BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR
BELAKANG MASALAH
Zaman dahulu, tatkala manusia hidup dalam alam
primitif, bentuk perdagangan yang ada adalah dagang tukar (bentuk perdagangan
yang pertama). Jika seseorang ingin memiliki sesuatu yang tidak dapat dibuatnya
sendiri, maka ia akan berusaha memperolehnya dengan cara bertukar, yakni dengan
sesuatu barang yang tidak perlu baginya. Demikianlah hanya barang dengan barang
sajalah yang dipertukarkan (pertukaran in natura) misalnya tembakau
dengan padi. Pertukaran-pertukaran semacam ini hanyalah suatu pertukaran yang
terbatas sekali, perhubungan pertukaran yang tetap, suatu pasar belum ada.
Dimana dalam dagang tukar ini terdapat berbagai
kesulitan, seperti orang yang satu harus memiliki barang yang diminta oleh
orang lainnya dan nilai pertukarannya kira-kira harus sama. Barang yang
dipertukarkan harus dapat dibagi-bagi. Lagi pula semakin banyak kebutuhan
manusia, akan semakin banyak pula kesulitan yang terjadi dalam pertukaran itu.
Oleh karena itu, dengan segera orang memakai beberapa benda untuk membandingkan
nilai segala barang lain dengan nilai beberapa benda tertentu. Disamping itu,
benda tersebut juga harus disukai oleh umum. Benda-benda yang khusus
dipergunakan untuk dipertukarkan dengan barang-barang yang diperlukan disebut
alat tukar (garam, kulit kerang, potongan logam, dan lain-lain).
Sebenarnya menurut penyelidikan-penyelidikan yang
paling baru, sejarah lembaga hukum usianya sudah sama tua dengan sejarah
manusia sendiri. Oleh sebab itu acara tentang lembaga-lembaga hukum pun
sepatutnya bermula juga dari saat manusia-manusia yang pertama.
Permulaan hukum internasional dapat kita lacak
kembali mulai dari wilayah Mesopotamia pada sekitar tahun 2100 SM, dimana telah
ditemukannya sebuah perjanjian pada dasawarsa abad ke-20 yang ditandatangani
oleh Ennamatum, pemimpin Lagash dan pemimpin Umma. Dalam abad pertengahan
ketika bangsa Romawi sedang mengalami masa kejayaan, Hukum Romawi yang pada
waktu itu dianggap paling sempurna dan telah banyak digunakan di berbagai negara. Byzantum sebuah
kota di Italia menjadi pusat perniagaan. Dalam perniagaan yang semakin ramai
timbullah hal-hal yang tidak lagi dapat diselesaikan dengan hukum Romawi.
Persoalan dangan dan perselisihan antara pedagang terpaksa harus deselesaikan
oleh mereka sendiri.
Pada makalah ini kami akan membahas tentang sejarah
hukum dagang yang bermula dari sejarah hukum dagang internasional dan kemudian
di akhiri dengan sejarah hukum dagang di Indonesia. Sejarah hukum dagang
internasional bermula dari Romawi dan Yunani, karena hampir dari seluruh dunia
ini dapat kita jumpai unsur-unsur Romawi dan Yunani. Walaupun pengaruh bangsa
Romawi dan Yunani tidaklah mengambil alih akan kedudukan hukum di negara
lainnya. Sebab dengan adanya proses terjadilah percampuran pandangan-pandangan
hukum yang datang dengan pandangan-pandangan hukum yang menerimanya. Hal ini
terlihat dengan diadakannya kodifikasi akan hukum dagang yang berlaku disetiap
negara.
I.2. RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana pengertian hukum dagang ?
2.
Bagaimana sejarah hukum dagang
internasional ?
3.
Bagaimana sejarah lahirnya hukum dagang di
Indonesia ?
I.3. TUJUAN
DAN MANFAAT
1.
Untuk mengetahui bagaimana pengertian hukum dagang.
2. Untuk
mengetahui bagaimana sejarah hukum dagang internasional.
3. Untuk
mengetahui bagaimana sejarah
lahirnya hukum dagang di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. PENGERTIAN
HUKUM DAGANG
Hukum dagang timbul karena adanya kaum pedagang.
Hukum dagang ialah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut
melakukan perdagangan untuk memperoleh keuntungan. atau hukum yang mengatur
hubungan hukum antara manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya dalam
lapangan perdagangan. Hukum dagang juga bisa dikatakan hukum perdata khusus
bagi kaum pedagang.
II.2. SEJARAH HUKUM DAGANG INTERNASIONAL
Dibawah ini akan dijelaskan beberapa sejarah hukum
dagang dari Internasional, diantaranya:
Hukum
Dagang di Romawi-Jerman
Pada awalnya hukum yang berlaku di masing-masing
negara di Eropa
Kontinental adalah hukum kebiasaan. Namun
dalam perkembangan jaman hukum kebiasaan tersebut menjadi lenyap oleh karena
adanya penjajahan oleh bangsa Romawi dan
adanya anggapan bahwa hukum Romawi lebih
sempurna daripada hukum asli negara mereka sendiri, sehingga diadakanlah
resepsi (perkawinan/percampuran) hukum.
Hukum Romawi dianggap
lebih sempurna karena sejak abad ke-1 ahli hukum Yunani Gajus Ulpanus telah
menciptakan serta mempersembahkan suatu sistem hukum kepada bangsa dan
negaranya, bahkan pada abad ke-6, Kaisar
Romawi Timur Justinian I dapat menyajikan
kodifikasi hukum Romawi dalam
kitab yang diberi nama Corpus Juris Civils. Anggapan hukum Romawi sempurna
timbul atas hasil penelitian para Glossatoren (pencatat/peneliti)
dalam abad pertengahan.
Faktor penyebab lainnya hukum Romawi diresepsi
oleh negara-negara di Eropa
Kontinental adalah karena banyaknya
mahasiswa dari Eropa Barat dan Utara yang belajar khususnya hukum Romawi di
Perancis Selatan dan di Italia yang pada saat itu merupakan pusat
kebudayaan Eropa
Kontinental. Sehingga para mahasiswa tersebut
setelah pulang dari pendidikannya mencoba menerapkannya dinegaranya
masing-masing walaupun hukum negara asalnya telah tersedia.
Selain itu kepercayaan pada Hukum
alam yang asasi juga merupakan faktor
yang mendukung diresepsinya hukum Romawi,
karena hukum alam dianggap sempurna dan selalu berlaku kapan saja dan di mana
saja. Hukum
alam ini pada saat itu selalu disamakan
dengan hukum Romawi.
Hukum
Dagang di Perancis
Sebelum adanya unifikasi hukum oleh Kaisar
Napoleon Bonaparte, Hukum yang berlaku
di Perancis bermacam-macam
yaitu hukum Germania (Jerman)
dan hukum Romawi.
Di bagian utara dan tengah berlaku hukum lokal (pays de droit coutumier) yakni
hukum kebiasaan Perancis kuno
yang berasal dari hukum Jerman,
sedangkan pada daerah selatan yang berlaku adalah hukum Romawi (pays
de droit ecrit) yakni telah dikodifikasi dalam Corpus Juris
Civilsdari Kaisar
Romawi Justinian I. Di samping hukum
perkawinan adalah hukum yang ditetapkan oleh Gereja Katolik ialah hukum
Kanonik dalam Codex Iuris
Canonici dan berlaku di seluruhPerancis.
Dengan berlakunya berbagai hukum tersebut, maka
di Perancis dirasakan
tidak adanya kepastian hukum dan kesatuan hukum. Oleh karena itu timbul
kesadaran akan pentingnya kesatuan hukum/unifikasi hukum. Unifikasi hukum ini
akan dituangkan ke dalam suatu buku yang bernama Corpus de
lois. Gagasan unifikasi hukum ini sesungguhnya telah timbul sejak abad XV
(Raja
Louis XI) yang kemudian dilanjutkan oleh
berbagai parlemen propinsi pada abad XVI dan para ahli hukum seperti Charles
Doumolin (1500 – 1566), Jean Domat (1625 – 1696), Robert Joseph Pothier (1699 –
1771), dan Francois Bourjon.
Namun pada akhir abad XVIII dapat diterbitkan tiga
buah ordonansi mengenai hal-hal yang khusus dan yang diberi nama ordonansi
daguesseau.Ordonansi yang dimaksud adalah L’ordonance sur les donations (1731),
L’ordonance sur les testaments (1735), dan L’ordonance sur les
substituions fideicommisaires (`1747).
Tanggal 21 Maret 1804 terwujudlah kodifikasi Perancis dengan
nama Code Civil des Francais yang diundangkan sebagai Code
Napoleon pada tahun 1807. Kodifikasi hukum ini merupakan karya besar dari
Portalis selaku anggota panitia pembentuk kodifikasi hukum tersebut, selain itu
kodifikasi hukum ini merupakan kodifikasi hukum nasional yang pertama dan
terlengkap serta dapat diterapkan untuk mengatasi masalah-masalah yang ada.
Sehingga pada saat itu timbulah paham Legisme dengan mottonya “Di
luar undang-undang tidak ada hukum”.
Sumber hukum kodifikasi tersebut merupakan campuran
asas-asas hukum Jerman dan
hukum Gereja (hukum
Kanonik) yaitu hukum kebiasaan (coutumes),
terutama kebiasaan Paris (coutume de Paris), ordonansi-ordonansi Daguesseau,
tulisan-tulisan dari pakar hukum seperti Poithier, Domat, dan Bourjon, serta
hukum yang dibentuk sejak revolusi Perancis sampai
terbentuknya kodifikasi hukum tersebut.
Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa
di negara Perancis yang
semula memberlakukan bermacam-macam hukum dengan berbagai tahap, akhirnya pada
tahun 1807 dapat memproklamirkan/diundangkan buku Code Civil des
Francais atau Code Napoleonyang merupakan kodifikasi hukum yang
pertama di dunia.
Hukum
Dagang di Belanda
Seperti halnya di Perancis,
di negara Belanda,
hukum yang mula-mula berlaku adalah hukum kebiasaan yaitu hukum Belanda kuno.
Namun akibat penjajahan Perancis (1806
– 1813) terjadilah perkawinan hukum Belanda kuno
dengan Code Civil.
Tahun 1814, setelah Belanda merdeka
dibentuklah panitia yang dipimpin oleh J.M. Kemper untuk menyusun kode
hukum Belanda berdasarkan
Pasal 100 Konstitusi Belanda.
Konsep kode hukum Belanda menurut
Kemper lebih didasarkan pada hukum Belanda kuno,
namun tidak disepakati oleh para ahli hukum Belgia (pada saat itu Belgia masih
bagian dari negara Belanda),
karena mereka lebih menghendaki Code Napoleon sebagai dasar dari
konsep kode hukum Belanda.
Setelah Kemper meninggal (1824), ketua panitia diganti
oleh Nicolai dari Belgia. Akibatnya kode hukum Belanda sebagian
besar leih didasarkan pada Code Napoleon dibandingkan hukum Belanda kuno.
Namun demikian susunannya tidak sama persis dengan Code Napoleon, melainkan
lebih mirip dengan susunan Institusiones dalam Corpus Juris
Civils yang terdiri dari empat buku.
Dalam hukum dagang Belanda tidak
berdasar pada hukum Perancis melainkan
berdasar pada peraturan-peraturan dagang yang dibuat sendiri yang kemudian
menjadi himpunan hukum yang berlaku khusus bagi para golongan pedagang. Sejarah
perkembangan hukum dagang Belanda ini
sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum dagang yang di Perancis Selatan dan
di Italia.
Sampai meletusnya Revolusi Perancis,
hukum dagang hanya berlaku bagi golongan pedagang saja (kelompok gilde).
Perkembangan hukum dagang ini cepat sekali yaitu sebagai berikut pada abad XVI
– XVII adanya Pengadilan Saudagar guna menyelesaikan perkara-perkara
perniagaan, pada abad XVII adanya kodifikasi hukum dagang yang belum sepenuhnya
dilaksanakan, tahun 1673 dibuat Ordonance du Commerce oleh Colbert,
dan tahun 1681 lahirOrdonance du Marine.
Sesudah revolusi Perancis,
kelompok gilde dihapus dan hukum dagang juga diberlakukan untuk yang bukan
pedagang, sehingga hukum dagang dan hukum perdata menjadi tida terpisah. Walau
dalam kenyataannya pemisahaan tersebut tetap terjadi.
Mengenai kodifikasi dapat diketengahkan, bahwa
maksud dari kodifikasi adalah agar adanya kepastian hukum secara resmi dalam
suatu sistem hukum tertentu. Akan tetapi masyarakat terus berkembang, sehingga
hukumnya dituntut untuk ikut terus berkembang. Dengan metode kodifikasi dalam
suatu sistem hukum yang terjadi adalah hukum selalu tertinggal di belakang
perkembangan masyarakat, karena banyak masalah-maslaah yang tak mampu
diselesaikan oleh kodifikasi hukum.
Kodifikasi tidak lagi dianggap sebagai suatu produk
yang dapat mengatur masyarakat secara keseluruhan dan secara sempurna,
melainkan masih tercipta kekosongan hukum dalam arti masih banyak hal-hal yang
belum diatur. Maka alam menyelesaikan masalah-masalah yang belum diatur
tersebut dipergunakan yurisprudensi dan penafsiran teleologis di samping
kodifikasi. Meskipun di negara Belanda tidak
berlaku asas stare decisses seperti di Inggris, yurisprudensi tetap
dapat terjamin karena adanya kontrol dari pengadilan yang lebih tinggi terhadap
pengadilan yang lebih rendah.
Dengan demikian bila dibandingkan dengan
perkembangan hukum di Inggris, maka perkembangan hukum di Belanda adalah
terbalik. Mula-mula kodifikasi yang kemudian menjadi undan-undang menjadi
bukanlah satu-satunya sumber hukum (legisme), karena kodifikasi tidak dapat
menyelesaikan masalah-masalah yang timbul kemudian, selain itu yurisprudensi
juga mempunyai tempat yang penting dalam sistem hukum Belanda.
II.3. SEJARAH
LAHIRNYA HUKUM DAGANG DI INDONESIA
Pembagian Hukum privat (sipil) ke dalam Hukum
Perdata dan Hukum Dagang sebenarnya bukanlah pembagian yang asas, tetapi
pembagian sejarah dari Hukum Dagang.
Bahwa pembagian tersebut bukan bersifat asasi, dapat
kita lihat dalam ketentuan yang tercantum dalm pasal 1 KUHD yang
menyatakan: "Bahwa peraturan-peraturan KUHS dapat juga dijalankan
dalam penyelesaian soal-soal yang disinggung dalam KUHD terkecuali dalam
penyelesaian soal-soal yang semata-mata diadaka oleh KUHD itu.”
Kenyataan-kenyataan lain yang membuktikan bahwa
pembagian itu bukan pembagian asasi adalah:
Perjanjian
jual beli yang merupakan perjanjian terpenting dalam bidang perdagangan
tidaklah ditetapkan dalam KUHD.
Perjanjian
pertanggungan (asuransi) yang sangat penting juga bagi soal keperdatan ditetapkan
dalam KUHD.
Adapun perkembangan Hukum Dagang sebenarnya telah
dimulai sejak abad pertengahan di Eropa, kira-kira tahun 1000 sampai tahun
1500. Asal mula perkembangan hukum ini dapat dihubungkan dengan terjadinya
kota-kota Eropa Barat. Pada zaman itu di Italia dan Perancis Selatan telah
lahir kota-kota sebagai pusat perdagangan (Genua, Florence, Vennetia,
Marseille, Barcelona dan lain-lain).
Hukum Romawi (Corpus Iuris
Civilis) ternyata tidak dapat menyelesaikan seluruh perkara-perkara yang
timbul di bidang perdagangan. Oleh karena itulah di kota-kota Eropa Barat
disusun peraturan-peraturan hukum baru yang berdiri sendiri disamping hukum
Romawi yang berlaku.
Hukum yang baru ini berlaku bagi golongan pedagang
dan disebut "Hukum Pedagang"(Koopmansrecht). Kemudian pada abada
ke-16 dan ke-17 sebagian besar kota di Perancis mengadakan
pengadilan-pengadilan istimewa khusus menyelesaikan perkara-perkara di bidang
perdagangan (pengadilan pedagang).
Hukum pedagang ini pada mulanya belum
merupakan unifikasi (berlakunya satu sistem hukum untuk seluruh
daerah), karena berlakunya masih bersifat kedaerahan. Tiap-tiap daerah
mempunyai hukum pedagangan sendiri-sendiri yang berlainan satu sama lainnya.
Kemudian disebabkan bertambah eratnya hubungan perdagangan antar daerah, maka
dirasakan perlu adanya kesatua hukum diantara hukum pedagang ini.
Oleh karena itu di Perancis pada abad ke 17
diadakanlah kodifikasi dalam hukum pedagang; Menteri Keuangan dari Raja Louis
XIV (1643-1715) yaitu Colbert membuat suatu
peraturan "Ordonance Du Commerce" (1673). Dan pada tahun
1681 dibuat Ordonnance de la Marine.
Peraturan ini mengatur hukum pedagang ini sebagai
hukum untuk golongan tertentu yakni kaum pedagang. Ordonance Du
Commerce ini pada tahun 1681 disusul degan peraturan lain
yaitu "Ordonansi De La Marine" yang mengatur hukum
perdagangan laut (untuk pedagang-pedagang kota pelabuhan).
Pada tahun 1807 di Perancis di samping
adanya "Code Civil Des Francais" yang mengatur Hukum
Perdata Perancis, telah dibuat lagi suatu kitab undang-undang Hukum Dagang
tersendiri yakni "Code De Commerce".
Dengan demikian pada tahun 1807 di Perancis terdapat
hukum dagang yang dikodifikasikan dalam Code De Commerce yang
dipisahkan dari Hukum Perdata yang dikodifikasikan dengan Code Civil. Code
De Commerce ini membuat peraturan-peratuan hukum yang timbul dalam bidang
perdagangan sejak zaman pertengahan. Adapun yang menjadi dasar bagi
penyusun Code De Commerce (1807) itu antara lain: Ordonance de
Commerce(1673) dan Ordonance de La Marine (1671) tersebut. Kemudian
kodifikasi-kodifikasi Hukum Perancis tahun 1807 (yakni Code
Civil dan Code Commerce) dinyatakan berlaku juga di Netherland pada
tahun 1838.
Atas perintah Napoleon, hukum yang berlaku bagi
pedagang dibukukan dalam sebuah buku Code De Commerce (tahun 1807).
Disamping itu, disusun kitab-kitab lainnya, yakni Code
Civil dan Code Penal. Kedua buku tersebut dibawa dan berlaku di
Belanda dan akhirnya dibawa ke Indonesia. Pada tanggal 1 Januari 1809 Code
De Commerce (Hukum Dagang) berlaku di Negeri Belanda.
Dalam pada itu Pemerintah Netherland menginginkan
adanya hukum dagang sendiri; dalam usul KUHD Belanda dari Tahun 1819
direncanakan sebuah KUHD yang terdiri atas tiga kitab akan tetapi di dalamnya
tidak mengakui lagi pengadilan istimewa yang menyelesaikan perkara-perkara yang
timbul dibidang perdagangan akan tetapi perkara-perkara dagang diselesaikan di
pengadilan biasa.
Usul KUHD Belanda inilah yang kemudian disahkan
menjadi KUHD Belanda tahun 1838. Akhirnya, berdasarkan asas konkordasi, maka
KUHD Nederland 1838 ini kemudian menjadi contoh bagi pembuatan KUHD
Indonesia 1848.
Pada awalnya hukum dagang berinduk pada hukum
perdata. Namun, seiring berjalannya waktu hukum dagang
mengkodifikasi(mengumpulkan) aturan-aturan hukumnya sehingga terciptalah Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHD ) yang sekarang telah berdiri sendiri atau
terpisah dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer ).
Pada akhir abad ke-19, Prof. Molengraaff
merencanakan suatu Undang-Undang Kepailitan yang akan menggantikan Buku III
dari KUHD Nederland. Rancangan Molengraaff ini kemudian berhasil dijadikan
Undang-Undang Kepailitan tahun 1893 (berlaku pada 1896).
Dan berdasarkan asas Konkordansi pula, perubahan ini
diadakan juga di Indonesia pada tahun 1906. Pada tahun 1906 itulah Kitab
III KUHD Indonesia diganti dengan Peraturan Kepailitan yang berdiri sendiri (di
luar KUHD); sehingga semenjak tahun 1906 KUHD Indonesia hanya terdiri atas dua
Kitab saja, yakni: "Tentang Dagang Umumnya" dan Kitab II
berjudul "Tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban yang Tertib dari
Pelayaran".
BAB III
PENUTUP
III. 1.
KESIMPULAN
Hukum dagang pada awalnya berasal dari bangsa romawi
kuno yang terus berkembang didaerah Eropa Barat yaitu Italia dan Perancis
Selatan, hukum dagang dibelanda bermula dari hukum kebiasaan. Karena terjadi
penjajahan oleh bangsa perancis, maka terjadilah percampuran antara hukum
kebiasaan (Hukum Belanda Kuno) dengan hukum Code Civil. Pemerintah Netherland
menginginkan adanya hukum dagang sendiri. dalam usul KUHD Belanda dari Tahun
1819 direncanakan sebuah KUHD yang terdiri atas tiga kitab akan tetapi di
dalamnya tidak mengakui lagi pengadilan istimewa yang menyelesaikan
perkara-perkara yang timbul dibidang perdagangan akan tetapi perkara-perkara
dagang diselesaikan di pengadilan biasa. Usul KUHD Belanda inilah yang kemudian
disahkan menjadi KUHD Belanda tahun 1838. Akhirnya, berdasarkan asas
konkordasi, maka KUHD Nederland 1838 ini kemudian dijadikan contoh
bagi pembuatan KUHD Indonesia 1848. Dan berdasarkan asas Konkordansi pula,
perubahan ini diadakan juga di Indonesia pada tahun 1906. Lalu dengan asas
konkordansi hukum dagang di Indonesia di ganti dengan WvK, dan BW.
DAFTAR PUSTAKA
Hasyim,
Farida. 2009. Hukum Dagang. Jakarta: Sinar Grafika.
Kansil,
C.S.T. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Masriani,
Yulies Tiena. 2004. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika.
http://basisme1484.wordpress.com/2010/01/06/pengetahuan-hukum-seri-sejarah-dan-perkembangan-hukum-romawi-germania-jerman/,
diunduh pada 21-Maret-2013.
0 komentar:
Posting Komentar