BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR
BELAKANG MASALAH
Selain hukum pidana yang membahas tentang yuridiksi Negara lain (unsur
asing) juga ada bagian hukum pidan yang membahas tentang implementasi sanksi
norma-norma perjanjian internasional yang dikatakan Remmelink sebagai hukum
supranasional atau bagian hukum pidana internasional substantif.
Hukum pidana internasional dalam konteks hukum tentang Hak Asasi Manusia
memiliki peranan strategis dan signifikan untuk melakukan analisis hukum
terhadap suatu pelanggaran hak asasi manusia tertentu dan kejahatan
transnasional dan internasional tertentu yang bersifat universal atau melibatkan
kepentingan nasional maupun kepentingan internasional, Hukum pidana
internasional dalam konteks praktis, tidak akan sepenuhnya menggunakan pisau
analisa hukum, melainkan juga menggabungkan dengan pisau analisa diplomatik
(politik) karena hukum pidana internasional dalam teoritik dan praktik
berfungsi sebagai ilmu terapan yang dapat membedah kompleksitas masalah
yang menyentuh kepentingan dua Negara atau lebih baik kepentingan hukum,
politik, ekonomi, sosial dan budaya.
I.2. RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana aspek hukum pidana nasional terhadap hukum internasional?
2.
Bagaimana hukum pidana internasional dan hukum hak asasi
manusia?
3.
Bagaimana fungsi hukum pidana internasional dihubungkan
dengan kejahatan transnasional khususnya terhadap tindak pidana korupsi?
I.3. TUJUAN
DAN MANFAAT
1.
Untuk mengetahui bagaimana aspek hukum pidana nasional terhadap hukum internasional?
2. Untuk
mengetahui bagaimana hukum
pidana internasional dan hukum hak asasi manusia?
3. Untuk
mengetahui bagaimana fungsi
hukum pidana internasional dihubungkan dengan kejahatan transnasional khususnya terhadap tindak pidana
korupsi?
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. ASPEK HUKUM PIDANA NASIONAL TERHADAP HUKUM INTERNASIONAL
Aspek hukum pidana nasional terhadap hukum internasional merujuk kepada
konvensi-konvensi internasional tentang kejahatan, aspek hukum internasional
terhadap hukum pidana nasional merujuk kepada prosedur penerapan konvensi
internasional ke dalam hukum nasional atau penegakan hukum pidana internasional.
Keterkaitan dua aspek tersebut di atas dalam pembahasan objek yang sama
menyebabkan Bassiouni mengatakan bahwa, hukum pidana internasional sebagai,
“ a complex legal discipline” yang terdiri dari beberapa
komponen yang terikat oleh hubungan fungsional masing-masing disiplin tersebut
di dalam mencapai satu nilai bersama. Selanjutnya disebutkan oleh Bassiouni,
disiplin hukum tersebut adalah, hukum pidana internasional.
Aspek pidana dari hukum internasional bersumber pada kebiasaan
internasional dan prinsip-prinsip umum hukum internasional sebagaimana dimuat
dalam Pasal 38 International Court of Justice (ICJ) termasuk
kejahatan internasional, unsur-unsur pertanggungjawaban pidana internasional,
aspek prosedur penegakan hukum langsung (direct enforcement system), dan
aspek prosedur penegakan hukum tidak langsung (indirect enforcement system).
Aspek internasional dari hukum pidana nasional meliputi:
a)
Norma-norma yurisdiksi
ekstrateritorial,
b)
Konflik yurisdiksi kriminal
baik antar negara maupun antara negara dan badan-badan internasional di bawah
naungan PBB dan,
c)
Penegakan hukum tidak
langsung.
Bassiouni mennyimpulkan karena begitu kompleknya karakter hukum pidana
internasional maka disiplin hukum ini pada intinya merupakan “cross fertilization” aspek
pidana dari hukum internasional dan aspek internasional dari hukum pidana
nasional.
Remmelink mengemukakan pendapat yang berbeda dengan Bassiouni dengan
mengatakan sebagai berikut:
“Karena dalam hal seperti ini (pemberlakuan hukum pidana atau yurisdiksi
berurusan dengan pemberlakuan hukum pada persoalan yang mengandung unsur asing,
bagian hukum ini kita dapat kualifikasikan sebagai hukum pidana internasional,
sekalipun tidak berurusan dengan penjatuhan pidana dan secara substansial sebenarnya bagian dari
hukum nasional, Hanya objek kajiannya yang bersifat internasional”.
Selain hukum pidana yang membahas tentang yuridiksi Negara lain (unsur
asing) juga ada bagian hukum pidan yang membahas tentang implementasi sanksi
norma-norma perjanjian internasional yang dikatakan Remmelink sebagai hukum
supranasional atau bagian hukum pidana internasional substantif.
Bassiouni berpendapat bahwa, aspek substantif dari hukum pidana
internasional adalah mengkaji konvensi-konvensi internasional tentang kejahatan
transnasional dan internasional.
II.2. HUKUM PIDANA INTERNASIONAL DAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA
Hukum pidana internasional sebagai cabang ilmu baru dalam sejarah
perkembangannya tidak terlepas dan bahkan berkaitan erat dengan sejarah
perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM). Keterkaitan erat tersebut dapat
digambarkan sebagai dua saudara kembar, memiliki ketergantungan yang kuat (interdependency),
sinergis, dan berkesinambungan.
Penegakan Hak Asasi Manusia dalam internasional tidak seefektif yang
diperkirakan banyak pihak sekalipun sudah ada Perserikatan Bangsa-Bangsa dan
Dewan Keamanan serta Komisi Hak Asasi Manusia di dalamnya. Tidak efektifnya
perangkat organisasi di bawah naungan PBB menunjukkan kelemahan mendasar dalam
mewujdukan kehendak masyarakat internasional untuk memperjuangkan perlindungan
HAM. Bahkan sebaliknya, telah terjadi, di mana negara-negara miskin dan
berkembang menjadi ajang objek eksperimen untuk suatu proses peradilan HAM yang
dituntut oleh negara maju.
Hukum pidana internasional dalam konteks hukum tentang Hak Asasi Manusia
memiliki peranan strategis dan signifikan untuk melakukan analisis hukum
terhadap suatu pelanggaran hak asasi manusia tertentu dan kejahatan
transnasional dan internasional tertentu yang bersifat universal atau
melibatkan kepentingan nasional maupun kepentingan internasional, Hukum pidana
internasional dalam konteks praktis, tidak akan sepenuhnya menggunakan pisau
analisa hukum, melainkan juga menggabungkan dengan pisau analisa diplomatik
(politik) karena hukum pidana internasional dalam teoritik dan praktik
berfungsi sebagai ilmu terapan yang dapat membedah kompleksitas masalah
yang menyentuh kepentingan dua Negara atau lebih baik kepentingan hukum,
politik, ekonomi, sosial dan budaya.
II.3. FUNGSI HUKUM PIDANA INTERNASIONAL DIHUBUNGKAN DENGAN KEJAHATAN TRANSNASIONAL KHUSUSNYA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI
Sebagaimana apa yang telah diterangkan di atas maka eksistensi Hukum Pidana
Internasional hakikatnya teramat penting khususnya apabila dihubungkan
dengan kejahatan transnasional.
Apabila dijabarkan lebih lanjut maka pada pokoknya sebenarnya ada 4
(empat) fungsi dari Hukum Pidana Internasional.
Adapun keempat fungsi tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Agar hukum nasional di
masing-masing Negara dipandang dari sudut hukum pidana internasional sama
derajatnya. Dari aspek ini, maka menempatkan negara-negara di dunia ini
tanpa memandang besar atau kecil, kuat atau lemah, maju atau tidaknya,
memiliki kedudukan yang sama antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu,
maka hukum masing-masing diantara negara-negara mempunyai kedudukan
yang sama.
2.
Agar tidak ada intervensi
hukum antara negara satu dengan yang lain. Tegasnya, agar negara besar tidak
melakukan intervensi hukum terhadap negara yang lebih kecil. Apabila
dijabarkan lebih jauh maka fungsi kedua dari Hukum Pidana Internasional
ini merupakan penjabaran dari asas non intervensi. Menurut asas ini, maka
suatu negara tidak boleh campur tangan atas masalah dalam negeri
Negara lain, kecuali negara itu sendiri menyetujui secara tegas. Jika
suatu negara, misalnya dengan menggunakan kekuatan bersenjata
berusaha memadamkan ataupun mendukung pemberontakan bersenjata
yang terjadi di dalam suatu negara lain tanpa persetujuan negara
yang bersangkutan, tindakan ini jelas melanggar asas non intervensi.
3.
Hukum Pidana Internasional
juga mempunyai fungsi sebagai “jembatan” atau “jalan keluar” bagi
negara-negara yang berkonflik untuk menjadikan Mahkamah Internasional
sebagai jalan keluar. Pada dasarnya, Mahkamah Internasional merupakan
sebuah lembaga peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak yang
memutus serta mengadili suatu perkara yang dipersengketakan oleh
negara-negara yang berkonflik. Oleh karena itu maka Hukum
Pidana Internasional inilah yang merupakan “jembatan” atau “jalan
keluar” bagi negara-negara yang berkonflik.
4.
Hukum Pidana Internasional
juga berfungsi untuk dijadikan landasan agar penegakan Hak Asasi Manusia
(HAM) Internasional relative menjadi lebih baik. Dari perspektif Hukum
Pidana Internasional maka asas ini lazim disebut sebagai
Asas “penghormatan dan perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia”. Asas ini membebani kewajiban kepada negara-negara
bahkan kepada siapapun untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia
dalam situasi dan kondisi apapun juga. Berdasarkan asas ini, tindakan
apapun yang dilakukan oleh Keempat fungsi Hukum Pidana Internasional
tersebut merupakan fungsi yang bersifat elementer dan krusial.
Apabila dijabarkan, maka keempat fungsi tersebut berhubungan erat dan
dapat diaplikasikan terhadap kejahatan transnasional khususnya terhadap
tindak pidan korupsi.
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana
khusus. Apabila dijabarkan, tindak pidana korupsi mempunyai spesifikasi
tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti penyimpangan hukum
acara dan materi yang diatur dimaksud menekan seminimal mungkin terjadinya
kebocoran serta penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 (United
Nations Convention Against Corruption (UNCAC) ),2003 mendiskripsikan
masalah korupsi sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas,
keamanan masyarakat nasional dan internasional, telah melemahkan
institusi, nilai-nilai demokrasi dan keadilan serta membahayakan
pembangunan berkelanjutan maupun penegakan hukum.
Selain itu, dikaji dari perspektif internasional pada dasarnya korupsi merupakan salah satu kejahatan dalam klasifikasi White Collar
Crime dan mempunyai akibat kompleksitas serta menjadi atensi masyarakat internasional. Konggres Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-8 mengenai “Prevention of Crime and Treatment of Offenders” yang
mengesahkan resolusi “Corruption in Goverment” di Havana tahun
1990 merumuskan tentang akibat korupsi, berupa:
Korupsi dikalangan pejabat publik (corrupt activities of
public official):
a)
Dapat menghancurkan
efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah(“can
destroy the potential effectiveeness of all types of govermental
programmes”)
b)
Dapat menghambat
pembangunan (“hinder development”)
c)
Menimbulkan korban individual
kelompok masyarakat (“victimize individuals and groups”).
Asumsi di atas menyebutkan tindak pidana korupsi bersifat
sistemik, terorganisasi, transnasional dan multidimensional dalam arti
berkorelasi dengan aspek sistem, yurisdis, sosiologis, budaya, ekonomi
antar Negara dan lain sebagainya.
Dikaji dari perspektif yurisdis, maka tindak pidana korupsi merupakan
kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes) sebagaimana
dikemukakan Romli Atmasasmita, bahwa:“Dengan memperhatikan perkembangan tindak
pidana korupsi, baik dari sisi kuantitas maupun
dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mendalam, maka tidaklah
berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan merupakan
kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah merupakan
kejahatan yang sangat luar biasa (extra-ordinary crimes)”.
Selanjutnya jika dikaji dari sisi akibat atau dampak negatif yang
sangat merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan Orde
Baru sampai saat ini, jelas bahwa perbuatan
korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia. Selain itu, dari dimensi lain maka Penjelasan Umum UU Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menegaskan pula:
“Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa
bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga
pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan
karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan
sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar
biasa. Begitupun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan
secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Penegakan hokum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan
secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai
hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar
biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan
luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara
optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.”
Tindak
pidana korupsi merupakan extra ordinary crimes sehingga diperlukan
penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra ordinary enforcement) dan
tindakan-tindakan yang luar biasa pula (extra ordinary measures).
Dari dimensi ini maka fungsi Hukum Pidana Internasional adalah sangat
penting. Sebagai kejahatan yang bersifat transnasional maka
kebijakan legislasi di Indonesia haruslah mengacu kepada tindak pidana
korupsi yang terdapat di negara lain sepanjang hal tersebut relatif sesuai
dengan kondisi sosial, budaya dan kultur orang Indonesia.
Oleh karena korupsi kejahatan yang bersifat transnasional maka Hukum
Pidana Internasional merupakan jembatan yang mempunyai fungsi untuk adanya
interaksi antara satu Negara dengan negara lainnya. Dalam praktik hal ini
telah dilaksanakan misalnya seperti apa yang telah dilakukan oleh
Indonesia dengan menandatangani perjanjian ekstradisi dengan negara
Singapura yang salah satu kesepakatannya adalah dalam rangka memulangkan
koruptor yang bersembunyi di negara tersebut. Selain itu, dengan
dilakukannya perjanjian ekstradiksi tersebut membawa dampak terhadap
fungsi Hukum Pidana Internasional yang kedua yaitu tidak adanya intervensi
hukum antara satu negara dengan Negara lainnya. Aspek ini disebabkan, oleh
karena antara negara satu dan Negara lainnya telah melakukan perjanjian
yang dilakukan secara sukarela dan saling menguntungkan kedua belah pihak.
Negara pihak atau negara korban korupsi dapat meminta secara baik-baik
dengan melalui saluran hukum ekstradiksi kepada negara ketempatan tempat
koruptor maupun asetnyadisembunyikan.
Oleh karena itu, melalui saluran ekstradiksi ini relatif dapat lebih memulangkan koruptor maupun asetnya kembali kepada Negara korban. Kebalikan dari apa yang telah diuraikan di atas
maka apabila Negara korban maupun negara ketempatan tidak ada penjanjian
ekstradiksi maka para koruptor maupun aset relatif tidak dapat dilakukan
negosiasi untukmemulangkan koruptor beserta asetnya. Atau dapat juga apabila
Negara korban maupun negara ketempatan terjadi konflik terhadap para
koruptor maupun asetnya. Maka terhadap aspek ini, fungsi Hukum
Pidana Internasional sangat berperan di dalamnya. Para negara korban melalui jalur hukum internasional dapat meminta
kepada Mahkamah Internasional untuk mengadili negara yang bersangkutan
agar dapat memberi jalan keluar baik kepada negara korban maupun kepada
negara ketempatan agar memutus secara adil perkara yang bersangkutan. Oleh
karena yang memutus adalah Mahkamah Internsional yang bersifat independen
maka diharapkan konflik yang terjadi diharapkan selesai serta diputus
berdasarkan asas keadilan yang relatif dapat diterima baik oleh negara
korban maupun negara ketempatan.
Berhubungan dengan apa yang telah diuraikan di atas yaitu fungsi Hukum
Pidana Internasional sebagai jembatan agar hukum nasional di masing-masing
negara dipandang dari sudut hukum pidana internasional sama derajatnya,
kemudian fungsi kedua sebagai mencegah tidak ada intervensi hukum antara
negara satu dengan yang lain (asas non-intervensi), dan fungsi ketiga
yaitu Hukum Pidana Internasional juga mempunyai fungsi sebagai “jembatan”
atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang berkonflik untuk menjadikan
Mahkamah Internasional sebagai jalan keluar maka semua itu bermuara kepada
fungsi keempat yaitu Hukum Pidana Internasional juga berfungsi untuk
dijadikan landasan agar penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional
relatif menjadi lebih baik. Fungsi keempat ini merupakan
“kunci” bagi penegakan hukum khususnya terhadap Tindak Pidana Korupsi. Pada asasnya, Hak Asasi Manusia menurut Bab I Pasal I angka
1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia disebutkan merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Oleh karena itu maka pada dasarnya menurut Paul Sieghart secara global
HAM terdiri dari tiga generasi, yaitu generasi pertama (Sipil dan Politik),
generasi kedua (Ekonomi, Sosial dan Budaya), generasi ketiga (Hak
Kelompok) yang kesemuanya itu sesungguhnya merupakan hak individu.
Oleh karena tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang
bersifat extra ordinary crimes sehingga diperlukan penanggulangan
yang bersifat luar biasa (extra ordinary enforcement) dan
tindakan-tindakan yang luar biasa pula (extra ordinarymeasures) maka
Hukum Pidana Internasional merupakan katalisator dan pengaman yang dapat
berfungsi agar penindakan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi sesuai
dengan koridor hukum dan dengan demikian diharapkan penegakan Hak Asasi
Manusia Internasional relatif menjadi lebih baik sebagaimana fungsi
keempat dari Hukum Pidana Internasional.
BAB III
PENUTUP
III. 1.
KESIMPULAN
1. Selain hukum pidana yang membahas tentang yuridiksi Negara lain (unsur
asing) juga ada bagian hukum pidan yang membahas tentang implementasi sanksi
norma-norma perjanjian internasional yang dikatakan Remmelink sebagai hukum
supranasional atau bagian hukum pidana internasional substantif. Bassiouni berpendapat bahwa, aspek substantif dari hukum pidana
internasional adalah mengkaji konvensi-konvensi internasional tentang kejahatan
transnasional dan internasional.
2. Hukum pidana internasional dalam konteks praktis, tidak akan sepenuhnya
menggunakan pisau analisa hukum, melainkan juga menggabungkan dengan pisau
analisa diplomatik (politik) karena hukum pidana internasional dalam teoritik
dan praktik berfungsi sebagai ilmu terapan yang dapat membedah kompleksitas
masalah yang menyentuh kepentingan dua Negara atau lebih baik kepentingan
hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
3. Dari dimensi ini maka fungsi Hukum Pidana Internasional adalah sangat
penting. Sebagai kejahatan yang bersifat transnasional maka
kebijakan legislasi di Indonesia haruslah mengacu kepada tindak pidana
korupsi yang terdapat di negara lain sepanjang hal tersebut relatif sesuai
dengan kondisi sosial, budaya dan kultur orang Indonesia.
III. 2.
SARAN
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat extra
ordinary crimes sehingga diperlukan penanggulangan yang bersifat
luar biasa (extra ordinary enforcement) dan tindakan-tindakan yang
luar biasa pula (extra ordinarymeasures) maka Hukum Pidana Internasional
merupakan katalisator dan pengaman yang dapat berfungsi agar penindakan
dan penegakan hukum tindak pidana korupsi sesuai dengan koridor hukum dan
dengan demikian diharapkan penegakan Hak Asasi Manusia Internasional
relatif menjadi lebih baik sebagaimana fungsi keempat dari Hukum Pidana
Internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita,
Romli. 2010. Hukum Pidana Internasional, Jakarta: PT Fikahati Aneska.
Atmasasmita,
Romli. 2003. Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung:
RefikaAditama.
Parthiana,I
Wayan. 2006. Hukum Pidana Internasional, Bandung: CV Yrama
Widya.
Sosrokusumo,
Sumaryo. 2007. Studi Kasus Hukum Internasional, Jakarta: PT Tata
Nusa Jakarta.
---------------------------------------------
Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 (United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC) )
UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Bab I Pasal
I angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
daftar pustakanya ada tapi footnote kok gak ada ya mas mbak
BalasHapus