalnya, melukis
atau menebang pohon.
D. Keslahan,
Kelalaian dan Kesengajaan
Debitur yang berkewajiban menyerahkan suatu
barang, akan tetapi tidak memelihara barangnya sebagaimana disyaratkan oleh
Undang-undang, bertanggungjawab atas berkurangnya nilai harga barang tersebut karenakesalahannya.
Di sini kita jumpai perkataan “kesalahan”, maka timbul pertanyaan apakah yang
dimaksud perkataan tersebut?
Untuk adanya kesalahan harus dipenuhi
syarat-syarat :
1. kesalahan yang dilakukan harus dapat
dihindarkan;
2. perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepada si pembuat, yaitu bahwa
ia dapat menduga tentang akibatnya.
Kesalahan mempunyai dua pengertian, yaitu dalam
arti luas yang meliputi kesengajaan dan kelalaian dan dalam arti sempit yang
hanya mencakup kelalaian saja.
Kesengajaan adalah perbuatan yang dilakukan
diketahui dan dikehendaki. Sedangkan kelalaian adalah perbuatan, di mana si
pembuatnya mengetahui akan kemungkinan terjadinya akibat yang merugikan orang
lain. Persetujuan adalah batal, jika persetujuan yang membatasi akibat-akibat
tersebut bertentangan dengan kesusilaan atau jika mengandung kalausula yang
meniadakan pertanggungjawaban atas kesengajaan yang dibuatnya sendiri.
E. Ingkar
Janji dan Penetapan Lalai
1. Ingkar Janji
Pada debitur terletak kewajiban untuk memenuhi
prestasi. Dan jika ia tidak melaksanakan kewajibannya tersebut bukan karena
keadaan memaksa maka debitur dianggap melakukan ingkar janji. Ada tiga bentuk
ingkar janji, yaitu :
a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali;
b. Terlambat memenuhi prestasi; dan
c. Memenuhi prestasi secara tidak baik.
Sehubungan dengan dibedakannya ingkar janji
seperti tersebut di atas, timbul persoalan apakah debitur yang tidak memenuhi
prestasi tepat pada waktunya harus dianggap terlambat atau tidak memenuhi
prestasi sama sekali?. Dalam hal debitur tidak lagi mampu memenuhi prestasinya,
maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali. Sedangkan jika
prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka digolongkan ke dalam
terlambat memenuhi prestasi. Jika debitur memenuhi prestasi secara tidak baik,
ia dianggap terlambat memenuhi prestasi jika prestasinya masih dapat diperbaiki
dan jika tidak, maka dianggap tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Dalam hal debitur melakukan ingkar janji,
kreditur dapat menuntut :
a. Pemenuhan perikatan;
b. Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi;
c. Ganti rugi;
d. Pembatalan persetujuan timbal balik;
e. Pembatalan dengan ganti rugi.
2. Bentuk dan isi penetapan lalai
Penetapan lalai harus dituangkan dalam bentuk
perintah atau akta yang sejenis dengan itu, demikianlah ketentuan pasal 1238
BW. Adapun yang dimaksud dengan perintah oleh undang-undang adalah suatu
exploit dari jurusita, yaitu suatu pesan lisan; suatu salinan daripada tulisan
yang telah dipersiapkan terlebih dulu oleh jurusita dan diserahkan kepada yang
bersangkutan. Dalam praktek tulisan semacam itu sering disebut exploit. Pada
pokoknya pemberitahuan jurusita disampaikan secara lisan.
F. Ganti
Rugi dalam Ingkar Janji
Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
mestinya dan ada unsur kelalaian dan salah, maka ada akibat hukum yang atas
tuntutan dari kreditur bias menimpa debitur, sebagaimana diatur dalam pasal
1236 dan 1243, juga diatur pada pasal 1237 KUHPerdata.
Pasal 1236 dan 1243 berupa ganti rugi dalam arti:
- Sebagai
pengganti dari kewajiban prestasi perikatannya.
- Sebagian dari
kewajiban perikatan pokoknya atau disertai ganti rugi atas dasar cacat
tersembunyi.
- Sebagai
pengganti atas kerugian yang diderita kreditur.
- Tuntutan
keduanya sekaligus baik kewajiban prestasi pokok maupun ganti rugi
keterlambatannya.
Pada umumnya ganti rugi diperhitungkan dalam sejumlah
uang tertentu. Dalam hal menentukan total, maka kreditur dapat meminta agar
pemeriksaan perhitungan ganti rugi dilakukan dengan suatu prosedur tersendiri
yang diusulkan. Kalau debitur tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
mestinya, maka debitur dapat dipersalahkan, maka kreditur berhak untuk menuntut
ganti rugi. Jadi prinsip dasarnya kreditur wajib membuktikan adanya kerugian.
Kesulitan dalam praktek sehubungan dengan perubahan nilai mata uang, nilai mata
uang tidak stabil mengakibatkan tidak mudahnya menghitung ganti rugi. Sebagai
patokan dalam menetapkan ganti rugi dengan sejumlah uang yaitu emas sebagai
standar nilai rupiah. Yurisprudensi MA tahun 1955 mengambil emas sebagai
standar dengan catatan bahwa resiko perubahan itu dibagi 2 antara penggugat dan
tergugat. Ada kemungkinan kreditur tidak
mau menerima prestasi yang diserahkan debitur, ditinjau dari sudut kewajiban
penyerahan penjual berkedudukan sebagai kreditur, oleh karenanya sebenarnya
tidak benar kalau dikatakan ada wanprestasi pada kreditur, sebab disana
kreditur sebenarnya berkedudukan sebagai debitur.
G. Keadaan
Memaksa
Pasal 1245 KUHPerdata mengatur tentang kerugian yang timbul karena
berhalangannya debitur untuk memberikan sesuatu atau berbuat sesuatu yang
diwajibkan karena adanya “ keadaan memaksa “ atau kejadian yang tidak disengaja,
maka debitur tidak dapat dituntut ganti rugi oleh kreditur. Dari ketentuan
tersebut bahwa debitur tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana mestinya
disebabkan oleh masalah-masalah sebagai berikut :
- Hal
yang tidak terduga.
- Tidak
dapat dipersalahkan kepadanya.
- Tidak
disengaja.
- Tidak
ada itikad buruk daripadanya.
- Disebabkan
debitur menghadapi keadaan memaksa.
- Faktor
kesalahan adalah faktor yang berkaitan dengan timbulnya halangan.
Unsur-unsur
wanprestasi adalah :
- Ada
peristiwa yang menghalangi prestasi debitur yang diterima sebagai halangan yang
dapat membenarkan debitur untuk tidak berprestasi.
- Tidak
ada unsur salah pada debitur atas timbulnya peristiwa halangan.
- Tidak
dapat diduga sebelumnya oleh debitur.
Overmacht
pada garis besanya terbagi 2 (dua ) yaitu :
- Teorai
overmacht yang obyektif.
Menurut ajaran ini debitur baru bisa mengemukakan keadaan memaksa, kalau
setiap orang dalam kedudukan sebagai debitur tidak mungkin untuk dapat
berprestasi sebagaimana mestinya, ketidakmungkinan berprestasi bersifat
absolut, siapapun tidak bisa melakukan. Ukurannya :
1. ketidak mungkinan merupakan kemungkina obyektif / subyektif.
2. ketidakmungkinan itu tidak dapat dipersalahkan kepada debitur.
Pasal 1444
KUHPerdata dapat disimpulkan kalau ada keadaan absolut tidak mungkin orang
berprestasi, disini ada dasar untuk mengemukakan dalam keadaan overmacht.
- Teori
overmacht yang subyektif.
Bahwa yang dimaksud debitur adalah debitur yang bersangkutan, yang disoroti
adalah cirri-cirinya, kecakapan, tingkat social, kemampuan ekonomi debitur yang
bersangkutan, berdasarkan teori ini debitur masih dimungkinkan keadaan memaksa,
kalau ia membuktikan, bahwa ia sudah berupaya semaksimal mungkin sesuai harapan
kreditur.
Orang membedakan antara keadaan memaksa yang menyeluruh dan sebagian. Dalam
hal ini orang berpendapat ada kesempatan bagi debitur untuk menuntut
melaksanakan perjanjian dengan itikad baik. Tetapi HR telah beberapa kali
menolak tuntutan seperti itu, kemudian HR merubah pendirian diantaranya
keputusan tanggal 10 november 1927, : bahwa pihak-pihak dalam perjanjian tidak
dibenarkan untuk, berdasarkan perjanjian, menuntut sesuatu dari lawannya yang
mengakibatkan pelanggaran “ terhadapt itikad baik “.
H. Resiko
Pada asanya setiap orang memikul sendiri resiko atas kerugian yang menimpa
barang miliknya, kecuali dilimpahkan ke perusahaan asuransi. Berdasarkan
pasal 1237, benda yang harus diserahkan menjadi tangguangan kreditur. Karena
prinsipnya kerugian menjadi tanggungan orang yang bersalah, maka dapat
ditafsirkan bahwa kalau terjadi kerugian pada benda tertentu yang harus
diserahkan dan tidak ada yang bersalah, maka yang harus menanggung kerugian
adalah kreditur. Beberapa penulis mencari jalan keluar dengan menafsirkan
pasal 1444 dengan kata-kata “ hapuslah perikatannya “ ditafsirkan sebagai “
hapuslah seluruh perikatan yang lahir dari perjanjian yang bersangkutan
“. Pasal 1460 KUHPerdata ( tentang resiko pada jual beli ). Masalah
resiko secara umum, dalam praktek ketentuan umum tentang resiko tidak banyak
berperan sebab banyak diatur oleh perjanjian khusus, yang pada prinsifnya
ketentuan khusus didahulukan terhadap ketentuan umum. Diluar itu para pihak dalam
perjanjian juga bebas mengatur sendiri masalah resiko menyimpang dari ketentuan
undang-undang yang bersifat menambah.
I. Jenis-jenis
Perikatan
Perikatan dapat dibedakan menurut :
A. Isi daripada prestasinya :
1. perikatan positif dan negatif
2. perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan
3. perikatan alternatif
4. Perikatan fakultatif
5. perikatan generik dan specific
6. perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak
dapat dibagi
B. Subjek-subjeknya :
1. perikatan solider atau tanggung renteng
2. perikatan principle atau accessoire
C. Mulai berlaku dan berakhirnya perikatan :
1. perikatan bersyarat
2. perikatan dengan ketentuan waktu
A.1. Perikatan positif dan negatif
Perikatan positif adalah perikatan yang
prestasinya berupa perbuatan nyata, misalnya memberi atau berbuat sesuatu.
Sedangkan pada perikatan negatif prestasinya berupa tidak berbuat sesuatu.
A.2. Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan
Adakalanya untuk pemenuhan perikatan cukup hanya
dilakukan dengan satu perbuatan saja dan dalam waktu yang singkat tujuan
perikatan tercapai, misalnya perikatan untuk menyerahkan barang yang dijual dan
membayar harganya.
Perikatan semacam ini disebut perikatan sepintas
lalu. Sedangkan perikatan, dimana prestasinya bersifat terus menerus dalam
jangka waktu tertentu, dinamakan perikatan berkelanjutan. Misalnya perikatan
yang timbul dari persetujuan sewa-menyewa atau persetujuan kerja.
A.3. Perikatan alternatif
Menurut pasal 1272 merumuskan tersendiri tentang perikatan alternative, si
berhutang dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang
disebutkan dalam perikatan, tetapi ia tidak boleh memaksa si berpiutang untuk
menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari barang yang lain.
Uraiannya sebagai berikut :
- Disini ada
lebih dari satu barang yang menjadi pokok perikatan.
- Perikatan
hanya satu.
- Masing-masing
obyek ( prestasi )nya merupakan satu kesatuan.
- Debitur
hanya wajib memenuhi salah satu dari obyek prestasi.
- Pemenuhan
objek prestasi yang satu membebaskan debitur dari kewajiban prestasi yang lain.
- Debitur
berhak untuk memilih sendiri diantara obyek perikatan.
- Debitur
tidak boleh memberikan obyek prestasi sebagian-sebagian dari kedua-duanya.
A.4.
Perikatan fakultatif
Suatu perikatan fakultatif adalah suatu perikatan yang obyeknya hanya
berupa satu prestasi, dimana debitur dapat menggantikan dengan prestasi lain.
Jika pada perikatan fakultatif, karena keadaan memaksa prestasi primairnya
tidak lagi merupakan obyek perikatan, maka perikatannya menjadi hapus.
Berlainan halnya pada perikatan alternatif, jika salahsatu prestasinya tidak
lagi dapat dipenuhi karena keadaan memaksa, perikatannya menjadi murni.
A.5.
Perikatan generik danspecifik
Perikatan generik adalah perikatan di mana obyeknya ditentukan menurut
jenis dan jumlahnya. Sedangkan perikatan specifik adalah perikatan yang
obyeknya ditentukan secara terperinci. Kewajiban menyerahkan 100 kg gula pasir
merupakan perikatan generik dan kewajiban untuk menyerahkan rumah tertentu yang
telah ditunjuk adalah perikatan specifik.
A.6.
Perikatan yang dapat dibagi-bagi dan yang tidak dapat dibagi-bagi
Apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak
tergantung apakah prestasinya dapat dibagi-bagi atau tidak. Pasal 1299 BW menentukan
bahwa jika hanya ada satu debitur atau satu kreditur prestasinya harus
dilaksanakan sekaligus, walaupun prestasinya dapat dibagi-bagi.
Baru timbul persoalan apakah perikatan dapat
dibagi-bagi atau tidak jika para pihak atau salah satu pihak dan pada perikatan
terdiri lebih dari satu obyek. Hal ini dapat terjadi jika debitur atau
krediturnya meninggal dan mempunyai ahliwaris lebih dari satu. Dapat juga
terjadi jika sejak semula pada salahsatu pihak sudah terdapat lebih dari satu
obyek. Jika perikatan dapat dibagi-bagi, maka akibatnya adalah bahwa setiap
debitur hanya dapat dituntut atau setiap kreditur hanya dapat menuntut
bagiannya sendiri.
Akibat daripada perikatan yang tidak dapat
dibagi-bagi, adalah bahwa kreditur dapat menuntut terhadap setiap debitur atas
keseluruhan prestasi atau debitur dapat memenuhi seluruh prestasi kepada salah
seorang kreditur, dengan pengertian bahwa pemenuhan prestasi menghapuskan
perikatan.
B.2. Perikatan pokok dan accessoire
Apabila seorang debitur atau lebih terikat sedemikian
rupa, sehingga perikatan yang satu sampai batas tertentu tergantung kepadaa
perikatan yang lain, maka perikatan yang pertama disebut perikatan pokok
sedangkan yang lainnya perikatan accessoire. Misalnya perikatan utang dan borg.
Dalam satu persetujuan dapat timbul
perikatan-perikatan pokok dan accessoire, misalnya pada persetujuan jual-beli,
perikatan untuk menyerahkan barang merupakan perikatan pokoknya, sedangkan
kewajiban untuk memelihara barangnya sebagai bapak rumah tangga yang baik
sampai barang tersebut diserahkan merupakan perikatan accessoire.
C.1. Perikatan bersyarat
Pasal 1253 merumuskan tentang syarat yaitu :
- Suatu
peristiwa yang masih akan datang, jadi belum terjadi.
- Belum tentu
akan terjadi.
Kemudian dihubungkan dengan pasal berikutnya, pasal 1254 yaitu :
- Mungkin
terlaksana.
- Tidak
bertentangan dengan kesusilaan.
Pasal 1253, 1254, 1255, mengatur syarat-syarat perjanjian, ditutup pada
saat perjanjian, digantungkan dan dikehendaki oleh kedua belah pihak,
kesimpulannya bahwa syarat sesuatu yang sengaja dicantumkan oleh para pihak,
dan disetujui para pihak dalam perjanjian.
Perikatan bersyarat diatur dalam bab I bagian ke 5 (lima ) buku 3 (tiga ),
yang bersyarat adalah perikatannya, bukan perjanjiannya. Syarat yang terlarang
mempunya akibat hukum yang lebih kuat daripada testamen.
C.2.
Perikatan dengan ketentuan waktu
Pada perikatan dengan ketentuan waktu, perjanjian sudah lahir pada saat
ditutup, tetapi daya kerja dari perikatan yang lahir tersebut ditangguhkan,
sampai terpenuhinya peristiwa-peristiwa yang disyaratkan ( pasal 1268 ), kalau
perikatan itu dibatalkan dengan munculnya syarat tertentu.
Pasal 1268 mengatakan bahwa dalam suatu persetujuan diperjanjikan,
pembayaran akan dilakukan pada waktu tertentu, maka kreditur tidak berhak untuk
menagih sebelum waktu yang ditentukan.konsekwensinya kalau perikatan itu berisi
“ untuk memberikan sesuatu “ maka debitur sudah sejak semula berkewajiban untuk
memelihara benda prestasi dan wajib melakukan semua kewajiban-kewajiban
persiapan.
BAB III
Perikatan Yang Terjadi Karena Persetujuan
Persetujuan
Pada Umumnya
Persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Definisi ini kurang lengkap
atau tidak secara lengkap menggambarkan tentang suatu perjanjian, karena:
1. Definisi
hanya menyangkut Perjanjian sepihak, yakni Perjanjian dimana satu pihak saja
yang berkewajiban melaksanakan suatu Prestasi. Jadi definisi tersebut tidak
menyinggung tentang Perjanjian Timbal Balik yang merupakan bagian terbesar dari
perjanjian-perjanjian yang ada.
2. Istilah
“Perbuatan” tersebut terlalu luas, karena disamping menyinggung Perjanjian juga
perbuatan-perbuatan lain yang bukan merupakan perjanjian. Lebih baik untuk kata
“perbuatan” ini istilahnya diganti dengan “perbuatan hukum”, karena yang
dipermasalahkan dalam hal ini adalah perjanjian sebagai sumber Perikatan.
3. Tidak
dipenuhinya syarat “kata sepakat”, padahal syarat tersebut merupakan intisari
suatu perjanjian.
Pengertian perjanjian tidak hanya terdapat dalam Buku III, tetapi ada juga
dalam Buku I, dimana antara lain yang merupakan suatu perjanjian yakni
Perjanjian Perkawinan, dimana calon suami isteri memperjanjikan apa yang akan
diperbuat dengan harta mereka yang dibawa dalam Perkawinan. Akan tetapi
Perjanjian yang dimaksud dalam Buku III adalah perjanjian yang diatur dalam
bidang hukum kekayaan, yakni bidang kebendaan dan bidang hukum perikatan.
Bagian-bagian/
Unsur-unsur Persetujuan
Essentialia
Bagian-bagian daripada persetujuan yang tanpa itu
persetujuan tidak mungkin ada. Harga adalah essentalia bagi persetujuan
jual-beli.
Naturalia
Bagian-bagian yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai peraturan-peraturan yang bersifat mengatur. Misalnya penanggungan
(vrijwaring).
Accidentalia
Bagian-bagian yang oleh para pihak ditambahkan
dalam persetujuan, di mana undang-undang tidak mengaturnya. Misalnya jual-beli
rumah beserta alat-alat rumah tangga.
Macam-macam
Persetujuan Oblogator
1. Persetujuan sepihak dan timbal balik
Hendaknya
diperhatikan bahwa setiap persetujuan merupakan perbuatan hukum bersegi dua
atau jamak. Persetujuan timbal balik adalah persetujuan yang menimbulkan
kewajiban pokok kepada kedua belah pihak (jual beli, sewa menyewa). Persetujuan
sepihak adalah persetujuan, dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu
pihak saja (hibah).
2. Persetujuan dengan Cuma-Cuma atau atas
beban
Persetujuan atas
beban adalah persetujuan dimana terhadap prestasi pihak yang satu terdapat
prestasi pihak yang lain. Antara kedua prestasi tersebut terdapat hubungan
hukum satu dengan yang lain (jual beli, sewa menyewa). Persetujuan dengan
Cuma-Cuma adalah persetujuan, dimana salah satu pihak mendapatkan keuntungan
dari pihak yang lain secara Cuma-Cuma.
3. Persetujuan konsensuil, riil dan formil
Persetujuan
konsensuil adalah persetujuan yang terjadi dengan kata sepakat. Persetujuan
riil adalah persetujuan, dimana selain diperlukan kata sepakat juga diperlukan
penyerahan barang misalnya : penitipan barang, pinjam pakai dan pinjam
mengganti. Adakalanya kata sepakat harus dituangkan dalam bentuk tertentu atau
formil. Misal : hibah.
4. Persetujuan bernama, tidak bernama dan
campuran
Persetujuan-persetujuan
bernama adalah persetujuan-persetujuan, dimana oleh undang-undang telah diatur
secara khusus. Diatur dalam BW bab V s.d. XVIII ditambah title VII A; dalam
KUHD persetujuan-persetujuan asuransi dan pengangkutan. Tidak selalu dengan
pasti kita dapat mengatakan apakah suatu persetujuan itu merupakan persetujuan
bernama atau tidak bernama. Karena ada persetujuan-persetujuan yang mengandung
berbagai unsur dari berbagai persetujuan yang sulit dikualifikasikan sebagai
persetujuan bernama atau tidak bernama (persetujuan campuran). Hanya dalam satu
hal undang-undang memberikan pemecahannya yaitu, yang tersebut dalam pasal 1601
C. untuk menyelesaikan persoalan tersebut, maka dapat dikemukakan tiga teori :
Teori absorptie
Menurut teori ini
diterapkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan daripada persetujuan yang
dalam persetujuan campuran tersebut paling menonjol.
Teori combinatie
Menurut teori ini
persetujuan dibagi-bagi dan kemudian atas masing-masing bagian tersebut
diterapkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku untuk bagian-bagian
tersebut.
Teori generis
Menurut teori ini,
ketentuan-ketentuan daripada persetujuan-persetujuan yang terdapat dalam
persetujuan campuran diterapkan secara analogis.
Macam-macam
Persetujuan Lainnya
1.
Persetujuan liberatoire (pasal 1440 dan pasal 1442 BW)
Persetujuan liberatoire adalah perbuatan hukum yang atas
dasar sepakat para pihak mengahpuskan perikatan yang telah ada. A mengadakan
perjanjian jual beli dengan B, yang dua hari kemudian dibatalkan lagi atas
persetujuan mereka.
2.
Persetujuan dalam hukum keluarga
Misalnya perkawinan. Inipun merupakan persetujuan karena
terjadi berdasarkan kata sepakat suami istri. Tetapi hendaknya diperhatikan
bahwa persetujuan ini mempunyai ubah atau menghapuskan hak-hak kebendaan.
3.
Persetujuan kebendaan
Persetujuan ini diatur dalam buku II BW dan merupakan
persetujuan untuk menyerahkan benda atau menimbulkan, mengubah atau
menghapuskan hak-hak kebendaan.
4.
Persetujuan mengenai pembuktian
Para pihak adalah bebas untuk mengadakan persetujuan
mengenai alat-alat pembuktian yang akan mereka gunakan dalam suatu proses.
Dapat ditentukan pula alat pembuktian yang tidak boleh dipergunakan. Menentukan
kekuatan alat bukti.
Berlakunya
Persetujuan
Persetujuan pada asasnya hanya mengikat pihak-pihak yang
membuat persetujuan saja (pasal 1315-pasal 1318 dan pasal 1340 BW). Akan tetapi
ternyata terhadap asas tersebut undang-undang mengadakan pengecualian yang
tersebut dalam pasal 1317 BW, yaitu mengenai janji bagi kepentingan pihak
ketiga. Pasal 1316 yang mengatur persetujuan untuk menanggung atau menjamin
pihak ketiga untuk berbuat sesuatu, sebenarnya bukan merupakan pengecualian dari
pasla 1315. karena seseorang yang menanggung pihak ketiga untuk berbuat
sesuatu, mengikatkan dirinya atas sesuatu kewajiban terhadap lawannya dalam
persetujuan, bahwa manakala pihak ketiga tidak melakukan apa yang diharapkan
daripadanya ia akan membayar ganti rugi. Dalam hal ini pihak ketiga menurut
hukum tidak terikat oleh persetujuan tersebut.
Janji Bagi
Kepentingan Pihak Ketiga
Janji bagi kepentingan pihak ketiga
(derdenbeding)
Janji bagi pihak ketiga adalah suatu janji
yang oleh para pihak dituangkan dalam suatu persetujuan, dimana ditentukan
bahwa pihak ketiga akan mendapatkan hak atas suatu prestasi. Janji semacam ini
sering tampak dalam praktek seperti pada asuransi jiwa atau pada pemberian
konsensi, dimana kotapraja memberi izin untuk mendirikan pabrik gas dengan
syarat bahwa kepada penduduk akan diberi gas dengan kondisi-kondisi tertentu.
Menurut pasal 1317 BW, janji bagi kepentingan pihak ketiga hanya mungkin dalam dua hal, yaitu :
Menurut pasal 1317 BW, janji bagi kepentingan pihak ketiga hanya mungkin dalam dua hal, yaitu :
1. Jika seseorang memberi sesuatu kepada
orang lain, misal A menghadiahkan rumahnya kepada B dengan membebankan kepada B
kewajiban untuk melakukan sesuatu prestasi untuk C.
2. Jika seseorang dalam persetujuan membuat
suatu janji untuk kepentingan sendiri. Misal A menjual rumahnya kepada Bdengan
janji bahwa B akan melakukan beberapa prestasi untuk C.
Hal-hal yang mengikat dalam perjanjian (pasal
1338, 1339, 1347 BW) :
1. Isi perjanjian
2. Undang-undang
3. Kebiasaan
4. Kepatutan
Akibat perjanjian yang sah (1338 BW) :
1. Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai bagi yang membuatnya.
2. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali
selai dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
3. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan
itikad baik.
Penafsiran isi perjanjian :
1. Jika kata-kata perjanjian jelas, tidak
dikarenakan menyimpang.
2. Hal-hal yang memuat perjanjian selamanya
diperjanjikan, dianggap dimasukan dalam perjanjian meskipun tidak dengan tegas
dinyatakan.
3. Semua janji yang dibuat dalam perjanjian
harus diartikan dalam hubungan satu sama lain (ditafsirkan dalam rangka
perjanjian seluruhnya).
4. Jika ada keraguan, perjanjian harus
ditafsirkan atas kerugian orang yang telah meminta diperjanjikannya sesuatu hal
dan untuk keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu.
5. Meskipun arti kata-kata dalam perjanjian
luas atau tetapi perjanjian hanya meliputi hal-hal yang nyata-nyata dimaksudkan
untuk kedua belah pihak sewaktu membuat perjanjian.
Timbulnya
Hak Bagi Pihak Ketiga
Untuk menentukan
timbulnya hak bagi pihak ketiga, terdapat tiga teori, yaitu :
1. Teori penawaran
Menurut teori ini
janji untuk pihak ketiga dianggap sebagai suatu penawaran dari seseorang yang
menjanjikan sesuatu untuk kepentingan pihak ketiga. Selama pihak ketiga belum
menyatakan menerima penawaran tersebut, penawaran itu masih dapat dicabut
kembali. Janji pihak ketiga baru timbul setelah penawaran diterima.
2. Teori pernyataan yang menentukan sesuatu
hak (theorie rechtbevestigende verklaring)
Menurut teori ini,
hak pihak ketiga terjadi pada saat dibuatnya pesetujua antara pihak yang
menjanjikan sesuatu untuk kepentingan pihak ketiga dan pihak yang mempunyai
kewajiban terhadpa pihak ketiga. Janji tersebut masih dapat ditarik kembali dan
ini akan menghapuskan hak pihak ketiga. Penerimaan oleh pihak ketiga meniadakan
hak untuk mencabut janji tersebut.
3. Teori pernyataan untuk memperoleh hak
(theorie rechtverkrijgende verklaring)
Teori ini
mengemukakan bahwa hak pihak ketiga baru terjadi setelah pihak ketiga
menyatakan kehendaknya untuk menerima janji tersebut. Hoge Raad menganut teori
ini.
Actio
Pauliana
Pasal 1341 KUHPerdata mengatur
apa yang disebut : Actio Pauliana, yakni hak untuk menuntut pembatalan
perbuatan yang dilakukan oleh Debitur dengan maksud untuk merugikan Pihak
Kreditur.
Contoh : A meminjamkan uang
kepada B sebesar Rp 1 Milyar dengan jaminan harta kekayaannya sejumlah Rp 1
Milyar pula, Debitur lalu menghibahkan setengah dari hartanya kepada pihak
ketiga, sedangkan ia mengetahui bahwa penghibahan ini akan merugikan pihak
Kreditur.
Dalam hal ini Kreditur dapat
berhak menuntut pembatalan Hibah yang merugikan pihaknya. Dalam hal ini
tentunya rugi karena jaminannya menjadi berkurang. Untuk dapat melakukan hak
tersebut, harus dipenuhi beberapa syarat, yakni:
1. Perbuatan yang dilakukan adalah
perbuatan yang tidak wajib;
2. Perbuatan yang tidak wajib itu merupakan perbuatan
hukum (misalnya perjanjian);
3. Perbuatan itu menimbulkan kerugian pada pihak
Kreditur;
4. Debitur mengetahui bahwa perbuatan itu menimbulkan
kerugian bagi pihak Kreditur.
Jika keempat syarat tersebut
terpenuhi, maka pihak Kreditur berhak menuntut pembatalan perbuatan Debitur
yang merugikan itu (atau mengajukan Actio Pauliana).
Terjadinya
Persetujuan
Pasal 1320 menentukan bahwa untuk sahnya
persetujuan diperlukn 4 (empat) syarat :
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. cakap untuk membuat perikatan;
3. suatu hal tertentu;
4. suatu sebab atau clausa yang halal.
Syarat pertama dan kedua menyangkut subyeknya,
sedangkan syarat ketiga dan keempat mengebai obyeknya. Terdapatnya cacad
kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan
mengakibatkan dapat dibatalkannya persetujuan. Jika obyeknya tidak tertentu
atau tidak dapat ditentukan atau causanya tidak halal persetujuannya adalah
batal.
Akibat-akibat
Persetujuan
Pasal 1338 ayat 1 menentukan bahwa setiap
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Ini berarti setiap persetujuan mengikat para pihak. Dari
perkataan “setiap’ dalam pasal di atas dapat disimpulkan azas kebebasan
berkontrak.
Kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh hukum yang
sifatnya memaksa. Sehingga para pihak yang membuat persetujuan harus mentaati
hukum yang sifatnya memaksa tersebut, misalnya terhadap pasal 1320.
Ayat 2 pasal di atas merupakan kelanjutan dari
ayat 1. Karena jika persetujuan dapat dibatalkan secara pihak, berarti
persetujuan tidak mengikat.
Penafsiran
Persetujuan
Jika kata-kata suatu persetujuan telah jelas,
tidaklah diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran.
Jadi, jika kata-katanya telah jelas, maka kita tidak boleh menyelidiki maksud
para pihak. Yang menjadi persoaalan, apakah yang diartikan dengan “jelas”?
suatu perikatan adalah jelas bagi yang satu, tetapi belum tentu bagi yang lain.
Jadi perkataan “jelas” di sini tidak dapat memberikan pengertian yang umum.
Seseorang tidak mungkin membentangkan buah pemikirannya yang complex sedemikian
rupa, sehingga atas perkataannya tidak akan terdapat penafsiran yang
berbeda-beda. Jadi kata-kata “jelas’ dalam pasal tersebut di atas harus
diartikan sebagai kata-kata yang sedikit sekali memberikan kemungkinan untuk
terjadinya penafsiran yang berbeda.
Hapusnya
Persetujuan
Persetujuan dapat hapus, karena :
a. ditentukan dalam persetujuan oleh para pihak. Misalnya persetujuan
akan berlakuuntuk waktu tertentu;
b. undang-undang menentukan batas berlakunya suatu persetuan.
c. para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya
peristiwa tertentu, maka persetujuan akan hapus.
d. pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging) dapat dilakukan oleh
kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak.
e. persetujuan hapus karena putusan hakim.
f. Tujuan persetujuan telah tercapai.
g. dengan persetujuan para pihak. (herroeping).
BAB IV
Perikatan Yang Terjadi Karena Undang-undang
Perwakilan
Sukarela
perwakilan
sukarela adalah suatu perbuatan dimana seseorang secara sukarela menyediakan
dirinya dengan maksud mengurus kepentingan orang lain, dengan perhitungan dan
resiko orang tersebut. Dalam konteks kehidupan sehari-hari contoh perwakian
sukarela yaitu A adalah seorang mahasiswa. Dia memiliki peliharaan Hamster yang
ditaruh di kandang depan kamar kosnya. Suatu saat dia pergi 2 bulan karena
harus KKN. Lalu B tetangga kos A melihat Hamster yang kelaparan. Dengan
inisiatif sendiri B memberi makan dan membersihkan kandang Hamster milik A.
Maka berdasarkan Hukum, B harus terus merawat hamters itu selayaknya pemilik
sampai A tiba selesai KKN dan merawatnya sendiri.
Syarat adanya perwakilan sukarela adalah :
1. Yang diurus adalah
kepentingan orang lain
2. Bersifat Sukarela
(inisiatif sendiri, bukan karena kewajiban perjanjian)
3. seorang wakil
harus mengetahui dan menghendaki dalam mengurus kepentingan orang lain (1354)
4. Harus ada keadaan
yang mendukung. Misalnya seseorang yang diurus kepentingannya tidak berada di
tempat/ sebab-sebab lain yang menyebabkan ia tidak dapat mengurus
kepentingannya sendiri.
Orang
yang bertindak sebagai wakil sukarela disebut Gestor. Adapun hak dan kewajiban
seorang gestor adalah :
Kewajiban Gestor :
1. Dalam melakukan
pengurusan, wakil sukarela harus bertindak sebagai bapak rumah tangga yang baik
dan melakukan pengurusan secara layak. (Pasal 1356 dan 1357)
2. Wajib meneruskan
pekerjaan yang telah diurusnya karena dianggap secara diam-diam mengikatkan
dirinya hingga yang diwakili dapat mengurus sendiri kepentingannya (Pasal 1354
KUHPerdata.
3. Kewajiban
pengurusan ini tetap berlangsung meski yang diwakili meninggal dunia hingga
ahli waris mengambil alih kewajibannya. (Pasal 1355 KUHPerdata)
4. Memberikan lapran
dan perhitungan mengenai apa yang diterima.
5. Bertanggungjawab
atas kerugian pihak yang diwakili akibat pelasanaan tugas yang kurang baik.
adapun Hak gestor yaitu :
1. Berhak mendapatkan
penggantian biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam bagian pengurusan
kepentingan secara sukarela tersebut (Gestor tidak berhak menerima upah).
2. Gestor mempunyai
hak retensi yaitu menahan barang-barang kepunyaan
orang yang diwakili sampai pengeluaran-pengeluarannya dibayar (Dasar hukum :
Arrest Hoge raad 10 des. 1948).
Pembayaran
Yang Tidak Terutang
Pembayaran tidak
terutang atau dalam bahasa Belandanya onverschuldigde betalingterjadi
bilamana seorang melakukan pembayaran kepada pihak lain tanpa adanya
hutang. Pembayaran yang dimaksud adalah setiap pemenuhan prestasi. Contoh dalam
kehidupan sehari-hari dapat saya deskripsikan sebagai berikut :
A seorang mahasiswa memiliki hutang kepada B. Suatu
hari utang tersebut telah dibayar lunas oleh A. Namun karena A orangnya pelupa
maka bebearpa hari kemudian ia membayar lagi kepada B. B menerima saja
pembayaran yang kedua itu. Anggap saja sebagi sejeki. Nah, pembayaran utang
yang kedua itu merupakan pembayaran tidak terutang.
Contoh kasus lain
adalah Sukijo membeli sepeda motor dan sudah dibayar lunas dan akan diantar
dealer pada sore hari. Lalu pihak dealer mengirim motor itu dan menurunkan di
kampung sebelah yang kebetulan ada juga yang berwarna sukijo. Petugas dealer
meminta tandatangan tanda terima dari pak sukijo dari kampung sebelah untuk
kemudian langsung pergi. Sukijo kampung sebelah menerima saja hal itu. dia
menganggapnya sebagai rejeki. nah Sukijo yang sebenarnya membeli motor protes
kepada dealer karena motornya blum juga sampai. Pihak dealer lalu
menyadari kesalahan itu dan berniat meminta kembali motor yang telah diberikan
kepada sukojo kampung sebelah kepada sukijo pembeli motor. Namun permintaan itu
ditolak oleh sukijo kampung sebelah dengan alsan sudah terjadi pemberian.
Contoh kasus diatas
mungkin jarnag terjadi di Indonesia. entah bentuk yang sering terjadi
seperti apa namun itu penting untuk diatur. Pembayaran tidak terutang diatur
pada pasal 1359 KUHPerdata.
Seorang yang membayar
tanpa adanya hutang berhak menuntut kembali apa yang telah dibayarkan dan yang
menerima tanpa hak tersebut berkewajiban untuk mengembalikan.
penuntutan
pengembalian pembayaran tidak terutang tidak harus didasarkan pada adanya
kekeliruan oran yang sadar membayar tanpa adanya utang, tetap berhak menuntut
kembali.
Pasal 1362 KUHPerdata
mengatur bahwa barang siapa dengan itikad buruk menerima suatu pembayaran tanpa
hak, harus mengembalikan hasil dan bunganya. orang tersebut juga harus
mengganti kerugian jika nila barnag-barangnya menjadi berkurang. Jika barangnya
musnah di luar kesalahannya, ia harus menganti barangnya beserta biaya,
kerugian dan bunga, kecuali jika ia dapat membuktikan bahwa barangnya tetap
akan musnah sekalipun berada pada orang yang berhak.
Perikatan
Alam
Pasal 1359 ayat 2 yang berbunyi “Perikatan alam
yang secara sukarela dipenuhi, tak dapat dituntut pengembaliannya” merupakan satu-satunya
pasal mengenai perikatan alam. Pasal tersebut tidak menerangkan, apakah yang
diartikan dengan perikatan alam, tetapi hanya menjelaskan tentang akibatnya
saja.
Perbuatan
Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum
memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan
perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang
bertentangan dengan undang-undang pidana saja tetapi juga jika perbuatan
tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan
hukum yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari perbuatan melawan
hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang
dirugikan.
“Setiap perbuatan pidana selalu
dirumuskan secara seksama dalam undang-undang, sehingga sifatnya terbatas.
Sebaliknya pada perbuatan melawan hukum adalah tidak demikian. Undang-undang
hanya menetukan satu pasal umum, yang memberikan akibat-akibat hukum terhadap
perbuatan melawan hukum.”
Perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda disebut
denganonrechmatige daad dan dalam bahasa Inggeris disebut tort.
Kata tort itu sendiri sebenarnya hanya berarti
salah (wrong). Akan tetapi, khususnya dalam bidang hukum,
kata tort itu sendiri berkembang sedemikian rupa sehingga
berarti kesalahan perdata yang bukan berasal dari wanprestasi dalam suatu
perjanjian kontrak. Jadi serupa dengan pengertian perbuatan melawan hukum
disebut onrechmatige daad dalam sistem hukum Belanda atau di
negara-negara Eropa Kontinental lainnya. Kata ” tort ”
berasal dari kata latin ” torquere ” atau ” tortus ”
dalam bahasa Perancis, seperti kata ”wrong ” berasal dari kata
Perancis ” wrung ” yang berarti kesalahan atau kerugian (injury).
Sehingga pada prinsipnya, tujuan dibentuknya suatu sistem hukum yang kemudian
dikenal dengan perbuatan melawan hukum ini adalah untuk dapat mencapai seperti
apa yang dikatakan dalam pribahasa bahasa Latin, yaitu juris praecepta
sunt luxec, honestevivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere (semboyan
hukum adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain, dan memberikan
orang lain haknya).
Onrechtmatigedaad (perbuatan
melawan hukum), pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Pasal
1401 KUHPerdata, yang menetapkan:
“Elke
onrecthamatigedaad, waardoor aan een ander schade wordt toegebragt, stelt
dengene door wiens shuld die schade veroorzaakt is in de verpligting om dezelve
te vergoeden”.
Soebekti dan Tjitrosudibio
menterjemahkannya sebagai berikut:
“Tiap perbuatan melawan hukum,
yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Para pihak yang melakukan perbuatan hukum itu disebut sebagai subjek
hukum yaitu bias manusia sebagai subjek hukum dan juga badan hukum sebagai
subjek hukum.
Semula, banyak pihak meragukan, apakah perbuatan melawan hukum memang merupakan
suatu bidang hukum tersendiri atau hanya merupakan keranjang sampah, yakni
merupakan kumpulan pengertian-pengertian hukum yang berserak-serakan dan tidak
masuk ke salah satu bidang hukum yang sudah ada, yang berkenaan dengan
kesalahan dalam bidang hukum perdata. Baru pada pertengahan abad ke 19
perbuatan melawan hukum, mulai diperhitungkan sebagai suatu bidang hukum
tersendiri, baik di negara-negara Eropa Kontinental, misalnya di Belanda dengan
istilah Onrechmatige Daad, ataupun di negara-negara Anglo Saxon,
yang dikenal dengan istilah tort.
Perbuatan Melawan Hukum diatur dalam Pasal 1365 s/d Pasal 1380 KUH
Perdata. Pasal 1365 menyatakan, bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum
yang membawa kerugian kepada orang lain menyebabkan orang karena salahnya
menerbitkan kerugian mengganti kerugian tersebut. Perbuatan melawan hukum dalam
KUH Perdata berasal dari Code Napoleon.
Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, maka yang
dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum
yang dilakukan oleh seseorang, yang karena kesalahannya itu telah menimbulkan
kerugian bagi orang lain.
Pasal 1365 KUHPerdata berbunyi:
“Tiap perbuatan melanggar hukum,
yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Istilah “melanggar” menurut MA Moegni Djojodirdjo hanya mencerminkan sifat
aktifnya saja sedangkan sefiat pasifnya diabaikan. Pada istilah “melawan” itu
sudah termasuk pengertian perbuatan yang bersifat aktif maupun pasif.
Seseorang dengan sengaja
melakukan sesuatu perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain, maka
nampaklah dengan jelas sifat aktif dari istilah melawan tersebut. Sebaliknya
kalau seseorang dengan sengaja tidak melakukan sesuatu atau diam saja padahal
mengetahui bahwa sesungguhnya harus melakukan sesuatu perbuatan untuk tidak
merugikan orang lain atau dengan lain perkataan bersikap pasif saja, bahkan
enggan melakukan kerugian pada orang lain, maka telah “melawan” tanpa harus
menggerakkan badannya. Inilah sifat pasif daripada istilah melawan.
Ketentuan dalam Pasal 1365 BW kemudian dipertegas kembali dalam Pasal
1366 BW yaitu:
“Setiap orang bertanggung jawab
tidak hanya untuk kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya tetapi juga
disebabkan oleh kelalaiannya.”
Kedua pasal tersebut di atas menegaskan bahwa perbuatan melawan hukum tidak
saja mencakup suatu perbuatan, tetapi juga mencakup tidak berbuat. Pasal
1365 BW mengatur tentang “perbuatan” dan Pasal 1366 BW mengatur tentang “tidak
berbuat”.
Dilihat dari sejarahnya maka pandangan-pandangan mengenai perbuatan melawan hukum
selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Menurut Rachmat Setiawan dalam
bukunya “Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum”, perbuatan melawan hukum
dapat dibedakan menjadi 2 interpretasi, yaitu interpretasi sempit atau lebih
dikenal dengan ajaran legisme dan interpretasi luas.
Menurut ajaran Legisme (abad 19), suatu perbuatan melawan hukum diartikan
sebagai beruat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari
si pembuat atau melanggar hak orang lain. Sehingga menurut ajaran Legistis
suatu perbuatan melawan hukum harus memenuhi salah satu unsure yaitu: melanggar
hak orang lain bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat yang telah diatur
dalam undang-undang.
Ajaran Legistis lebih menitik beratkan bahwa tidak semua perbuatan yang
menimbulkan kerugian dapat dituntut ganti rugi melainkan hanya terhadap
perbuatan melawan hukum saja yang dapat memberikan dasar untuk menuntut
ganti rugi. Pandangan tersebut kemudian lebih dikenal sebagai pandangan sempit.
Ajaran Legistis tersebut mendapat tantangan dari beberapa sarjana diantarnya
adalah Molengraaf yang mana menurut pandangan beliau, yang dimaksud dengan
perbuatan melawan hukum tidak hanya terpaku pada melanggar undang-undang
semata, tetapi juga jika perbuatan tersebut melanggar kaedah-kaedah kesusilaan
dan kepatutan.
Pada tahun 1919, Hoge Raad merumuskan pandangan luas mengenai perbuatan melawan
hukum. Pada rumusannya, Hoge Raad mempergunakan rumusan yang terdapat dalam
rancangan Heemskerk yang mana yang dimaksud perbuatan melawan hukum tidak sama
dengan melawan undang-undang tetapi perbuatan melawan hukum harus diartikan
sebagai “berbuat” atau “tidak berbuat” yang memperkosa hak oranglain atau
bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat atau bertentangan dengan asas
kesusilaan dan kepatuhan dalam masyarakat, baik terhadap diri atau benda orang
lain.
Rumusan tersebut dituangkan dalam “Standart Arrest” 31 Januari
119 dalam perkara Cohen dan Lindenbaum:
“…. Penafsiran tersebut tidak
beralasan karena melawan hukum tidak sama dengan melawan undang-undang. Menurut
Hoge Raad perbuatan melawan hukum harus diartikan sebagai “berbuat” atai “tidak
berbuat” yang memperkosa hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban
hukum si pembuat atau kesusilaan atau kepatuhan dalam masyarakat, baik terhadap
diri atau benda orang lain.”
Sejak tahun 1919, Hoge Raad mulai menafsirkan Perbuatan Melawan Hukum dalam
arti luas pada perkara Lindenbaum v. Cohen dengan mengatakan Perbuatan
Melawan Hukum harus diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat yang
bertentangan dengan :
1.
Hak
Subyektif orang lain.
2.
Kewajiban
hukum pelaku.
3.
Kaedah
kesusilaan.
4.
Kepatutan
dalam masyarakat
Pertanggungjawaban yang harus dilakukan berdasarkan perbuatan melawan hukum ini
merupakan suatu perikatan yang disebabkan dari undang-undang yang mengaturnya
(perikatan yang timbul karena undang-undang).
Pada ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori perbuatan melawan hukum, yaitu
sebagai berikut:
1.
Perbuatan
melawan hukum karena kesengajaan
2.
Perbuatan
melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian).
3.
Perbuatan
melawan hukum karena kelalaian.
Bila dilihat dari model
pengaturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perbuatan melawan
hukum lainnya, dan seperti juga di negaranegara dalam sistem hukum Eropa
Kontinental, maka model tanggung jawab hukum di Indonesia adalah sebagai
berikut:
1.
Tanggung
jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian), seperti terdapat
dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
2.
Tanggung
jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian seperti terdapat dalam
Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
3.
Tanggung
jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat terbatas seperti dalam
Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
Perbuatan
Melawan Hukum Oleh Badan Hukum
Praktek peradilan menerima bahwa badan hukum
dapat juga melakukan perbuatan melawan hukum dan karenanya dapat
dipertanggungjawabkan berdasarkan pasal 1365. Yang menjadi dasar dari pendapat
tersebut adalah bahwa perbuatan organ suatu badan hukum berlaku sebagai
perbuatan dari badan hukum itu sendiri. Perbuatan di sini, bukan hanya
perbuatan hukum tetapi juga mencakup perbuatan-perbuatan manusia lainnya.
Perbuatan
Melawan Hukum Oleh Penguasa
1. Tindakan Pemerintahan.
Pemerintah dengan alat perlengkapan/organ-organnya
sebagai Penguasa dalam menjalankan tugasnya guna mencapai tujuan Negara
melakukan tindakan-tindakan berdasarkan wewenang khusus. Segala tindakan dan kewenangan
tersebut disebut Tindak Pemerintahan.
Mengenai tujuan Negara pada Era sekarang ini, seperti
diketahui pada prinsipnya adalah menyelenggarakan kepentingan Umum.
Di Indonesia, perumusan mengenai tujuan Pemerintahan
itu tercantum dalam Alenia IV Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi : Untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia…”.
2. Perlindungan terhadap Tindakan Penguasa
Dalam Rangka melaksanakan tugasnya, Pemerintah
melakukan tindakan-tindakan yang tentu akan menyangkut kepentingan orang. Yang
mana setiap tindakan yang dilakukan Pemerintah itu disatu fihak akan membawa
keuntungan tetapi dilain fihak tidak jarang akan merugikan orang-orang
tertentu.
Dengan demikian tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
rangka memenuhi kebutuhan untuk kepentingan umum, kadang-kadang Pemerintah
merugikan orang Perseorangan. Karenanya dalam hal yang demikian Pemerintah
sebagai Penguasa seyogyanya dalam melakukan tindakan selalu harus
mempertimbangkan kepentingan yang perlu dilindungi.
Apabila in concreto suatu kepentingan
umum dianggap bersifat lebih berat daripada kepentingan perseorangan, maka
kepentingan orang perseorangan harus dikalahkan. Tetapi sebaliknya apabila
kepentingan umum itu in concreto tidak begitu berat artinya tidak merugikan
masyarakat bila diabaikan, sedang dengan mengabaikan kepentingan umum yang
ringan itu ada dapat dipenuhi kepentingan orang perseorangan yang amat berat,
maka selayaknya Negara dalam peristiwa ini harus dikalahkan, yaitu harus
dianggap melakukan perbuatan melanggar hukum dan harus memberi ganti kerugian
kepada orang perseorangan yang dirugikan sebagai akibat perbuatan Pemerintah
itu
3. Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa.
Perbuatan melawan hukum tidak hanya berarti berbuat
(atau tidak berbuat) yang melanggar hak subyektif orang lain ataupun
bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku, akan tetapi meliputi juga berbuat
(atau tidak berbuat) yang bertentangan dengan azas kepatutan, ketelitian serta
sikap kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulannya dalam
masyarakat terhadap milik orang lain.
Penguasa dapat juga melakukan tindakan yang
melawan/melanggar azas kepatutan tadi, apabila Penguasa ikut ambil bagian dalam
suatu kegiatan dalam kedudukannya yang sama dengan orang perseorangan, dengan
cara melakukan perbuatan-perbuatan yang menurut hakikatnya tidak hanya dapat
dilakukan oleh Penguasa, akan tetapi dapat juga dilakukan oleh orang
perseorangan.
4. Kebijaksanaan
Pemerintah
Dalam setiap kebijakan yang
dibuat Penguasa haruslah betul-betul mempertimbangkan kepentingan umum, dan
jangan sampai menimbulkan sesuatu yang pada sekarang ini disebut dengan abuse
of politican power. Dimana pemerintah sebagai penguasa bertindak
sewenang-wenang.
BAB V
Hapusnya Perikatan
Pembayaran
Pembayaran dalam arti sempit
adalah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur, pembayaran seperti ini
dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Sedangkan pengertian pembayaran dalam
arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk jasa
seperti jasa dokter, tukang bedah, jasa tukang cukur atau guru privat.
Penawaran
Pembayaran diikuti Penitipan
Penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan
penitipan/konsignasi merupakan salah satu hal/sehab hapusnya perikatan. Konsignasi diatur dalam Pasal 1404 s/d. 1412
KUHPerdata. Jika si berpiutang
menolak pembayaran dari yang berutang, maka pihak yang berutang dapat melakukan
pembayaran tunai utangnya dengan menawarkan pembayaran yang dilakukan oleh
jurusita dengan disertai 2 (dua) orang saksi.
Konsignasi terjadi apabila
seorang kreditur menolak pembayaran yang dilakukan oleh debitur, debitur dapat
melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya, dan jika kreditur masih
menolak, debitur dapat menitipkan uang atau barangnya di pengadilan.
Pembaharuan
Utang (Novasi)
Novasi adalah sebuah persetujuan,
dimana suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan lain
harus dihidupkan, yang ditempatkan di tempat yang asli. Ada tiga macam jalan
untuk melaksanakan suatu novasi atau pembaharuan utang yakni:
1. Apabila
seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang
mengutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya.
Novasi ini disebut novasi objektif.
2. Apabila
seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang
oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatannya (ini dinamakan novasi subjektif
pasif).
3. Apabila
sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk
menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya
(novasi subjektif aktif).
Perjumpaan
Utang (Kompensasi)
Yang dimaksud dengan kompensasi
adalah penghapusan masing-masing utang dengan jalan saling memperhitungkan
utang yang sudah dapat ditagih antara kreditur dan debitur.
Percampuran
Utang
Konfusio adalah percampuran
kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi
satu. Misalnya si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal
oleh krediturnya, atau sidebitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan
harta kawin.
Pembebasan
Utang
Undang-undang
tidak memberikan definisi tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan
utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk
menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk
tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang
adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan
kepada debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma-
Cuma.
Menurut
pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan
tetapi harus dibuktikan. Misalnya pengembalian surat piutang asli secara
sukarela oleh kreditur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
Dengan
pembebasan utang maka perikatan menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan
oleh seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan,
kekeliruan atau penipuan, maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan
: (1) pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para
penanggung utang, (2) pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang,
tidak membebaskan debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah
seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.
Musnahnya
Barang yang Terutang
Apabila benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan
musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi
suatu ”keadaan memaksa”at au force majeur, sehingga undang-undang perlu
mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut. Menurut
Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang
demikian itu hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar
salahnya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok pangkal
pada Pasal 1237 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk
memberikan suatu kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan
adalah atas tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya maka
semenjak kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.
Kebatalan
dan Pembatalan Perikatan-perikatan
Bidang
kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan
dapat dibatalkan.
Disebut
batal demi hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang.
Misalnya persetujuan dengan causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau
hibah antara suami istri adalah batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat
bahwa perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah
terjadi. Contoh : A menghadiahkan rumah kepada B dengan akta dibawah tangan,
maka B tidak menjadi pemilik, karena perbuatan hukum tersebut adalah batal demi
hukum. Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang
membatalkan perbuatan tersebut. Sebelu ada putusan, perbuatan hukum yang
bersangkutan tetap berlaku. Contoh : A seorang tidak cakap untuk membuat
perikatan telah menjual dan menyerahkan rumahnya kepada B dan kerenanya B
menjadi pemilik. Akan tetapi kedudukan B belumlah pasti karena wali dari A atau
A sendiri setelah cukup umur dapat mengajukan kepada hakim agar jual beli dan
penyerahannya dibatalkan. Undang-undang menentukan bahwa perbuata hukum adalah
batal demi hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut
bentuk perbuatan hukum, ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya
adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat. Sedangkan perbuatan hukum dapat
dibatalkan, jika undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap dirinya
sendiri.
terimakasih sudah berbagi, tetap semangat dalam menulis...
BalasHapuskunjungi juga Seminar Nasional MPR RI Problem Sistem Kepartaian dalam Sistem Pemerintahan di Indonesia
semoga ilmunya bermanfaat
BalasHapus