KAPITA SELEKTA PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI
INDONESIA
BAB I
HUKUM ISLAM DITETAPKAN SECARA
BERANGSUR-ANGSUR
- Dalam Pengharaman Khamar
1.
Surat An-Nahl ayat 67:
ومن ثمرات النخيل والاعناب تتخذون منه سكرا
ورزقا ان فى ذلك لاية لقوم يعقلون
(٦٧ : النحل)
Artinya: Dan dari buah kurma dan
anggur, kamu membuat minuman yang memabukan dan rezeki yang baik. Sungguh, pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang
mengerti (QS. An-Nahl: 67).[1]
2.
Surat Al-Baqarah ayat 219:
يـسـألونـك عـن الخـمـروالمـيـسـرقـل
فـيـهـما اثـم كـبـيرومـنافـع للنـاس
واثـمـهما اكـبرمن نـفـعـهـما
Artinya: Mereka meanyakan
kepadamu (Muhammad)tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat
dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar
daripada manfaatnya”.[2]
3.
Surat An-Nisa’ ayat 43 :
ياأيهاالذين أمنوا لاتقربوا االصلاة وانتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون
(٤٣ : النساء)
Artinya: Wahai orang-orang yang
beriman. Janganlah kamu mendekati shalat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai
kamu sadar apa yang kamu ucapkan (QS. An-Nisa’ : 43).[3]
4.
Surat Al-Maidah ayat 90 :
ياأيهاالذين أمنوا إنما الخمروالميسروالانصاب
والازلام رجس من عمل الشيطان
فاجتنبوه لعلكم تفلحون
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman. Sesungguhya minuman keras, berjudi,
(berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah
perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan)
itu agar kamu beruntung (QS. Al-Maidah: 90).[4]
Dalam ayat 67 surat An-Nahl ada
isyarat dari perasan kurma atau anggur dapat dibuat minuman keras yang
memabukan, dan ada perintah kepada akal untuk mempertimbangkannya, tetapi belum
ada pelarangan khamar. “Kaum muslimin pada masa awal Islam biasa minum khamar,
karena ia masih halal bagi mereka.”[5]
Setelah turun ayat 219 surat
Al-Baqarah sebagian kaum muslimin meninggalkan khamar, karena adanya keterangan
dalam ayat tersebut berbunyi “pada keduanya terdapat dosa besar”,
tetapi sebagian yang lain masih tetap meminumnya, karena berpegang pada faktor “ada
beberapa manfaat bagi manusia”.[6]
Pertanyaan dalam ayat 219
surat Al-Baqarah berkenaan dengan khamar dan judi yang merupakan salah satu
bentuk perolehan dan penggunaan harta yang dilarang sebelum ini (ayat 188)
serta bertentangan dengan menafkahkannya di jalan yang baik (ayat 215). Di sisi
lain, sebelum ini telah dijelaskan tentang bolehnya makan dan minum di malam
hari bulan Ramadhan, di sini dijelaskan tentang menuman keras yang dirangkaikan
dengan perjudian karena masyarakat jahiliah sering minum sambil judi. Selain
itu, salah satu barang rampasan dari kafilah yang dihadang oleh pasukan
Abdullah Ibn Jahsy adalah minuman keras. Hal-hal itu menghubungkan ayat yang
dimulai dengan pertanyaan, “Mereka
bertanya kepadamu tentang khamr dan judi.”[7]
Pada keduanya itu terdapat dosa
besar, seperti hilangnya keseimbangan, gangguan kesehatan, penipuan,
kebohongan, perolehan harta tanpa hak, benih permusuhan, dan beberapa manfaat
duniawi bagi segelintir manusia, seperti keuntungan materi, kesenangan
sementara, kehangatan di musim dingin, dan ketersediaan lapangan kerja. Ada
juga riwayat yang menceriterakan bahwa pada masa jahiliah hasil perjudian
mereka sumbangkan kepada fakir miskin. Semua itu adalah manfaat duniawi, tetapi
dosa yang diakibatkanoleh lebih besar daripada manfaatnya karena manfaat
tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang di dunia, dan mereka akan
tersiksa kelak di akhirat.[8]
Ayat 219 ini isyarat kuat tentang
keharamannya sudah lebih jeelas, walau belum tegas. Jawaban yang menyatakan
dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya menunjukkan bahwa ia seharusnya
dihindari karena sesuatu yang keburukannya laabih banyak daripada kebaikannya
adalah sesuatu yang tercela, bahkan haram.[9]
Melalui ayat 43 surat An-Nisa’ khamar
diharamkan pada waktu tertentu. “Allah mengharamkan mabuk pada waktu-waktu
shalat. Maka seseorang sejak itu minum khamar sesudah shalat Isya sehingga bila
ia bangun untuk shalat shubuh sudah sadar dari mabuknya.”[10]
Ayat 43 surat An-Nisa’ mengandung
dua macam hukum. Pertama, larangan melaksanakan shalat dalam keadaan mabuk, dan
kedua, larangan mendekati masjid dalam keadaan junub. Ada juga yang memahaminya
dalam arti larangan mendekati tempat shalat ---yakni masjid--- dalam keadaan
mabuk dan junub, dan dengan demikian ia hanya mengandung satu hukum saja.[11]
Allah SWT mengharamkan khamar secara
menyeluruh dengan turunya ayat 90 surat Al-Maidah. “Imam Bukhari ketika
menjelaskan perurutan larangan-larangan itu mengatakan bahwa, karena minuman
keras merupakan salah satu yang paling banyak menghilangkan harta, disusulnya
larangan meminum khamar dengan perjudian. Dan, karena perjudian merupakan salah
satu cara yang membinasakan harta, pembinasaan harta disusul dengan larangan
pengagungan terhadap berhala yang merupakan pembinasaan agama. Kesemuanya itu
merupakan rijs (perbuatan keji).”[12]
Diharamkannya khamar secara bertahap
mengandung suatu hikmah kebijaksanaan yang sangat tepat. Hal ini disebabkan
oleh kenyataan bahwa bangsa Arab (sejak zaman jahiliah) telah terbiasa meminum
khamar, sehingga menjadi bagian dari kehidupan mereka. Sekiranya minum khamar
diharamkan sekaligus, maka hal itu akan menjadi masalah bagi mereka, dan
mungkin mereka menolak mematuhi larangan tersebut, sebagaimana yang dikatakan
oleh Siti Aisyah, “pertama-tama yang turun dari Al-Qur’an ialah surat mufashal
(surat-surat pendek) yang di dalamnya diterangkan soal surga dan neraka.
Setelah manusia mempunyai kesadaran tentang Islam, baru turun ayat-ayat tentang
halal dan haram. Sekiranya wahyu yang pertama turun berbunyi: “Janganlah kamu
meminum khamar,” niscaya mereka akan berkata, “tidak, kami tidak akan meninggalkan
khamar sama sekali.”[13]
Demikianlah garis-garis haluan
kebijaksanaan Islam dalam menangani penyakit-penyakit sosial. Islam telah
menempuh jalan secara berangsur-angsur, tahap demi tahap dalam mensyari’atkan
hukum-hukumnya. Dalam masalah khamar, Islam memulai dengan menjauhkan orang
daripadanya secara tidak langsung sebagaimana tampak pada ayat yaang pertama
(surat An-Nahl: 67). Upaya menjauhkan orang dari minum khamar kemudian dilakukan
secara langsung dengan mengungkapkan perbandingan antara dua unsur yang
terdapat pada khamar, sebagaimana dijelaskan dalam ayat yang kedua (surat
Al-Baqarah: 219), yang kemudian ditingkatkan dengan larangan terbatas, yaitu
pada waktu-waktu shalat, sebagaimana tersebut dalam ayat yang ketiga (surat
An-Nisa’: 43). Kemudian ditetapkan larangan secara menyeluruh dalam segala
waktu, sebagaimana tersebut ayat yang keempat (surat Al-Maidah: 90).[14]
Abu Musa al-Asy’ari bertanya kepada
Rasulullah SAW., “Wahai Nabi, berilah fatwa kepada kami tentang minuman yang
kami buat di Yaman, Bata’terbuat dari madu yang direndam sampai keras dan Mizr
terbuat dari jagung dan gandun yang direndam hingga keras”. Beliau menjawab:
“semua minuman yang memabukkan adalah haram.”[15]
Al-khamru maa khamaral aqla (arak
ialah semua bahan yang dapat menutupi akal). Setiap yang dapat mengganggu
fikiran dan mengeluarkan akal dari tabiat yang sebenarnya disebut arak yang
dengan tegas telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya sampai hari kiamat.
Semua bahan narkotik atau zat adiktif seperti ganja, mariyuana dan sebagainya
yang dapat mempengaruhi terhadap perasaan dan akal fikiran, misalnya dapat
melupakan suatu kenyataan, dapat menghayal yang tidak akan terjadi dan bisa
tenggelam dalam mimpi yang bukan-bukan. Narkotik dapat melumpuhkan anggota
tubuh manusia dan menurunkan kesehatan. Juga dapat mengganggu kemurnian jiwa,
menghancurkan moral, meruntuhkan iradah dan melemahkan perasaan untuk
melaksanakan kewajiban yang oleh para pecandunya dijadikan alat untuk meracuni
masyarakat.[16]
- Dalam Pengharaman Riba
- Surat
Ar-Ruum ayat 39:
وماأتيتم من ربا ليربوا
في اموال الناس فلا يربوا عند الله وما اتيتم من زكوة
تريدون وجه الله
فاولئـك هم المضعـفون
Artinya: Dan sesuatu riba
(tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah
dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk memperoleh keridaan Allah, maka itulah orang-orang
melipatgandakan (pahalanya).[17]
- Surat
An-Nisa’ ayat 161 :
واخذهم الربوا وقد نهواعنه واكلهم اموال
الناس بالباطل واعتدنا للكفرين منهم عذابا
اليما
Artinya: Dan karena mereka menjalankan
riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan
harta orang dengan cara tidak sah (batil), dan kami sediakan untuk orang kafir
di antara mereka azab yang pedih.[18]
- Surat
Ali ‘Imran ayat 130 :
يايهاالذين أمنوا
لاتأكلوا الربوا اضعافا مضعفة واتقواالله لعلكم تفلحون
(١٣٠ : ال عمران)
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman. Janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.[19]
- Surat
Al-Baqarah ayat 278 :
ياأيها الذين أمنوا اتقوا الله ودروا ما بقى من الربوا ان كنتم مؤمنين
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman. Bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman.[20]
Dalam surat Ar-Ruum ayat 39 tidak
terdapat isyarat yang menunjukkan diharamkannya riba, hanya saja Allah
menunjukkan kebencian terhadap praktek riba serta riba tidak berpahala di sisi
Allah. Atas dasar itu, riba masih diperbolehkan dengan peringatan negatif untuk
tidak dipraktekkan.[21]
Jika kita memahaminya sebagai riba
yang diharamkan, ini berarti ayat di atas telah dibatalkan hukumnya atau dengan
kata lain mansukh. Sedang,
kecenderungan banyak ulama dewasa ini menolak adanya ayat-ayat mansukh setelah ayat-ayat yang selama
ini dinilai bertolak belakang ternyata dapat dikompromikan. Karena itu, penulis
cenderung memahami kata riba di sini
dalam arti hadiah yang mempunyai
maksud-maksud selain jalinan persahabatan murni. Di sisi lain, dalam al-Qur’an,
kata riba ditemukan sebanyak delapan kali
dalam empat surah. Salah satu yang menarik adalah cara penulisannya. Hanya
dalam ayat surah ar-Ruum ini yang ditulis tanpa menggunakan huruf wau ditulis (ربا). Sedang, selainnya ditulis dengan huruf wau yakni (الربو). Pakar
ilmu-ilmu al-Qur’an, az-Zarkasyi, menjadikan perbedaan penulisan itu sebagai
salah satu indikator tentang perbedaan maknanya. Yang ini adalah riba yang
halal yakni hadiah, sedang yang selainnya adalah riba yang haram, yang
merupakan salah satu pokok keburukan ekonomi.[22]
Surat an-Nisa’ ayat 161 memberikan
pelajaran kepada umat Islam dari perilaku orang Yahudi yang memakan riba yang
oleh Allah dilarang (diharamkan) tetapi mereka tetap mempraktekannya sehingga
laknat dan murka Allah patut ditimpakan kepada mereka.[23] Dari
kasus ini dapat dipahami bahwa untuk orang Yahudi saja riba sudah diharamkan
dan diancam yang tetap mempraktekaannya, maka dengan dasar kaidah Mafhum Muwafaqah, apalagi umat Islam harus mentaati larangan ini.
Surat Ali ‘Imran ayat 130
menunjukkan adanya pengharaman riba secara terus terang secara terbatas (tidak
menyeluruh) hanya pada riba fakhisyah (yang sangat kejam), yaitu
riba yang dalam kebiadaban dan keburukan yang telah mencapai puncaknya serta
kejahatannya telah mencapai tingkat yang tidak terungguli dengan sistem bunga
berbunga sehingga membubung berlipat ganda yang sangat memberatkan orang yang
berhutang untuk dapat melunasi hutangnya.[24]
Sedangkan Surat al-Baqarah ayat 278
mengharamkan riba secara menyeluruh dan positif, yang oleh al-Qur’an tidak lagi
diberikan perbedaan antara riba secara kecil-kecilan dengan riba yang berlipat
ganda. Ayat ini memastikan dan menyelesaikan tentang keharaman riba secara
tuntas.[25]
Dari ayat-ayat tentang riba dapat ditarik beberapa kesimpulan; 1). Riba adalah
suatu kejahatan serius terhadap masyarakat dan agama; 2). Riba termasuk
dosa-dosa besar yang pemakannya patut mendapat sisksa dalam neraka; 3). Riba
dalam bentuk kecil atau besar sama saja haramnya; 4). Kewajiban seorang mukmin
berhenti pada ketentuan syari’at dengan jalan menjauhkan diri dari segala yang
diharamkan Allah; 5). Senjata yang dapat melindungi seorang muslim dari
pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan agama hanya takwa kepada
Allah.[26]
Ayat ini melarang mengambil sisa
riba yang belum mereka pungut dan membolehkan mengambil sisa modal. Penutup
ayat ini mengisyaratkan bahwa riba tidak menyatu dengan iman dalam diri
seseorang. Jika seseorang melakukan praktik riba, itu bermakna ia tidak percaya
kepada Allah dan janji-janji-Nya. Dan, bila demikian, perang tidak dapat
dielakan. Karena itu, ayat berikutnya mengumumkan perang itu.[27]
Allah menyatakan perang terhadap
riba dan orang yang meribakan hartanya, dan Allah mengingatkan betapa bahayanya
riba dalam masyarkat. Dalam hadits diterangkan yang artinya: “Apabila riba dan
zina sudah merata di suatu daerah, maka mereka telah menghalalkan dirinya untuk
mendapat siksaan Allah.” (H.R. Hakim).[28]
- Penyelesaian Sengketa Suami-Isteri
dalam QS. an-Nisa’ ayat : 34-35 :
والتى تخافـون نـشـوزهـن فـعـظـوهـن
واهـجروهـن فى المـضاجع واضربـوهـن
وان خـفـتـم شـقـاق بـيـنـهـما فابـعـثـوا حـكـما من اهـلـه وحـكـما من
اهـلـها
Artinya: Perempuan-perempuan yang kamu
khawatirkan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah
mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka.
Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan
antara keduanya, maka kirimlah seorang
juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga
perempuan.[29]
Kalau titik temu dalam musyawarah
tidak diperoleh dan kepemipinan suami harus ditaati dihadapi oleh isteri dengan
nusyuz, keangkuhan, dan
pembangkangan, ada langkah yang dianjurkan ditempuh suami untuk mempertahankan
mahligai pernikahan.
Ketiga langkah tersebut adalah
nasihat, menghindari hubungan seks, dan memukul. Ketiganya dihubungkan satu
dengan yang lain dengan menggunakan huruf wauw yang biasa diterjemahkan dengan
dan.
Huruf ini tidak mengandung makna perurutan sehingga dari segi tinjauan
kebahasaan dapat saja yang kedua didahulukan sebelum yang pertama. Namun
demikian, penyusunan langkah-langkah itu sebagaimana bunyi teks memberi kesan
bahwa itulah perurutan langkah yang sebaiknya ditempuh.[30]
Langkah pertama, dengan jalan
memberi nasihat dan petunjuk yang bijaksana, serta pelajaran yang baik. Langkah
kedua, memisahkan diri dengan jalan berpisah tempat tidur dan meninggalkan
pergaulan yang lazim antara suami-isteri. Langkah ketiga, memukul tetapi tidak
keras, dengan alat pemukul yang ringan. Langkah keempat, apabila semua langkah
di atas tidak memberikan hasil, maka haruslah ditempuh jalan arbitrase untuk
meminta keputusan hakam (juru perdamaian).[31]
Sekali lagi jangan pahami kata “memukul”
dalam arti “menyakiti”, jangan juga diartikan sebagai sesuatu yang
terpuji. Rasul, Muhammad saw. Mengingatkan agar, “Jangan memukul wajah dan
jangan pula menyakiti”. Di kali lain, beliau berabda, “Tidakkah kalian malu
memukul isteri kalian, seperti memukul keledai? Malu bukan saja karena memukul,
tetapi juga malu karena gagal mendidik dengan nasihat dan cara lain.[32]
BAB II
PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
MENDATANG
A. Realitas Umat Islam Indonesia.
Sudah sejak lama kita merisaukan kesenjangan yang parah antara jumlah
mayoritas umat Islam Indonesia dan kualitas kehidupan mereka yang tertinggal
jauh di buritan pada hampir semua bidang, khususnya di bidang ilmu,
teknologi, dan ekonomi. Oleh sebab itu, untuk melangkah ke depan masalah
kualitas ini harus mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari para
pemimpin Islam Indonesia agar kesenjangan itu secara berangsur dan sadar dapat
dipertautkan. Posisi mayoritas tuna-kualitas akan menjadi beban Islam sebagai
agama yang ingin membangun peradaban asri yang berkualitas tinggi di muka bumi.[33]
Untuk masalah ini, faktor pendidikan, di samping faktor-faktor lain, akan
sangat menentukan. Karena kelalaian kita untuk memikirkan masalah pendidikan
ini secara sungguh-sungguh, maka buahnya yang semakin mendera kita adalah
ketertinggalan umat dalam bidang ilmu, teknologi, dan ekonomi. Jika disebut
umat, sama artinya dengan jumlah hampir 90% rakyat Indonesia. Dengan kata lain,
kelumpuhan umat sama saja dengan kelumpuhan bangsa ini secara keseluruhan. Oleh
sebab itu, menjadi tidak relevan berbicara tentang pembangunan bangsa, manakala
rakyat mayoritas terabaikan.[34]
Dengan demikian dapat dimengerti dengan memandang umat berarti melihat
secara nyata rakyat mayoritas di Indonesia yang secara otomatis menganut agama
Islam. Jika sebuah realita ternyata umat Islam yang mendiami persada Indonesia
aalah mayoritas kuantitas tetapi minoritas kualitas, termasuk dalam pembinaan
hukum, maka sudah sewajarnya pembinaan dan pembangunan serta pengembangan di
bidang hukum khususnya harus mengacu dan memperhatikan kepentingan dan
kesejahteraan umat tersebut.
B. Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam.
Hubungan hukum adat dengan hukum Islam dalam makna kontak antara kedua
sistem hukum itu telah lama berlagsung di tanah air. Hubungannya akrab dalam masyarakat.
Keakraban itu tercermin dalam berbagai pepatah dan ungkapan di beberapa daerah,
misalnya adat bersendi syara’, syara’
bersendi kitabullah. Makna pepatah ini adalah hubungan (hukum) adat dengan
hukum Islam (syara’) erat sekali, salnig topang-menopang, karena
sesungguhnya yang dinamakan adat yang benar-benar adat adalah syara’ itu
sendiri. Dalam hubungan ini perlu dijelaskan bahwa adat dalam hubungan ini
adalah cara melaksanakan atau memakai syara’ itu dalam masyarakat.
Hal tersebut berbeda dalam pandangan para
penulis barat (Belanda), dimana hubungan hukum adat dengan hukum Islam
di Indonesia, terutama di Minangkabau, selalu digambarkan sebagai dua unsur
yang bertentangan. Ini dapat dipahami, karena teori konplikyang mereka
pergnakan untuk mendekati masalah kedua sistem hukum itu dengan sadar mereka
pergunakan untuk memecah-belah dan mengadu-domba rakyat Indonesia guna
mengukuhkan kekuasaan Belanda di Indonesia. Karena itu, sikap penguasa jajahan
terhadap kedua sistem hukum itu dapat diumpamakan seperti sikap orang yang
membelah bambu, mengangkat belahan yang satu (adat) dan menekan belahan yang
lain (Islam). Sikap ini jelas tergambar dalam statement van Vollenhoven ketika
berpolemik dengan pemerintahnya mengenai politik hukum yang akan dilaksanakan
di Hindia-Belanda. Menurutnya, hukum adat harus dipertahankan sebagai hukum
bagi golongan bumiputera, tidak boleh didesak oleh hukum Barat. Sebab kalau
hukum adat didesak, hukum Islam yang akan berlaku.[35]
Karena itu ada yang mengatakan bahwa apa yang disebut sebagai konplik
antara hukum Islam dengan hukum adat pada hakikatnya adalah isu buatan
politikus hukum kolonial saja. Salah seorang di antaranya adalah B. Ter Haar
yang menjadi master architect
pembatasan wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Menurutnya, antara
hukum adatdengan hukum Islam tidak mungkin bersatu, apalagi bekerjasama, karena
titik-tolaknya berbeda. Hukum adat bertitik-tolak dari kenyataan hukum dalam
masyarakat, sedang hukum Islam bertitik-tolak dari kitab-kitab hukum (hasil
penalaran manusia). Karena perbedaan itu, timbullah pertentangan yang
kadang-kadang dapat diperlunak tetapi sering kali tidak. Karena itu wewenang
Pengadilan Agama di Jawa dan Madura, dibatasi
sampai ke bidang yang sekecil-kecilnya.[36]
Menurut penglihatan para penulis Barat (Belanda), perkawinan yang
dilangsungkanmenurut ketentuan hukum Islam hanyalah kontrak antara
pribadi-pribadi yang melangsungkan pernikahan saja, sedang perkawinan yang
dilakukan menurut hukum adat adalah ikatan yang menghubungkan dua keluarga,
yang tampak dari upacara waktu melangsungkan perkawinan itu. Mereka lebih
menghargai dan menghidup-hidupkan perkawinan menurut hukum adat saja daripada
perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum Islam.[37]
C. Arah Pembinaan Hukum Nasional.
Hukum nasional adalah hukum yang tumbuh dari citra dan kesadaran hukum
masyarakat. Unsur terbesar masyarakat Indonesia terdiri dari warga beragama
Islam yang memandang hukum sebagai bagian integral dari keyakinan beragama.
Karena itu, berdasarkan pandangan berbagai ahli hukum sendiri, hukum warisan kolonial
di Indonesia yang bertentangan dengan pandangan hukum masyarakat tidak dapat
diharapkan menjadi hukum nasional yang efektif di masa depan.
Pertarungan sekarang sebenarnya, bila dapat disebut demikian, adalah
antara hukum Islam dan hukum adat. Sungguhpun demikian, kehidupan perkotaan,
modernisasi, perpindahan penduduk, kawin antar-suku dan lain-lain telah
memperkecil apa yang disebut hukum adat. Dari segi lain, hukum adat sebenarnya
adalah sebuah istilah hukum Islam yang disebut hukm al ‘adah (ketentuan
berdasarkan adat kebiasaan). Atau al-‘urf (kebiasaan). Istilah ini
kemudian diselewengkan oleh van Vollenhoven dan kawan-kawan atas nasihat
Christian Snauck Hourgronje. Di negara lain seperti India, Pakaistan, Malaysia,
dan Filipina, memang terdapat adat-istiadat lokal, tetapi tidak ada hukum adat
sebagai sistem hukum. Jadi, hukum adat adalah rekayasa Belanda di Indonesia.
Prof. Hazairin menyebut teori hukum adat ini sebagai teori iblis, dan Takdir
Alisjahbana memandangnya sebagai usaha mengacau budaya hukum Indonesia. Karena
itu, Pembangunan hukun nasional harus melihat kepada hukum Islam.[38]
Indonesia sebagai suatu negara yang berpenduduk terbanyak beragama Islam.
Indonesia adalah suatu negara nasional yaang memiliki dasar dan filsafat
Pancasila yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945: “… maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipinpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan /Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.”
Dilihat dari sudut hukum Islam, maka sila pertama dapat dipahami identik
dengan tauhid yang merupakan inti ajaran Islam, dengan pengertian bahwa alam
ajaran Islam diberikan toleransi, kebebasan dan kesempatan yang seluas-luasnya
bagi pemeluk agama-agama lain untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing.
Selain itu, negara Republik Indonesia bukan negara sekuler dan bukan pula
negara agama.[39] Sila pertama dipertegas kembali dalam Pasal 29
UUD 1945. Terhadap pasal ini Hazairin dalam salah satu tafsirnya mengatakan: “Dalam negara RI tidak boleh terjadi atau
berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat Islam,
atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani bgai umat Nasrani,
kaidah agama Hindu-Bali bagi orang-orang Hindu-Bali, atau yang bertentangan
dengan kesusilaan agama Budha bagi orang-orang Budha.”[40]
Kitab-kitab suci yang bermuat syari’at (Qur’an, Bible, kitab-kitab Hindu
Bali) ada berisikan kesamaan-kesamaan yang dapat dijadikan landasan bersama
bagi pembinaan hukum nasional, sedangkan perbedaan-perbedaannya dapat dijadikan
sumber bagi hukum-hukum khusus yang hanya berlaku bagi penganut agama
masing-masing, seperti hukum khusus bagi umat Islam, hukum khusus bagi bagi
umat Nasrani dan hukum khusus bagi umat Hindu-Bali.
Setiap pemeluk agama tentu maklum apa yang diperlukannya secara khusus,
dan buat selebihnya selaras dengan
cita-cita unifikasi hukum, dapatlah semua umat yang beragama ditundukkan kepada
satu kodifikasi hukum untuk menggantikan pelbagai sistem hukum yang diwariskan
oleh kekuasaan kolonial. Kebudayaan normatif ciptaan manusia adalah untergoernet (dikebawahkan) kepada sila
yang lebih utama dulu, dalam hal ini Ketuhanan Yang Maha Esa.[41]
D. Kerangka Pemikiran Pengembangan Hukum Islam
di Indonesia.
Hukum Islam pada dasarnya merupakan
hukum yang diderivasikan dari kepercayaan agama Islam. Istilah “Islam” itu sendiri mempunyai arti
penyerahan diri (submission), dan
orang yang berserah diri itu disebut “Muslim”. Seorang Muslim adalah orang yang
menyerah kepada kehendak Tuhan (dalam Islam disebut Allah) yang diwahyukan
kepada Muhammad, Nabi terakhir dari sekian banyak nabi-nabi Tuhan.
Perintah-perintah Allah tersebut tertulis di dalam al-Qur’an, kitab suci agama
Islam.
Di sini jelas betapa sejak awalnya
karakter normatif telah melekat dalam ajaran-ajaran Islam. Dengan demikian,
esensi memeluk agama Islam adalah ketundukan kepada Allah, dan mengikuti dengan
sadar hukum-hukum-Nya. Dalam kepercayaan Islam, hukum tidak sekadar bangunan
sekuler untuk mengatur kehidupan manusia di dunia fana ini tetapi lebih sebagai
jalan lurus menuju akhirat, yang diyakini akan kekal dan tidak berujung. Dunia
fana ini akan dilanjutkan di akhirat nanti, dan melalui hukumlah kehidupan
seorang Muslim akan menjadi benar di kedua kehidupan. [42]
Elemen-elemen di atas menguatkan
karakter Islam sebagai “agama hukum”. Hukum dan teologi pada dasarnya tidak
pernah bisa dipisahkan. Dari teologilah institusi hukum itu dibangun dan dengan
mentaati hukum aspek teologi dapat dipertahankan. Sistem kepercayaan seperti
ini membuat Islam menjadi mirip dengan tradisi agama Yahudi. Memang dalam
banyak hal mendasar tradisi Islam dan Yahudi mempunyai logika hukum yang sama.
Islam memiliki kitab al-Qur’an
sebagaimanaYahudi memiliki Taurat, yang kesemuanya dipercayai sebagai ipsissima verba dari Tuhan, sumber hukum
yang pertama dan paling utama. Demikian pula, Islam memiliki hadis dan Sunnah
Nabi Muhammad, sumber rujukan mengenai perilaku Nabi yang dapat dijadikan
rujukan kaum Muslimin memahami kitab suci dalam kehidupan sehari-hari,
sebagaimana pula orang Yahudi yang memiliki Mishna sebagai referensi mengenai
kehidupan Musa.[43]
Di sini dapat dipahami bahwa dalam
Islam, al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad menjadi dua sumber utama dari semua
aturan hukum yang harus ditaati setiap Muslim. Sikap seperti ini dituntunkan
dalam al-Qur’an. Misalnya, “… Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44).
“… Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka
itulah orang-orang zalim.” (QS. Al-Maidah: 45).
Secara teologis, setiap orang Islam
diperintahkan untuk tidak mengambil dari luar Islam jawaban terhadap
permasalahan yang ada,karena secara teoretik semua permasalahan tersebut sudah
ada solusinya dalam tuntunan agama. Wahyu Allah diturunkan untuk memecahkan
permasalahan manusia, karenanya manusia tidak perlu lagi mencari jawaban
persoalan yang dihadapi melalui orang lain atau merujuk kepada pengalaman para
pendahulu mereka. Karena itu, bagi orang Islam, terdapat hubunganyang tidak
terpisahkan antara agama dan hukum. Menjadi orang Islam mengimplikasikan
ketaatan kepada hukum yang telah diturunkan oleh Allah, sehingga ketika
seseorang menolak mentaati hukum itu, konsekwensinya ia telah berhenti menjadi
Muslam. Di sinilah mengapa hukum Islammemberikan perhatian secara khusus
terhadap tanggung jawab manusia, karena dari tanggung jawab itulah hak-hak
personal dan komunal seseorang akan dapat diberikan.
Hukum Islam diturunkan dari Tuhan,
tetapi dalam proses emanasinya seorang agen diperlukan kehadirannya untuk
menjadi mediator antara sumber sakral tersebut (Tuhan) dengan dunia manusia
yang fana ini. Sebagai penerima risalah tersebut, Muhammad dipercayai menjadi
agen sakral dalam proses emanasi tersebut dimana kehendak Tuhan diterjemahkan
ke dalam kosa kata manusia. Dengan demikian, peran nabi dalam Islam sangatlah
besar. Ia tidak hanya sebagai utusan Tuhan tetapi juga model peercontohan bagi
seluruh umat manusia dalam menjalani hukum Tuhan demi keselamatan hidup mereka
di dunia inidan di akhirat nanti.
Karenanya tidaklah mengherankan
kalau kenabian Muhammad memainkan peran yang amat penting dalam tradisi hukum
Islam, yang tanpanya tidak akan ada hubungan antara yang sakral dan yang
profan, atau antara yang teologi dan hukum. Beberapa ayat al-Qur’an mendukung
posisi nabi yang sangat penting ini sebagai referensi bagi setiap orang Islam
dalam memecahkan permasalahan hukum, di antaranya: “… apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr: 7).
Berangkat dari ayat-ayat di atas, di
samping adanya bukti penghormatan para sahabat Nabi begitu dalam terhadapnya,
wajarlah jika orang-orang Islam generasi berikutnya beekerja keras untuk
memelihara catatan-catatan sabda dan perilaku Nabi. Inilah yang kemudian
disebut sebagai hadis. Dari hadis inilah orang-orang beriman dituntun menuju ke
arah atau jalan (sunnah) Nabi. Maka dapatlah dipahami, bahwa sebagai sumber
hukum, hadis tersebut menempati tempat kedua setelah al-Qur’an .
Dari kedua sumber itulah para ahli
hukum Islam mengembangkan sistem hukum yang kemudian disebut dengan syari’ah. Diambil dari istilah Arab yang
berarti “jalan”. Syari’ah
mempresentasikan jalan hidup yang telah didesain oleh Allah dan Rasul-Nya untuk
kehidupan semua orang Islamdi dunia ini sebagai persiapan untuk kehidupan di
akhirat nanti. Namun perlu diperhatikan bahwa dalam akidah Islam Allah
merupakan satu-satunya pembuat hukum dan hanya firman-Nya yang wajib ditaati.
Sementara fungsi dari Sunnah Nabi adalah sebagai penjelas bagi firman Allah.
Namun demikian, dalam praktiknya, kedua elemen sumber syari’ah ini mengatur secara mendalam kehidupan manusia di dunia
ini, baik dalam perkara-perkara individual maupun komunal, sebagaimana juga
hal-hal yang berhubungan dengan tugas manusia terhadap Tuhan.[44]
Karenanya kita melihat bahwa hukum
dalam kepercayaan Islam mengatur segala sesuatu sesuai dengan kehendak Tuhan.
Hal inilah yang menjadikan keimanan Islam dalam beberapa segi unik. Sebagai
bagian dari agama, atau bahkan agama itu sendiri, hukum dalam Islam mengatur
tidak hanya beberapa bagiandari kehidupan manusia tetapi bahkan keseluruhannya.
Ide hukum sebagai entitas yang mencakup segalanya menjadi karakter utama
bagaimana Islam memandang kehidupan.[45]
E. Pengembangan Hukum Islam di Indonesia ke
Masa Depan.
Langkah awal yang dilaksanakan oleh para pembaru hukum
Islam di Indonesia adalah mendobrak paham ijtihad telah tertutup, dan membuka
kembali kajian-kajian tentang hukum Islam dengan metode komprehenshif yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Para pembaru juga harus berusaha agar hukum
Islam tetap eksis sepanjang zaman. Paham yang mengatakan lebih baik bertaklid
daripada membuat hukum baru, segera harus dihilangkan. Para pembaru harus
mengusahakan agar hukum Islam menjadi salah satu sumber hukum nasional dan
dapat menjadi pedoman dalam berbangsa dan bernegara.[46]
Hasbi ash-Shiddieqy adalah orang pertama yang mengeluarkan
gagasan agar fiqih yang diterapkan di Indonesia harus berkepribadian Indonesia.
Untuk mewujudkan hal itu perlu dibuat Kompilasi Hukum Islam. Beliau mendirikan
Lembaga Fiqih Islam Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta. Lembaga ini
telah banyak memberikan kontribusi dalam kajian perubahan hukum Islam yang
bercorak Indonesia. Hasil kajian fiqih ini merupakan salah satu kajian lebih
lanjut oleh mahasiswa IAIN Yogyakarta dalam kurun waktu tahun 60-an. Menurut
Hasbi as-Shiddieqy, dalam rangka pembaruan hukum Islam di Indonesia perlu
dilaksanakan metode talfiq dan secara selektif memilih peendapat mana
yang paling cocok dengan kondisi negara Indonesia. Di samping itu, perlu
digalakan metode komparasi, yaitu metode memperbandingkan satu pendapat dengan
pendapat yang lain dari seluruh aliran hukum yang ada atau yang pernah ada, dan
memilih yang lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran serta didukung oleh
dalil yang kuat.[47]
Kajian komparasi ini hendaknya dilakukan juga antara fiqih
dengan hukum adat dan hukum positif Indonesia, juga dengan syari’at agama lain.
Sehubungan dengan hal ini, seorang yang ingin melakukan kajian komparasi
hendaknya meempunyai pengetahuan yang luas dalam berbagai ilmu pengetahuan dan
juga mengetahui secara lengkap tentang berbagai masalah fiqih.[48]
Dilihat dari kenyataan normatif yang ada (das sollen), maka Indonesia mempunyai
sebuah hukum nasional yang teridiri dari UUD, undang-undang dan peraturan
lainnya yang berlaku dalam wilayah negara Republik Indonesia, tetapi dari segi
kenyataan alamiah (das sein) apakah
norma-norma hukum tersebut betul-betul jalan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara masih merupakan persoalan besar. Masalah lainnya, hukum yang kita
pandang nasional tidak melambangkan sebagai satu kesatuan dilihat dari segi
sejarah, asal usul dan filsafatnya.[49]
Sewaktu Indonesia memprokllamasikan kemerdekaannya,
satu-satunya hukum nasional adalah UUD 1945 yang disusun dalam masa relatif
pendek, dan karena itu memiliki berbagai kelemahan, sehingga pada era
reformasi, konstitusi Indonesia telah tiga kali mengalami amademen dan untuk
masa datang akan disempurnaakan secara terus menerus. Sementara itu, sumber
hukum yang lebih rendah berupa
undang-undang, peraturan-peraturan, sistem pemerintahan, sistem peradilan dan
lain-lain masih mewarisi apa yang ditinggalkan oleh kaum kolonial. Pemerintah
kolonial juga mewariskan apa yang mereka pandang sebagai hukum adat, di samping
pengakuannya terhadap hukum Islam sebagai perdata khusus yang berlaku bagi umat
Islam. Dengan demikian, para ahli hukum pada umumnya mengatakan bahwa hukum
nasional Indonesia pada waktu ini bersumber atau mencerminkan tiga sistem
hukum: Barat, Adat, dan Islam.[50]
Dari ketiga sistem hukum ini, maka hukum Islam mempunyai
peluang untuk mengisi hukum nasional karena beberapa pertimbangan. Pertama, apabila disepakati dengan adat
yang mempunyai implikasi hukum, maka hukum adat di samping klaim sebagai hukum
yang berciri Indonesia, ia lebih bersifat kesukuan (ethnicity), kecuali adat yang benar yang merupakan sumber
komplementer hukum Islam. Karena itu, hukum adat yang tidak mencerminkan
keadilan, kemanusiaan dan kebersamaan berpotensi untuk sektarianisme dan
disintegrasi bangsa, cenderung ditinggalkan oleh masyarakat seiring dengan
berkembangnya arus migrasi, akulturasi dan modernisasi.
Kedua, hukum
Barat sebagai hukum asing menggambarkan sejarah dan norma-norma bangsa Eropa
yang belum tentu sejalan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia. Selain itu,
Hukum Barat zaman kolonial dirancang sebagai bagaian dari politik kolonial
untuk mempertahankan kekusaan asing di bumi nusantara. Dengan meningkatnya rasa
kebangsaan di masa depan, maka hukum yang berasal dari Barat akan diterima
dengan sangat selektif, hanya bila itu sesuai dengan rasa keadilan dan norma-norma
bangsa Indonesia.
Ketiga, hukum
Islam mencermnkan norma-norma bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Sebelum Nusantara dipersatukan oleh sebuah Pemerintah Kolonial Belanda, hukum
Islam terlebih dahulu telah menyatukan mayoritas rakyat Indonesia. Segi lain
yang memantapkan hukum Islam adalah sifat diyani yang dikandungnya di samping sifat qadha’i karena berasal dari hukum agama
yang tidak hanya mengikat manusia sebagai makhluk sosial, tetapi lebih-lebih
lagi karena berhubungan dengan keyakinan kepada Tuhan Yang Mahatinggi bahwa
kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan keburukan akan dibalas dengan keburukan,
baik di dunia maupun di akhirat. Ini merupakan sebuah keyataan bahwa hukum
Islam telah menjadi bagian hukum positif Indonesia.
Faktor lain yang memberi peluang kepada hukum Islam sebagai
solusi adalah sanksi hukumnya yang bersifat menjerakan. Ini terutama dapat
dilihat dari sanksi kejahatan-kejahatan terhadap jiwa raga, akal fikiran,
keturunan, agama dan harta benda. Salah satu ciri hukum peidana Islam adalah
pembalasan yang setimpal atas kejahatan yang dilakukan dengan pengertian bahwa
hilang nyawa harus diganti dengan nyawa (QS. al-Maidah: 45, QS. al-Baqarah:
178) dan permusuhan dibalas dengan permusuhan setimpal (QS. al-Baqarah: 194). Para
penjahat akan berfikir seribu kali sebelum melakukan kejahatan karena kalau ia
membunuh, maka ia juga akan dibunuh melalui proses hukum. Sanksi atas pidana
berat (hudud) akan memberikan rasa
takut kepada warga untuk melakukan kejahatan dan sekaligus akan membuat
masyarakat menjadi aman. Karena itu, bila dipikirkan dengan mendalam, sanksi
berat terhadap pelanggaran berat sebenarnya memberikan kehidupan kepada
masyarakat secara umum. Al-Qur’an menyatakan bahwa bagi orang yang mempunyai
pemikiran, hukuman qishash memberikan
kehidupan (QS. al-Baqarah: 179). Dengan menghabisi serang penjahat yang
menghabisi nyawa orang lain melalui proses hukum, beribu-ribu nyawa dapat
diselamatkan dari perbuatan melanggar hukum.[51]
Pengembangan hukum Islam di Indonesia yang paling dominan
adalah pengembangan yang dilakukan melalui pembentukan perundang-undangan dan
putusan peradilan agama sebagai hasil ijtihad para hakim. Di samping itu,
kajian yang dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi di Indonesia juga berperan
dalam pengembangan hukum Islam, terutama melalui berbagai kajian ilmiah.[52]
Oleh karena itu, prinsip yang wajar yang harus dipegang dalam pengembangan
hukum Islam adalah adagium: “al-Muhaafadhatu
‘alal qadiimish shaalih wal akhdu bil jadiidil ashlah”. “Memelihara keadaan yang lama yang maslahat dan
mengambil yang baru yang lebih maslahat.”[53]
BAB III
PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
KEWARISAN DI INDONESIA
A. Asas-Asas Hukum Kewarisan
Pertama, asas ijbari (compulsory),
bahwa peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya
berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada
kehendak pewaris atau ahli waris. Oleh karena itu, calon pewaris tidak perlu
merencanakan penggunaan hartanya setelah ia meninggal dunia, karena dengan
kematiannya secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan
perolehan yang sudah dipastikan.
Kedua, asas bilateral, bahwa seseorang menerima
hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari pihak keturunan laki-laki dan
dari pihak keturunan perempuan. Seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari
ayah-ibunya, demikian pula halnya dengan seorang perempuan.
Ketiga, asas individual, bahwa harta warisan
dapat dibagikan kepada ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan. Dalam
pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang
kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang menerimanya menurut kadarnya
masing-masing. Dengan asas ini tidak mengenal kewarisan kolektif seperti yang
berlaku pada masyarakat tertentu.
Keempat, asas keadilan berimbang, bahwa harus
senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang
diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Harta
peninggalan yang diterima ahli waris hakekatnya merupakan pelanjutan tanggung jawab
pewaris terhadap keluarganya. Oleh karena itu, perbedaan bagian yang diterima
oleh masing-masing ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab
masing-masing terhadap keluarga.
Kelima, asas akibat kematian, bahwa kewarisan
ada kalau ada yang meninggal dunia. Peralihan harta seseorang kepada orang lain
sebagai ahli warisnya dengan alasan kewarisan baru terjadi setelah orang yang
mempunyai harta meninggal dunia. Segala bentuk peralihan harta seseorang yang
masih hidup kepada orang lain, baik secara langsung maupun akan dilaksanakan
kemudian tidak termasuk katagori kewarisan.[54]
B. Kerangka Teologis Hukum Kewarisan.
Hukum waris merupakan salah satu aspek substantif hukum
Islam yang tidak terpisahkan dari unsur sakral. Karenanya, tidak mengherankan
jika Nabi sendiri memberi nilai yang sangat tinggi terhadap aturan waris.
Penguasaan terhadap ilmu hukum waris sama dengan menguasai setengah dari
ilmu-ilmu yang berguna di dunia ini, yang karenanya setiap orang Islam
dianjurkan untuk mempelajarinya. Dapatlah dipahami jika para ahli hukum Islam
sejak masa klasik senantiasa memberikan perhatian yang besar dalam buku-buku
fiqh mereka mengenai sistem hukum waris ini. Terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang
mengatur hukum waris pada hakikatnya merefleksikan nilai-nilai ilahiyah dalam
praktik warisan Islam.
Namun demikian, dalam hal ini juga harus disadari bahwa
banyak dari ayat-ayat tersebut tidak sepenuhnya menghapus tradisi hukum waris
masyarakat Arab pra-Islam yang telah lama berlaku sebelum masa Nabi Muhammad.
Fungsi ayat-ayat al-Qur’an yang demikian lebih sebagai struktur yang melengkapi
adat masyarkat Arab yang berlaku saat itu, utamanya untuk mereformasi praktik
kewarisan dalam masyarakat dengan pertolongan wahyu, dan bukannya mengubah
keseluruhan institusi hukum waris tersebut. Karenanya, melalui reformasi ini
elemen-elemen sakral dan profan dapat disatukan secara kreatif sehingga kedua
unsur dapat eksis bersama, meskipun dalam beberapa segi tetap berbeda.[55]
Hukum waris Islam dapat dikarakteristikan sebagai sistem “warisan nir-wasiat” (intestate disposition) dalam arti harta
warisan tersebut tidak dapat dibagikan sesuai dengan kemauan pewarisnya
melainkan si pewaris harus mengikuti sepenuhnya aturan-aturan Tuhan mengenai
pembagian tersebut. Ini tentu saja bertentangan dengan tradisi saat itu, di
mana dalam proses pembagian harta warisan, si pewaris bebas sepenuhnya untuk
menentukan kepada siapa dan berapa banyak harta yang akan diwariskan (testamentary disposition). Nabi
Muhammad, saat berhadapan dengan institusi adat semacam itu, tampaknya lebih
cenderung untuk menggunakan pendekatan gradual. Karena itu, Nabi tidak
berkeinginan untuk mempertahankan tradisi warisan semacam itu tetapi beliau
kemudian memberikan jalan keluarnya dengan cara mempertahankannya lewat institusi
wasiat. Hal ini terefleksi dalam firman Tuhan, di mana kaum Muslimin
diperintahkan untuk membuat wasiat kepada kedua orang tua dan anggota keluarga
yang lain, namun kemudian pada kesempatan yang lain Tuhan juga menentukan
secara terperinci para penerima warisan (ahli waris) di mana kedua orang tua
dan beberapa anggota keluarga juga disebutkan di dalamnya.[56]
C. Pembentukan Undang-Undang Kewarisan di
Indonesia.
Sistem hukum Idonesia mengikuti tradisi hukum yang
diwariskan oleh Belanda, dan karena Belanda pernah dijajah oleh Perancis
mewarisi tradisi civil law, terutama
kode Napoleon. Ciri utama civil law
adalah peraturan perundang-undangan yang kodifikasi. Sementara itu, hukum Islam
walaupun mempunyai sumber-sumber tertulis pada al-Qur’an, as-Sunnah dan pendapat
para fuqaha, pada umumnya tidak terkodifikasi dalam bentuk buku
perundang-undangan yang mudah dirujuki. Para hakim sejak zaman Nabi Muhammad
tidaklah memutus perkara yang dihadapkan kepada mereka berdasarkan pasal-pasal
yang jelas dari kitab undang-undang yang sudah baku, tetapi berdasarkan hukum
umum yang disarikan dari tiga sumber tertulis di atas.
Karena itu, dari sudut ini, sistem peradilan Islam lebih
mirip dengan tradisi common law
(hukum umum) yang berlaku di Inggris dan negara-negara commonwealth. Bahkan di zaman Raffles, peradilan Islam di Jawa,
yaitu peradilan surambi yang
mengambil tempat di serambi masjid agung, pernah menggunakan sistem jury, tetapi setelah pemerintahan
kembali ke tangan Belanda sistem jury
yang menjadi ciri pengadilan common law
ditiadakan.[57]
Selanjutnya dalam alam Indonesia merdeka, kepastian hukum
terus ditentukan oleh peraturan perundangan-undangan. Sejak diundangkannya UU
No.14 Tahun 1970 pembinaan peradilan secara organisatoris dan finansial sudah
mendapat pijakan yang kuat, dalam hal ini untuk peradilan agama baru dapat
terlaksana sejak tahun 1983 (SKB Menag dengan Ketua MA). Sedangkan untuk kepastian
hukum dalam bidang kewarisan dalam bentuk undang-undang belum ada yang
terkodifikasi secara universal, termasuk undang-undang kewarisan Islam.
Hukum Islam ada yang bersifat diyani (misalnya thaharah,
bersuci) dan ada yang bersifat qadhai
(berhubungan dengan penegakkan sistem peradilan), dimana dalam penegakannya
banyak tergantung kepada kekuasaan negara, administrasi pemerintahan dan aparat
penegak hukum. Salah satu dalam katagori ini adalah penegakan hukum kewarisan
Islam.
Idealnya undang-undang kewarisan dapat terkodifikasi secara
universal tapi sangat sulit terwujud dalam konteks negara Republik Indonesia,
kecuali undang-undang tersebut beralih status menjadi undang-undang semi sektoral. Hal ini dapat dibentuk dan diwujudkan
dengan berkaca pada pembuatan undang-undang perkawinan.
Mengapa semi sektoral.
Dengan mempertimbangkan asas-asas kewarisan Islam tersebut di atas, ada
nilai-nilai universal yang ada pada setiap ajaran agama yang dianut oleh
warganegara Indonesia, namun terhadap nilai-nilai parsial yang tidak dapat
dikompromikan maka dapat ditundukkan kepada ajaran agama masing-masing, apabila
dalam ajaran agama tersebut mempunyai pranata sosial yang berkaitan hukum
kewarisan.
Kompetensi absolut peradilan agama dalam bidang kewarisan
belum terkodifikasi secara universal dalam sebuah undang-undang, dan dalam
penegakannya digunakan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan kekuatan legalitas formal
berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, dan merupakan hukum terapan
di lingkungan peradilan agama, dengan berpijak pada adagium kaidah ushuliyah: “ma
la yudraku kulluh la yutraku kulluh”. Undang-undang Kewarisan belum ada,
maka KHI jangan ditinggalkan.
Bagaimana mempersiapkan terbentuknya undang-undang
kewarisan. Hukum Islam sebagai hukum yang hidup di Indonesia didukung oleh
pemahaman ahli hukum, leteratur hukum, serta pendidikan hukum formal dan
nonformal. Semuanya saling berhubungan dengan dunia Islam yang lain. Sekalipun
umat Islam Indonesia sering disebut bermazhab Syafi’i, pemikiran hukum Islam
yang berkembang di tengah masyarakat juga mencakup mazhab-mazhab yang lain.[58]
Pengembangan hukum Islam, termasuk di dalamnya hukum
kewarisan, dapat ditempuh melalui empat program, baik secara parsial maupun
secara masip, yaitu: Pertama, melalui
proyeksi penyusunan ensiklopedi hukum. Pertama kali muncul gagasan untuk
menyusun ensiklopedi fiqh adalah dalam Konferensi Fiqh Islam Internsional yang
dilaksanakan di Paris tahun 1951. Hasil dari konferensi ini dijadikan momentum
dalam menjadikan fiqh sebagai ilmu hukum Islam sesuai dengan gaya bahasa modern
dan kamus yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Kedua, Melalui proyeksi pembentukan undang-undang. Pembaruan dan
pengembangan hukum Islam melalui proyek ini dimulai pada abad ke-16 ketika
Sultan Salaim I dari Dinasti Ustmaniyah berkuasa mengeluarkan faramana (titah raja) tentang keharusan
mufti dan hakim dalam memutus perkara wajib berpegang pada mazhab Hanafi.
Ketiga, melalui proyeksi fatwa. Pengembangan hukum Islam melalui
proyek ini mencakup lapangan yang sangat luas dan kompleks. Oleh karena itu,
fatwa-fatwa hukum Islam dalam berbagai bidang telah dilakukan oleh lembaga
resmi yang dibentuk oleh lembaga internasional dan juga oleh lembaga resmi yang
dibentuk oleh seluruh negara Islam. Selain itu, ada juga fatwa-fatwa hukum yang dikeluarkan melalui media massa,
elektronik, dan majalah-majalah. Ada juga fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleeh
lembaga organisasi Islam, lembaga riset perguruan tinggi dan organisasi lokal.
Keempat, melaui kajian ilmiah dan penelitian. Pada akhir abad ke-20
para ulama sangat giat mendirikan kelompok ilmiah dan pusat kajian Islam dengan
tujuan menyebarkan pengajaran syariat ke seluruh dunia. Salah satu kelompok
kajian hukum Islam yang terkenal adalah Kajian Islam Universitas Al-Azhar Cairo
yang didirikan pada tahun 1961. Anggotanya terdiri dari para ulama besar yang
memiliki wawasan keilmuan yang luas dalam bidang hukum dan perundang-undangan
Islam. Mereka mewakili para ulama dari seluruh negara Islam.
Kelompok ini melakukan sidang tahunan dengan mewajibkan
anggotanya mengajukan kajian hukum Islam kontemporer, terutama dalam bidang
mu’amalah dan hukum-hukum keluarga. Hasil dari kajian kelompok ini telah
disebarkan ke negara Islam di seluruh dunia.
BAB IV
SUMBANGAN PARA FUKAHA DALAM
PENGEMBANGAN HUKUM EKONOMI DAN PEMERINTAHAN DI INDONESIA
A. Sumbangan para Fukaha dalam Pengembangan
Hukum Ekonomi.
1.
Para founding father
(pendiri republik ini) yang juga berperan sebagai ulama (fukaha) seperti KH.
Hasyim Asy’ari dan H. Agus Salim yang telah merumuskan UUD 1945, dimana melalui
Pasal 29 menjadi landasan munculnya peraturan perundangan-undangan dalam bidang
ekonomi yang Islami.
2.
Para ulama memberikan masukan dalam perumusan UU No.5
Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria, dimana di dalamnya ada rumusan
tentang wakaf tanah hak milik. Rumusan muatan hukum wakaf lebih kokoh dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang wakaf.
3.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syari’ah memperteguh sumbangsih para fukaha dalam pengembangan hukum
ekonomi yang bernafaskan ajaran Islam. Undang-undang ini didahului dengan
lahirnya undang-undang tentang Bank Indonesia yang merumuskan adanya bank
dengan konsep bagi hasil bukan dengan konsep bunga (ribawi).
4.
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Zakat, merupakan hasil kerja keras para fukaha dalam
menata ekonomi umat demi terwujudnya kesejahteraan umat.
5.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Pertama atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang memperluas kewenangan
absolut peradilan agama berupa kewenangan mengadili sengketa ekonomi syari’ah.
Tentu rumusan dalam undang-undang ini tidak luput dari campur tangan para
fukaha.
6.
Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang di dalamnya dirumuskan tentang waris, wakaf,
infak, dan shadaqah merupakan ijtihad para fukaha Indonesia yang khas.
7. Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) sebagai hukum terapan yang diperkuat dengan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 yang tentunya tidak pernah lepas
dari tangan dingin para fukaha.
B. Sumbangan para Fukaha dalam Pengembangan
Hukum Pemerintahan.
1.
Para founding
father (pendiri republik ini) yang juga berperan sebagai ulama (fukaha)
seperti KH. Hasyim Asy’ari dan H. Agus Salim yang telah merumuskan UUD 1945,
dimana melalui Pasal 24 menjadi landasan munculnya peraturan
perundangan-undangan dalam bidang pemerintahan yang Islami, misalnya munculnya
lingungan peradilalan agama. Hal ini diperkuat dengan undang-undang tentang
pokok-pokok kekuasaan kehakiman dan undang-undang tentang Mahkamah Agung dimana
peradilan agama ada di dalamnya.
2.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi
khusus Nanggro Aceh Darusslam yang memberikan perlakuan khusus berlakunya
Syari’at Islam walau terbatas yang tidak luput dari smbang saran para fukaha.
Undang-undang ini merupakan perluasan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Otonomi Daerah.
3.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang memberikan
landasan Islami dalam menyelenggarakan pemerintahan melalui jalur judikatif
yang tentunya muatan dalam undang-undang ini diijtihadi oleh para fukaha.
4.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dua
kali melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2009 memperkokoh pelenggaraan pemerintahan melalui jalur judikatif yang
tentunya materi muatannya tidak lepas dari kawalan ijtihad para fukaha.
5.
Penyelenggaraan ibadah haji pun menjadi bukti adanya
campur tangan ijtihadi para fukaha dimana pengaturannya sudah dalam bentuk
undang-undang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Gani Abdullah, Pengantar
Kompilasi Hukum Islam dan Tata Hukum Indonesia, Gema Insani Press,
Jakarta, 1994
Abdul Manan, Reformasi
Hukum Islam di Indonesia Ditinjau dari Aspek Metodologis, Legalisasi, dan
Yurisprudensi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah
Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, Kencana Prenada Media,
Jakarta, 2006
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam
Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Reffleksi Sejarah,
Mizan Pustaka, Bandung, 2009
Departemen Agama RI., Mushaf
Al-Qur’an dan Terjemah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2009, hlm. 275.
---------------, Syaamil
Al-Qur’an (Terjemah Per-kata Type Hijaz), Cipta Media, Bandung, 2007.
Hazairin, Demokrasi Pancasila, Rineka Cipta, Jakarta, 1990
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, I’lamul
Muwaqi’in (Panduan Hukum Islam), Pustaka Azzam, Jakarta, 2000
Mohammad Daud Ali, Hukum
Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2009
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir
Ayat-Ayat Hukum Dalam Al-Qur’an, Jilid I, Al-Ma’arif, Bandung, 1994
Muhammad Yusuf Qardhawi, Al-Halal
Wal Haram Fil Islam (Halal Dan Haram
Dalam Islam), Bina Ilmu, Surabaya, 1980
M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah, Volume 1, Lentera Hati, Ciputat, 2009
---------------, Tafsir
Al-Mishbah, Volume 2, Lentera Hati, Ciputat, 2009
---------------, Tafsir
Al-Mishbah, Volume 3, Lentera Hati, Ciputat, 2009
---------------, Tafsir Al-Mishbah, Volume 10,
Lentera Hati, Ciputat, 2009
Muhammad Tahir Azhary, Negara
Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam,
Kencana Prenada Media, Jakarta, 2003
Muhammad Yusuf Qardhawi, Al-Halal
Wal Haram Fil Islam (Halal Dan Haram Dalam Islam), Bina Ilmu, Surabaya,
1980
Nourrouzzaman as-Shiddieqy,
Fiqih
Indonesia, Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1997
Ratno Lukito, Hukum
Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum
Indonesia, Pustaka Alvabet, Ciputat, 2008
Rifyal Ka’bah, Penegakan
Syari’at Islam di Indonesia, Khairul Bayan, Jakarta, 2004
0 komentar:
Posting Komentar