BAB I
PENDAHULUAN
Persoalan hukum sangat kompleks,
karena itu pendekatannya bisa dari multy disiplin ilmu baik sosiologi,
filsafat, sejarah, agama, psikologi, antropologi, politik dan lain-lain. Ketika
kita berbicara Hukum Agraria (hukum pertanahan) ini tidak bisa dilepaskan dari
aspek sejarah, filsafat. Ketika kita berbicara hukum tentang Pemilihan Umum,
pendekatan politik sangat kental. Dalam perkembangan hukum Pemerintahan di
Daerah pendekatan politik sangat mempengaruhi demikian juga ketika kita
berbicara hukum Perbankan dan sebagainya.
Pendekatan hukum melalui multy disiplin tersebut telah
melahirkan berbagai disiplin hukum di samping Philosophy of law dan science
of law, juga seperti teori hukum ( legal theory/theory of law),
sejarah hukum (history of law), sosiologie of law, Anthropology of
law, Comparative of law , phychology of law dan sekarang Politic of law.
Hukum
merupakan entitas yang sangat kompleks, meliputi kenyataan kemasyarakatan yang
majemuk, mempunyai banyak aspek, dimensi dan fase. Hukum terbentuk dalam proses
interaksi berbagai aspek kemasyarakatan (politik, ekonomi, sosial, budaya,
teknologi, keagamaan dan sebagainya).
Jika hukum
hanya dipelajari sebagai pasal-pasal dan dilepas dari kajian norma dan segi
yang mempengaruhinya dapat menyebabkan kita frustasi dan kecewa berkepanjangan.
Ketika kekuasaan mempengaruhi keputusan hukum (hakim), ketika DPR (parlemen)
mengotak-atik pasal-pasal RUU menurut kepentingan partai mereka (bukan untuk
rakyat) ketika itu hukum sudah menghambakan dirinya untuk politik. Maka dalam
makalah ini akan dijelaskan beberapa pembahasan tentang politik hukum nasional
yang terdapat di Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan politik hukum Nasional?
2.
Apa saja yang menjadi sendi-sendi hukum Nasional?
3.
Bagaimana kebijakan pembangunan hukum Nasional?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui pengertian politik hukum Nasional.
2.
Mengetahui sendi-sendi hukum Nasional.
3.
Mengetahui kebijakan pembangunan hukum Nasional.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Politik Hukum Nasional
Setiap masyarakat yang terartur memiliki
tujuan yang perlu untuk dicapai, dan politik merupakan bidang dalam masyarakat
yang berhubungan dengan tujuan masyarakat tersebut. Struktur politik menaruh
perhatian pada pengorganisasian kegiatan kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan
yang secara kolektif menonjol. Memiliki tujuan, didahului oleh proses pemilihan
tujuan diantara berbagai tujuan yang mungkin. Dengan demikian, dalam politik
juga merupakan aktifitas yang memilih suatu tujuan sosial tertentu.
Dalam hukum, kita juga akan dihadapkan pada
persoalan yang serupa, yaitu dengan keharusan untuk menentukan suatu pilihan mengenai
tujuan maupun cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan tersebut.
Pada saat dibicarakan hukum sebagai fenomena sosial, persoalan-persoalan
tersebut juga sedikit anyak telah disinggung. Hukum bukanlah suatu lembaga yang
sama sekali otonom, melainkan pada kedudukan yang kait-mengait dengan
sektor-sektor lain dalam kehidupan masyarakat.
Salah satu segi dari keadaan yang demikian itu adalah bahwa hukum harus
senantiasa melakukan penyesuaian terhadap tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh
masyarakatnya. Dengan demikian, hukum mempunyai dinamika. Politik hukum
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya dinamika yang demikian
itu, karena ia diarahkan kepada iore constituendo, hukum yang harus
berlaku.[1]
Istilah politik hukum merupakan suatu kombinasi antara istilah
politik dan hukum. Dimana dari kedua istilah tersebut memiliki kajian
tersendiri di dalam rumpun pengembangan disiplin termasuk dalam kajian ilmu
politik atau termasuk kajian ilmu hukum. Para ahli hukum sepakat bahwa kajian
yang dikembangkan dalam disiplin ilmu hukum merupakan bagian dari disiplin ilmu
hukum khususnya hukum tata negara. Hal itu sebagaimana yang telah diungkapkan
oleh Sri Soemantri M, yang mengatakan bahwa politik hukum sebagai bagian dari
kajian hukum tata negara.
Secara konseptual, kinerja disiplin politik
hukum tidak berhenti pada tataran teoritis saja, tetapi sesuai dengan sifatnya
yang praktis fungsional, disiplin hukum ini dimanfaatkan untuk membentuk
peraturan perundang-undangan yang notabene menjadi wewenang dari segi khusus
disiplin ilmu hukum yang dibentuknya. Bentuk khusus dalam kajian itu adalah
hukum tata negara. Ada beberapa pandangan yang telah diungkapkan oleh para ahli
hukum berkenaan dengan pengertian politik hukum diantaranya, menurut Padmo
Wahdjono mendefinisikan politik hukum adalah sebagai kebijakan dasar yang
menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk.[2]
Politik Hukum diartikan sebagai “kebijakan dasar penyelenggara negara dalam
bidang hukum yang akan, sedang, telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai
yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan Negara yang dicita-citakan.”
Adapun kata
nasional sendiri diartikan sebagai wilayah berlakunya politik hukum itu. Dalam
hal ini yang dimaksud adalah wilayah yang tercakup dalam kekuasaan Negara
Republik Indonesia. Dari pengertian tersebut, yang dimaksud dengan politik
hukum nasional adalah kebijakan dasar penyelenggara (Republik Indonesia) dalam
bidang hukum akan, sedang dan berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan
negara (Republik Indonesia) yang dicita-citakan. Dari pengertian tersebut ada
lima agenda yang ditekankan dalam politik hukum nasional, yaitu:
1.
Masalah kebijakan dasar yang meliputi konsep dan letak,
2.
Penyelenggara negara pembentuk kebijakan dasar terssebut,
3.
Materi hukum yang meliputi hukum akan, sedang dan telah
berlaku,
4.
Proses pembentukan hukum,
B.
Sendi-Sendi
Hukum Nasional
Apa yang sudah dijelaskan diatas, berkenaan dengan pengertian
politik hukum di Indonesia menjadi modal dasar untuk lebih lanjut memahami
tentang materi sendi-sendi hukum yang sudah menjadi kebijakan politik yang
membentuk sistem hukum. Dimana sistem hukum yang dimaksud satu kesatuan
komponen-komponen yang menjadi
sendi-sendi didalam hukum, yang masing-masing komponen tersebut saling
berhubungan satu sama lain dengan begitu hukum merupakan sebagai sebuah sistem,
yang berarti didalamnya terdiri atas komponen-komponen yang saling bekerja
sedemikian rupa sehingga membentuk suatu pola dengan ciri tersendiri.
Komponen-komponen yang dimaksud didalam sistem hukum yang dikatakan sebagai
sendi-sendi hukum nasional. Yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Adapun
sendi-sendi hukum nasional Indonesia, yakni:
a.
Ide kedaulatan
rakyat
Bahwa yang berdaulat di negara demokrasi adalah rakyat. Ini menjadi
gagasan pokok dari demokrasi yang tercermin pada pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang
berbunyi “ kedaulatan ditangan rakyat dan dilakukan menurut ketentuan UUD”.
b.
Negara
berdasarkan atas hukum
Negara demokrasi juga negara hukum. Negara hukum Indonesia menganut
hukum dalam arti meterial (luas) untuk mencapai tujuan nasional. Ini tercermin
pada pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “ Negara Indonesia adalah Negara
Hukum “ .
c.
Berbentuk
Republik
Negara dibentuk untuk memperjuangkan realisasi kepentingan umum
(Republik). Negara Indonesia berbentuk republik yang memperjuangkan kepentingan
umum. Hal ini tercermin pada pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
d.
Pemerintah
berdasarkan konstitusi
Penyelengaraan pemerintahan menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan dan berlandaskan konstitusi atau UUD yang demokratis. Ini
tercermin pada pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
e.
Pemerintahan
yang bertanggungjawab
Pemerintah selaku penyelenggara negara bertanggungjawab atas segala
tindakannya. Berdasarkan demokrasi pancasila, pemerintah
kebawah/bertanggungjawab kepada rakyat dan keatas bertanggung jawab kepada
tuhan yang maha Esa.
f.
Sistem
Perwakilan
Pada dasarnya, pemerintah menjalankan amanat rakyat untuk
menyelenggarakan pemerintahan.
g.
Sistem
Pemerintahan Presidensial
Presiden adalah penyelenggara negara tertinggi. Presiden adalah
kepala negara sekaligus keoala pemerintahan.
C.
Kebijakan Pembangunan Hukum Nasional
Dalam kebijakan pembangunan hukum Nasiaonal,
perlu kiranya terlebih dahulu memperoleh pemahaman menyeluruh tentang politik
pembangunan hukum nasioanal, sebelumnya perlu dibahas pula tentang strategi
pembangunan hukum, sehingga apa yang menjadi realitas atas pembangunan hukum
(politik hukum) nasional tidak hanya dilihat sebagai fenomena ketatanegaraan
dan dan model perpolikan yang dianut, tetapi juga harus dicermati pada
pola-pola pilihan konsep pembangunan lainnya. Diantaranya terdapat dua strategi
pembangunan hukum, diantaranya:
1.
Strategi
Pembangunan Hukum yang ortodoks;
Strategi Pembangunan Hukum yang ortodoks yaitu
segala usaha yang dilakukan oleh kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat yang
berkenaan dengan bagaimana hukum itu dibentuk, dikonseptualisasikan,
diterapkan, dan dilembagakan dalam suatu proses politik.
Strategi pembangunan hukum ortodoks memiliki ciri-ciri
adanya peran yang sangat dominan dari lembaga-lembaga negara (pemerintah dan
parlemen) dalam menentukan arah pembangunan hukum dalam suatu negara. Dengan
demikian, maka baik tradisi hukum yang kontinental (civil law), maupun
tradisi hukum yang sosialis (socialist law) dapat dikatakan sebagai
penganut strategi pembangunan hukum yang ortodoks. Karena dalam tradisi
hukum tersebut peran lembaga-lembaga negara sangat dominan dan monopolis dalam
menentukan arah pembangunan hukum.
2.
Strategi
Pembangunan Hukum yang responsive;
Strategi Pembangunan Hukum yang responsive yaitu
usaha pembangunan hukum yang peran besarnya dilakukan oleh lembaga peradilan
dan partisipasi luas oleh kelompok-kelompok sosial dan individu-individu dalam
masyarakat. Dalam
strategi pembangunan ini berarti bahwa peranan lembaga-lembaga negara
(pemerintah dan parlement) dalam menentukan arah pembangunan hukum menjadi
lebih relatif karena adanya tekanan yang ditimbulkan oleh partisipasi yang luas
dari masyarakat dan kedudukan yang relatif bebas memungkinkan lembaga peradilan
menjadi lebih kreatif. Keadaan
demikian memungkinkan menghasilkan produk politik yang lebih bersifat responsive
terhadap tuntutan-tuntutan dari berbagai kelompok sosial masyarakat. Dengan
demikian, maka tradisi hukum adat (common law) dapat dikatakan menganut
strategi pembangunan hukum responsive.
Dari pembagian model strategi pembangunan hukum nasional tersebut,
menurut M. Solly Lubis menegaskan terhadap landasan sosial dan landasan
konstitusional bagi strategi pembangunan hukum nasional ialah Pancasila dan UUD
1945 yang sudah diamandemen oleh MPR. Dengan demikian, yang menjadi fokus
perhatian dalam penataan rambu-rambu strategi bagi manajemen pembangunan hukum
nasional, ialah sejauh mana kebijakan politik hukum (legal policy) yang
akan dikembangkan tetap konsisten dengan value system yang terdapat
dalam pancasilan dan UUD 1945, serta sejauh mana tujuan-tujuan nasional dalam
pembukaan UUD 1945 dapat direalisasikan melalui penerapan hukum yang akan
datang sebagai model strategi pembangunan hukum yang dipilihnya.
Setelah adanya amandemen UUD 1945 yang didalamnya memberikan
konstruksi baru pada sistem ketatanegaraan indonesia, dan hal tersebut
berimplikasi pada penyusunan program pembangunan hukum, dan pembangunan pada
umumnya, yang selama ini ditetapkan dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara)
oleh MPR.[4]
GBHN adalah haluan negara tentang penyelenggaraan negara dalam garis-garis
besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu. GBHN
ditetapkan oleh MPR untuk jangka
waktu 5 tahun. Dengan adanya Amandemen UUD 1945 dimana terjadi perubahan peran
MPR dan presiden, GBHN tidak berlaku lagi. Sebagai gantinya, UU no. 25/2004
mengatur tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional,
yang menyatakan bahwa penjabaran dari tujuan dibentuknya Republik Indonesia
seperti dimuat dalam Pembukaan UUD 1945, dituangkan dalam bentuk RPJP (Rencana
Pembangunan Jangka Panjang). Skala waktu RPJP adalah 20 tahun, yang kemudian
dijabarkan dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah), yaitu perencanaan
dengan skala waktu 5 tahun, yang memuat visi, misi dan program pembangunan dari
presiden terpilih, dengan berpedoman pada RPJP. Di tingkat daerah, Pemda harus
menyusun sendiri RPJP dan RPJM Daerah, dengan merujuk kepada RPJP Nasional.[5]
Dalam ketentuan yang baru berdasarkan amandemen UUD 1945, MPR masih
berwenang mengubah dan menetapkan UUD 1945, namun ia tidak berwenang dalam menetapkan
GBHN serta memilih dan menetapkan presiden dan wakil presiden, karena pemilihan
presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat.
Berdasarkan perubahan UUD 1945, maka implikasi bagi pembangunan
nasional tertuang dalam UU. No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (Propenas) yang dihasilkan oleh DPR bersama pemerintah
tentang perumusan garis besar rencana pembangunan nasional, diantaranya adalah:[6]
a.
Rencana untuk
jangka waktu 20 tahun, atau jangka waktu panjang.
b.
Rencana
pembangunan 5 tahun, atau jangka menengah.
c.
Rencana
pembangunan tahunan.
Menyikapi atas rencana pembangunan nasional,
khususnya dalam bidang hukum, minimal ada tiga permasalahan yang perlu
dirumuskan sebagai hasil penelitian Komisi Hukum Nasional (KHN) tentang
“Implikasi Amandemen Konstitusi terhadap Perencanaan Pembangunan Hukum”, yaitu:
1.
Pihak atau
lembaga manakah yang memberikan konstribusi bagi perencanaan pembangunan hukum
nasional pasca amandemen UUD 1945 (Presiden terpilih dan partai pendukungnya
atau birokrasi pemerintahan yang selama ini mendominasi program pembangunan
hukum).
2.
Jika terdapat
banyak pihak yang berkonstribusi, apakah dilakukan antar rencana program
pembangunan hukum tersebut?, paradigma atau grand design apakah yang
menghubungkan antar rencana tersebut, sehingga terbangun suatu rancangan
pembangunan hukum yang koheran?
3.
Apakah
paradigma tersebut mengakomodasi perkembangan tuntutan reformasi ataukah masih
digunakan paradigma lama?
Tidak dalam
konteks pembahasan untuk menyajikan ketiga permasalahan sebagaimana hasil
penelitian KHN menyangkut implikasi dari hasil amandemen UUD 1945 terhadap
rencana pembangunan hukum pada khususnya dan pada umumnya pembangunan sosial,
politik, ekonomi, dan lainnya. Hanya saja perlu diungkapkan disini sebagai
kebijakan politik hukum negara dalam pembangunan hukum nasional
ialah untuk memaparkan ruang lingkup pembangunan hukum nasional yang tertuang
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang ada pada ketentuan UU.
No.25 tahun 2004. RPJM dapat ditarik kedalam suatu program-program umum
kebijakan hukum sebagai berikut:
a.
Perencanaan dan
pembentukan hukum,
b.
Penelitian dan
pengembangan hukum nasional,
c.
Pembinaaan
peradilan,
d.
Penerapan dan
penegakan hukum,
e.
Pelayanan dan
bantuan hukum,
f.
Penyuluhan
hukum,
g.
Pendidikan dan
pelatihan hukum,
h.
Pengawasan
hukum,
i.
Pembinaan dan
pemenuhan sarana dan prasarana hukum.
Diantara
sembilan poin dari program tersebut terdapat hubungan interdependent dan
integral satu sama lainnya. Sehingga dalam pelaksanaan kebijakan hukum satu
dengan yang lainnya tidak dapat dilihat secara parsial dan sektoral, melainkan
harus dilihat secara komprehensif, karena semuanya tersistem sebagai suatu
paket pembangunan nasional, khususnya dalam bidang hukum, bahkan dalam beberapa hal tidak
terlalu tajam batas lahan kegiatannya.
Kemudian jika kita kaitkan dengan struktur lembaga-lembaga negara yang akan
melaksanakan dan merumuskan tentang kebijakan politik hukum didalam sistem
ketatanegaraan Indonesia melalui rekonstruksi lembaga-lembaga negara yang
menjalankan kekuasaan eksekuttif, legislatif, dan yudikatif adalah di maksudkan
untuk menciptakan lembaga-lembaga negara yang demokratis, kuat, dan mandiri
dalam mekanisme check and balances.
Sesuai dengan
ketentuan UUD 1945 pasca amandemen pada sisi kekuasaan eksekutif, UUD 1945
memperkuat karakter sistem pemerintahan presidensial dengan menetapkan Presiden
dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam kaitannya dengan
pembangunan hukum nasional, presiden mempunyai kekuasaan sebagaimana diatur
dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 mengenai kewenangan mengajukan RUU, Pasal 20
mengenai kewenangan membahas RUU, Pasal 20 mengenai kewenanangan membahas RUU,
Pasal 22 mengenai kewenangan mengeluarkan PERPU.
Pada posisi
kekuasaan legislatif, penguatan kelembagaan ditandai dengan penegasan dan
reposisi lembaga DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk UU sebagaimana diatur
dalam Pasal 20 ayat (1). Penguatan peran DPR dalam pembangunan hukum dipertegas
dalam UU.No 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan (UU
PPP). Dimana UU ini memberikan peranan yang dominan kepada DPR, yaitu
mengkoordinasikan penyusunan Program Legalisasi Nasional (Prolegnas).
Sedangkan pada posisi kekuasaan yudikatif, UUD 1945 menetapkan dua lembaga
pemengang kekuasaan yudikatif yaitu MA dan MK, serta yang terkait dengan
pelaksanaan kekuasaan yudikatif ialah Komisi Yudisial. Penguatan lembaga yudikatif yang bebas dan mandiri diatur lebih
rinci dalam UU yang mengatur masing-masing lembaga negara tersebut yaitu: UU
No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No.5 Tahun 2004 tentang
perubahan terhadap UU No.15 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan UU No. 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial.[7]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Politik hukum nasional adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam
bidang hukum yang akan, sedang, telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai
yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan Negara yang dicita-citakan. Adapun kata nasional sendiri diartikan sebagai wilayah berlakunya
politik hukum itu. Dalam hal ini yang dimaksud adalah wilayah yang tercakup
dalam kekuasaan Negara Republik Indonesia. Dengan demikian,
yang dimaksud dengan politik hukum nasional adalah kebijakan dasar
penyelenggara (Republik Indonesia) dalam bidang hukum akan, sedang dan berlaku
di masyarakat untuk mencapai tujuan negara (Republik Indonesia) yang
dicita-citakan.
Sendi-sendi hukum menjadi kebijakan politik yang membentuk sistem hokum, yang
didalamnya terdiri atas komponen-komponen yang saling bekerja sedemikian rupa
sehingga membentuk suatu pola dengan ciri tersendiri. Diantara yang menjadi
sendi-sendi hukum tersebut adalah:
a. Ide kedaulatan rakyat
b. Negara berdasarkan atas hokum
c. Berbentuk Republik
d. Pemerintah berdasarkan konstitusi
e. Pemerintahan yang bertanggung jawab
f. Sistem Perwakilan
g. Sistem Pemerintahan Presidensial
Dalam menentukan kebijakan pembangunan hukum,
diantaranya terdapat dua strategi pembangunan hukum yaitu:
1. Strategi Pembangunan Hukum yang ortodoks
yaitu segala usaha yang dilakukan oleh kelompok-kelompok sosial dalam
masyarakat yang berkenaan dengan bagaimana hukum itu dibentuk,
dikonseptualisasikan, diterapkan, dan dilembagakan dalam suatu proses politik. Dalam
hal ini, peran lembaga-lembaga negara dalam menentukan arah pembangunan hukum
suatu negara sangat dominan.
2. Strategi Pembangunan Hukum yang responsive yaitu
usaha pembangunan hukum yang peran besarnya dilakukan oleh lembaga peradilan
dan partisipasi luas oleh kelompok-kelompok sosial dan individu-individu dalam
masyarakat.
Dari pembagian model strategi pembangunan hukum nasional tersebut,
menurut M. Solly Lubis menegaskan terhadap landasan sosial dan landasan
konstitusional bagi strategi pembangunan hukum nasional ialah Pancasila dan UUD
1945 yang sudah diamandemen oleh MPR. Dengan demikian, yang menjadi fokus
perhatian dalam penataan rambu-rambu strategi bagi manajemen pembangunan hukum
nasional, ialah sejauh mana kebijakan politik hukum (legal policy) yang
akan dikembangkan tetap konsisten dengan value system yang terdapat
dalam pancasilan dan UUD 1945, serta sejauh mana tujuan-tujuan nasional dalam
pembukaan UUD 1945 dapat direalisasikan melalui penerapan hukum yang akan
datang sebagai model strategi pembangunan hukum yang dipilihnya.
0 komentar:
Posting Komentar