BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Sebagaimana
diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah
kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah Provinsi dan Daerah
Provinsi dibagi lagi atas daerah Kabupaten dan Kota, yang masing-masing
sebagai daerah otonomi. Sebagai daerah otonomi, Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota
memiliki pemerintahan daerah yang melaksanakan, fungsi-fungsi pemerintahan
daerah, yakni Pemerintahan Daerah dan DPRD. Kepala Daerah adalah Kepala
Pemerintahan Daerah baik didaerah Provinsi, maupun Kabupaten/Kota yang
merupakan lembaga eksekutif di daerah, sedangkan DPRD, merupakan lembaga
legislatif di daerah baik di Provinsi, maupun Kabupaten/Kota. Kedua-duanya
dinyatakan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan di daerah
(Pasal 40 UU No. 32/2004).
Dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah diterapkan prinsip demokrasi. Sesuai dengan
pasal 18 ayat 4 UUD 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis. Dalam UU
NO.32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, diatur mengenai pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yang
diajukan oleh partai politik atau gabungan parpol. Sedangkan didalam perubahan
UU No.32 Tahun 2004, yakni UU No.12 Tahun 2008, Pasal 59 ayat 1b, calon kepala
daerah dapat juga diajukan dari calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah
orang. Secara ideal tujuan dari dilakukannya pilkada adalah untuk mempercepat
konsolidasi demokrasi di Republik ini. Selain itu juga untuk mempercepat terjadinya
good governance karena rakyat bisa terlibat langsung dalam proses pembuatan
kebijakan. Hal ini merupakan salah satu bukti dari telah berjalannya program
desentralisasi. Daerah telah memiliki otonomi untuk mengatur dirinya
sendiri , bahkan otonomi ini telah sampai pada taraf otonomi individu .
Selain semangat
tersebut, sejumlah argumentasi dan asumsi yang memperkuat pentingnya pilkada
adalah: Pertama, dengan Pilkada dimungkinkan untuk mendapatkan kepala daerah
yang memiliki kualitas dan akuntabilitas. Kedua, Pilkada perlu dilakukan untuk
menciptakan stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan di tingkat lokal.
Ketiga, dengan Pilkada terbuka kemungkinan untuk meningkatkan kualitas
kepemimpinan nasional karena makin terbuka peluang bagi munculnya
pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah dan/atau daerah.
Masalah
pemenangan Pilkada mengandung latar belakang multidimensional. Ada
yang bermotif harga diri pribadi (adu popularitas); Ada pula yang
bermotif mengejar kekuasaan dan kehormatan; Terkait juga kehormatan
Parpol pengusung; Harga diri Ketua Partai Daerah yang sering memaksakan diri
untuk maju. Di samping tentu saja ada yang mempunyai niat luhur untuk memajukan
daerah, sebagai putra daerah. Dalam kerangka motif kekuasaan bisa difahami,
karena “politics is the struggle over
allocation of values in society”.(Politik merupakan perjuangan untuk
memperoleh alokasi kekuasan di dalam masyarakat). Pemenangan perjuangan
politik seperti pemilu legislative atau pilkada eksekutif sangat penting untuk
mendominasi fungsi-fungsi legislasi, pengawasan budget dan kebijakan
dalam proses pemerintahan (the process of
government) . Dalam kerangka ini cara-cara “lobbying, pressure, threat, batgaining and compromise”
seringkali terkandung di dalamnya. Namun dalam Undang-undang tentang Partai
Poltik UU No. 2/2008, yang telah dirubah dengan UU No.2 Tahun 2011,
selalu dimunculkan persoalan budaya dan etika politik. Masalah lainnya sistem
perekrutan calon KDH (Bupati, Wali kota, Gubernur) bersifat transaksional, dan
hanya orang-orang yang mempunyai modal financial besar, serta popularitas
tinggi, yang dilirik oleh partai politik, serta beban biaya yang sangat besar
untuk memenangkan pilkada/pemilukada, akibatnya tidak dapat dielakan maraknya
korupsi di daerah, untuk mengembalikan modal politik sang calon, serta banyak
Perda-Perda yang bermasalah,
dan
memberatkan masyarakat dan iklim investasi.
I.2. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana proses pencalonan yang bermasalah ?
2.
Bagaimana permasalahan pada masa kampanye ?
3.
Bagaimana penyelenggara pemilu yang tidak adil dan netral ?
4.
Bagaimana putusan MA/MK yang
menimbulkan kontroversi di masyarakat ?
5.
Bagaimana putusan-putusan MK
yang membatalkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun
2008 terkait dengan Pilkada ?
6.
Bagaimana Posisi kepala daerah/wakil
kepala daerah incumbent dalam Pilkada ?
7.
Bagaimana sistem pemilihan
gubernur ?
8.
Bagaimana sistem pemilihan
kepala daerah ?
I.3. TUJUAN DAN MANFAAT
1. Untuk mengetahui bagaimana proses
pencalonan yang bermasalah.
2.
Untuk mengetahui bagaimana permasalahan pada masa kampanye.
3.
Untuk mengetahui bagaimana penyelenggara pemilu yang tidak adil dan netral.
4.
Untuk mengetahui bagaimana putusan MA/MK yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.
5.
Untuk mengetahui bagaimana putusan-putusan MK yang membatalkan UU No. 32 Tahun
2004 dan UU No. 12 Tahun 2008 terkait dengan Pilkada.
6.
Untuk mengetahui bagaimana posisi
kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam Pilkada.
7.
Untuk mengetahui bagaimana sistem pemilihan gubernur.
8. Untuk mengetahui bagaimana sistem pemilihan kepala daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 PROSES PENCALONAN YANG
BERMASALAH
Permasalahan
dalam pencalonan yang selama ini terjadi disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu
konflik internal partai politik/gabungan partai politik dan keberpihakan
para anggota KPUD dalam menentukan pasangan calon yang akan mengikuti Pilkada.
Secara
yuridis pengaturan mengenai pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
diatur dalam pasal 59 sampai dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Dari beberapa pasal tersebut memberikan kewenangan yang sangat besar kepada
KPUD dalam menerima pendaftaran, meneliti keabsahan persyaratan pencalonan dan
menetapkan pasangan calon, yang walaupun ada ruang bagi partai politik atau
pasangan calon untuk memperbaiki kekurangan dalam persyaratan adminitrasi,
namun dalam praktek beberapa kali terjadi pada saat penetapan pasangan calon
yang dirugikan.
Pasal
59 ayat (5) huruf a
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
menyatakan bahwa partai politik atau gabungan partai
politik pada saat mendaftarkan pasangan calon,
wajib menyerahkan surat pencalonan yang
ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau pimpinan partai
politik yang bergabung. Dalam tahapan ini kadang terjadi permasalahan di internal
partai politik, ketika calon yang diajukan oleh pimpinan partai politik
setempat berbeda dengan calon yangdirekomendasikan oleh DPP
partai politik.
Dalam
permasalahan ini karena pimpinan partai politik setempat tidak
melaksanakan rekomendasi DPP partai politik, kemudian diberhentikan sebagai
pimpinan partai politik di wilayahnya dan menunjuk pelaksana tugas pimpinan
partai politik sesuai wilayahnya yang kemudian juga meneruskan rekomendasi
calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah namun ditolak KPUD dengan
alasan partai politik tersebut melalui pimpinan wilayahnya yang lama telah
mengajukan pasangan calon.
Pasal 61 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa penetapan
dan pengumuman pasangan calon oleh KPUD bersifat final dan
mengikat.
Dalam hal KPUD
tidak netral, ketentuan ini kadang disalahgunakan untuk menggugurkan
pasangan calon tertentu tanpa
dapat melakukan pembelaan, karena tidak ada ruang bagi pasangan
calon yang dirugikan untuk melakukan pengujian atas tindakan KPUD yang tidak
netral melalui pengadilan.
Untuk mengatasi
kekurangan ini, ke depan perlu pasangan calon perlu diberi ruang untuk
mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses pencalonan dirugikan
KPUD.
II.2 PERMASALAHAN PADA MASA
KAMPANYE
Pengaturan
mengenai kampanye secara yuridis diatur dalam pasal 75 sampai dengan pasal 85
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu meliputi pengaturan mengenai teknis
kampanye, waktu pelaksanaan, pelaksana kampanye, jadwal kampanye, bentuk dan
media kampanye, dan larangan-larangan selama pelaksanaan kampanye. Kandidat dan
tim kampanyenya cenderung mencari celah pelanggaran yang menguntungkan dirinya.
Pasal
75 ayat (2) berbunyi dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama 14 (empat belas)
hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara", dengan
terbatasnya waktu untuk kampanye maka sering terjadi curi start kampanye dan
kampanye diluar waktu yang telah ditetapkan.
Kampanye
yang diharapkan dapat mendorong dan memperkuat pengenalan pemilih terhadap
calon kepala daerah agar pemilih mendapatkan informasi yang lengkap tentang
semua calon, menjadi tidak tercapai. Untuk itu ke depan perlu pengaturan masa
kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas kampanye agar dapat mendidik
pemilih untuk menilai para calon dari segi program.
II.3 PENYELENGGARA PEMILU YANG
TIDAK ADIL DAN NETRAL
a.
KPU dan KPU Provinsi
Keberpihakan KPU atau
KPU Provinsi kepada salah satu pasangan calon dilakukan kepada KPU Provinsi
atau KPU Kabupaten dengan memberhentikan atau membekukan para anggota KPU
Provinsi atau KPU Kabupaten.
Padahal
pengambil alihan
baru dapat dilakukan jika KPU dibawahnya
tidak dapat melaksanakan
tahapan Pilkada.
b.
KPU Provinsi atau
Kabupaten/Kota
Keberpihakan KPU
Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada salah satu pasangan calon dilakukan
pada tahapan proses pencalonan, penghitungan dan rekapitulasi hasil
penghitungan suara.
c.
Panwaslu.
Keberpihakan Panwaslu kepada salah satu pasangan calon dilakukan khususnya pada tahapan setelah hasil penghitungan suara, dengan menjadi promoter bagi pasangan yang kalah.
Keberpihakan Panwaslu kepada salah satu pasangan calon dilakukan khususnya pada tahapan setelah hasil penghitungan suara, dengan menjadi promoter bagi pasangan yang kalah.
Akibatnya
pelaksanaan Pilkada menjadi ruwet, terjadi ketegangan di tingkat grass root dan bahkan kadang sampai
menimbulkan kerusuhan.
Hal
terjadi karena kurangnya pemahaman para anggota KPU, KPUD, dan Panwaslu dalam
melaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta sistem seleksi para
anggota KPU, KPUD, Panwaslu belum mengetengahkan adanya kebutuhan anggota KPU,
KPUD, Panwaslu yang obyektif, netral, mempunyai integritas tinggi, tidak mudah
mengeluarkan statement, dan memiliki pemahaman yang baik terhadap ketentuan
peraturan perundang-undang Pemilu.
II.4 PUTUSAN MA/MK YANG MENIMBULKAN
KONTROVERSI DI MASYARAKAT
Sengketa
Pilkada diatur dalam pasal pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang
pada intinya menyatakan bahwa sengketa hasil penghitungan suara dapat diajukan
oleh pasangan calon kepada pengadilan tinggi untuk pilkda bupati/walikota dan
kepada MA untuk pilkda Gubernur. Putusan yang dikeluarkan pengadilan
tinggi/Mahkamah Agung bersifat final. Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 kewenangan penyelesaian sengketa pilkada beralih dari Mahkamah
Agung ke Mahkamah Konstitusi.
Baik
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahuri 2004 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 kewenangan pengadilan untuk mengadili sengketa Pilkada hanya terbatas pada
sengketa hasil yang mempengaruhi pemenang Pilkada, permasalahannya adalah
bagaimana apabila terjadi sengketa di luar hasil penghitungan suara, selain itu
beberapa putusan baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi menimbulkan
kontroversi di masyarakat, akibatnya penyelesaian Pilkada berlarut-larut.
Selama
ini tidak hanya sengketa hasil penghitungan suara yang terjadi dalam Pilkada,
seperti permasalahan DPT, permasalahan pencalonan baik terjadinya permasalahan
di internal partai politik maupun pemenuhan persyaratan Pilkada.
Meskipun
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
sudah membatasi kewenangan pengadilan hanya sebatas sengketa hasil penghitungan
suara, namun pengadilan sering menabrak aturan tersebut.
II.5 PUTUSAN-PUTUSAN MK YANG
MEMBATALKAN UU
NO. 32 TAHUN 2004 DAN UU NO. 12 TAHUN 2008 TERKAIT DENGAN PILKADA
a.
Putusan MK
No.072-073/PUU-ii/2005 menyatakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004:
Dalam pertlmbangan
hukumnya, mahkamah berpendapat bahwa Pilkada langsung tidak termasuk dalam
kategori pemilu sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 namun
Pilkada langsung adalah pemilu secara materiil untuk mengimplementasikan pasal
18 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945 karena itu dalam penyelenggaraannya dapat
berbeda dengan pemilu yang diatur pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945, misalnya
dalam hal regulator, penyelenggara dan badan yang menyelesaikan perselisihan
hasil pilkada meskipun tetap didasarkan asas pemilu yang berlaku. Pembentuk
Undang-Undang No 32 Tahun 2004 telah menetapkan KPUD sebagai penyelenggara
Pilkada yang merupakan wewenang pembentuk undang-undang yang terpenting adalah
harus dijamin independensinya, terganggunya independensi penyelenggara
mengakibatkan bertentangan dengan kepastian, perlakuan yang sama dan keadilan
sesuai pasal 28D UUD Negara RI Tahun 1945. Mahkamah juga berpendapat bahwa
pembentuk undang-undang dapat dan memang sebaiknya pada masa yang akan datang
menetapkan KPU sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai
penyelenggara pilkada karena memang dibentuk untuk itu dan telah membuktikan
independensinya dalam pemilu 2004.
b.
Putusan MK Nomor
No.22/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa pasal 58 huruf o Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, namun
dalam salah amar putusannya juga menyatakan bahwa masa jabatan yang dihitung
satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani selama setengah atau lebih
masa jabatan, dengan kata lain dihitung satu kali masa jabatan adalah apabila
seorang kepala daerah telah menduduki jabatannya selama 2,5 tahun atau lebih.
Penghitungan masa
jabatan ini tidak dibatasi apakah karena pilkada langsung berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 atau pilkada tidak langsung berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, karena dalam pertimbangan hukumnya majelis
hakim berpendapat bahwa perbedaan sistem pemilihan kepala daerah antara
langsung dan tidak langsung, tidak berarti bahwa sistem Pilkada tidak langsung
tidak atau kurang demokratis apabila dibandingkan dengan sistem langsung
demikian pula sebaliknya. Dari pertimbangan majejelis ini berarti bahwa menurut
majelis, Pilkada langsung maupun pilkada tidak langsung sama-sam demokratishya sebagaimana
dimaksud pasal 18 ayat (4) UUDN 1945. Bahkan majelis berpendapat setelah
pengalaman dalam pilkada langsung berdasar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
sekarang timbul gagasan baru untuk kembali memberlakukan pilkada tidak
langsung, dan hal ini sah-sah saja.
Perubahan pengertian
norma hukum pasal 58 huruf o UU No 32 Tahun 2004 yaitu batasannya adalah 2, 5
(dua setengah) tahun, artinya apabila Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
menduduki masa jabatannya kurang dari 2,5 (dua setengah tahun, belum dianggap
satu kali masa jabatan sehingga masih bisa mencalonkan selama 2 (dua) periode
sehingga apabila selama 2 (dua) kali masa pencalonannya selalu terpilih, yang
bersangkutan bisa menduduki jabatannya maksimal 12, 4 (dua belas koma empat)
tahun beberapa hari.
II.6 POSISI KEPALA DAERAH/WAKIL KEPALA DAERAH INCUMBENT DALAM PILKADA
Dalam
rangka menjaga kesetaraan (fairness)
dan menjaga netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Pilkada, kepala
daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah harus mengundurkan diri dari jabatannya. Namun
melalui Putusan Nomor 17/PUU-VI/2008 tanggal 4 Agustus 2008, Mahkamah
Konstitusi telah membatalkan ketentuan dimaksud karena menimbulkan
ketidakpastian hukum (legal uncertainty,
rechtsonzekerheid) atas masa jabatan kepala daerah yaitu lima tahun [vide
Pasal 110 ayat (3) UU 32/2004] dan sekaligus perlakuan yang tidak sama (unequal treatment) antar-sesama pejabat
negara [vide Pasal 59 ayat (5) huruf i UU 32/2004], sehingga dapat dikatakan
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Akibatnya kepala daerah/wakil
kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah hanya cuti selama kampanye. Mengindahkan pertimbangan hukum
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan dimaksud ke depan bagi kepala daerah/wakil
kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah harus diberhentikan sementara sejak pendaftaran sampai dengan
dilantiknya kepala daerah/wakil kepala daerah yang baru.
II.7 SISTEM PEMILIHAN GUBERNUR
Presiden
RI ketiga B.J. Habibie mencatat bahwa tahun 2004 merupakan tonggak demokrasi
yang penting di Indonesia, karena pada tahun ini terjadi sinergi antara
kemerdekaan dan kebebasan, di mana kedaulatn sepenuhnya dikembalikan kepada
rakyat. Presiden/Wapres dan Pilkada dipilih secara langsung oleh rakyat.
Seiring
dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah sangat terbatas dan
menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah yang besar, maka
efektifitas system pemilihan gubernur secara langsung perlu dilakukan
peninjauan kembali sebagai berikut:
a.
Tinjauan yuridis
Berdasar:
1)
Pasal 1 ayat (2) UUD
Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "kedaulatan ada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang",
2)
Pasal 18 ayat (4) UUD
Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis",
3)
Pasal 28D ayat (3) UUD
Negara Rl Th 1945 menyatakanbahwa, "setiap warga negera berhak memperoleh
kesempatan yg sama dalam pemerintahan",
Bahwa tidak
ada perintah pemilihan gubernur dipilih secara
langsung, sehingga pemilihan gubernur dilakukan melalui
system perwakilan tidak
bertentangan dengan konstitusi.
bertentangan dengan konstitusi.
b.
Tinjauan filosofis
1)
Dari sisi ruang partisipasi
rakyat utk memilih, pemilihan Gubernur melalui sistem perwakilan memiliki
derajat ruang partisipasi rakyat untuk memilih lebih rendah dibanding dengan
system pemilihan langsung. Sedangkan ruang partisipasi untuk dipilih sama, jika
persyaratan calon gubernur sama.
2)
Dari sisi ruang
partisipasi rakyat utk dipilih, baik sistem pemilihan secara langsung maupun
melalui perwakilan, akan memiliki nilai sama jika persyaratan bagi kedua sstem
tersebut sama.
3)
Dari sisi terbukanya
partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan di daerah (provinsi) kurang
dapat dijadikan dipertimbangan, karena Gubernur tidak lagi operasional
berhubungan langsung dengan masyarakat. Kalaupun ada sebatas kebijakan yang
terkait dengan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
4)
Dari sisi efektifitas
kebijakan pusat di daerah dan harmonisasi kepentingan pusat dan daerah,
pemilihan Gubernur melalui perwakilan dimana selain DPRD, Pemerintah juga
mempunyai peran dalam menentukan seorang Gubernur akan memiliki nilai yang
lebih baik, karena di satu sisi gubernur harus menjamin terlaksananya kebijakan
pemerintah pusat di daerah, di sisi lain Gubernur juga harus memperhatikan
kepentingan masyarakat di daerah yang direpresentasikan oleh DPRD.
5)
Dari sisi terjaminnya
pelayanan publik, dimana Gubernur harus dapat mejamin dilaksanakannya standar
pelayanan minimal bagi pemerintah kabupaten/kota, maka posisi Gubernur yang
diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai wibawa bagi pemerintah
kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih langsung oleh rakyat yang
menyiratkan adanya kesejajaran.
6)
Dari sisi kesesuaian
dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur dalam memberikan
pelayanan langsung kepada masyarakat sudah sangat minim, tinggal yang terkait
dengan urusan lintas kabupaten/kota maka relevansi penentuan gubernur melalui
pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi dibandingkan biaya yang harus
dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.
c.
Tinjauan Politis
1)
Perkuatan sistem NKRI.Sebagaimana
yang diatur dalam UUD Negara
Rl Tahun 1945 bahwa
Indonesia menganut bentuk Negara Kesatuan. Sistem ini bertujuan untuk
menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara, sehingga dengan jumlah
daerah otonom yang banyak dan luasnya wilayah NKRI, maka untuk mengatasi
rentang kendali pemerintahan diperlukan gubernur yang mempunyai ikatan yang
kuat dengan pemerintah. Ikatan yang kuat antara pemerintah dengan gubernur akan
dapat terwujud jika pemerintah mempunyai peran menentukan terpilihnya gubernur.
Untuk itu bagi tegaknya NKRI pemilihan gubernur melalui perwakilan dan juga
adanya peran pemerintah dalam menentukan terpilihnya gubernur akan memililki
nilai yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.
2)
Penataan posisi gubernur
dan sumber legitimasi.
Pemilihan gubernur
secara langsung oleh rakyat sama dengan pemilihan bupati/walikota telah
memposisikan gubernur setara dengan bupati/ walikota sebagai kepala daerah.
Pandangan ini juga tercermin pada perangkat daerah yang besar yang membantu
gubernur setara atau bahkan lebih besar dengan perangkat daerah yang membantu
bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur sebagai kepala daerah sudah sangat
minim. Seiring dengan minimnya kewenangan gubernur sebagai kepala daerah dan
tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka sumber legitimasi gubernur akan lebih
sesuai jika tidak langsung dari rakyat.
d.
Tinjauan Sosiologis
1)
Menumbuhkan budaya
persaingan yang sehat.
Kondisi masyarakat
dengan kultur masyarakat yang masih mementingkan kepentingan sesaat dari pada
kepentingan jangka panjang, dan belum mendasarkan pilihannya berdasarkan
program, pelaksanaan Pilkada secara langsung dan melalui perwakilan akan banyak
menemui kendala dalam menumbuhkan budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi
dengan melalui pengaturan tertentu pemilihan melalui perwakilan dapat
diupayakan para calon bersaing secara sehat.
2)
Menumbuhkan
kesadaran akan kebutuhan
pemimpin yang mampu membawa kemajuan daerah.
Dalam kondisi
masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas visi, misi, dan program,
pelaksanaan Pilkada secara langsung masih sulit diharapkan untuk menumbuhkan
kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan daerah, dibanding
dengan melalui perwakilan. Karena para wakil rakyat setidaknya akan mendapat
beban moral untuk memberi pertanggungjawaban atas pilihannya kepada rakyat yang
memilihnya.
e.
Tinjauan efektifitas
dan efisiensi
Dari segi kemudahan
untuk dilaksanakan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan pemilihan kepala
daerah melalui perwakilan jauh lebih baik dibanding dengan melalui Pilkada
secara langsung.
Berdasar tinjauan yuridis,
filosofis, politis, sosiologis, dan praktis sistem pemilihan gubernur secara
langsung lebih banyak kelemahannya dibandingkan dengan jika dipilih melalui
sistem perwakilan.
II.8 SISTEM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
UUD Negara Rl Th 1945 Pasal 18 ayat (4)
menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai
kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis". Tidak ada amanat dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa wakil
kepala daerah harus dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah. Sistem
pemilihan wakil kepala daerah secara langsung berpasangan dengan kepala daerah
semula dalam rangka kesesuaian dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
secara berpasangan. Akan tetapi dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan
daerah pasca reformasi sampai sekarang, banyak terjadi hubungan antara kepala
daerah dan wakil kepala daerah yang tidak harmonis, sehingga adanya wakil
kepala daerah diharapkan dapat membantu atau terdapat hubungan sinergi dengan
kepala daerah justru hubungan yang saling melemahkan. Hal terjadi karena latar
belakang politik wakil kepala daerah yang juga sarat dengan kepentingan politik
membuat hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi saling
waspada atas kemungkinan terjadi manuver politik yang saling menjatuhkan.
Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak
harmonis tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala
daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat
menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.
Dari kenyataan-kenyataan di atas nampak bahwa
system demokrasi pada umumnya dan system pilkada pada khususnya harus
jujur diakui masih mengalami kendala sistemik. Dari sisi hukum hal ini terkait
pemahaman tentang “legal system”
sebagaimana diajarkan oleh Lawrence Friedmann, bahwa sub-sistem hukum
terdiri atas substansi hukum (legal
substance) berupa pelbagai produk legislative yang mendasari system hukum
tersebut; kemudian struktur hukum (legal
structure) berupa kelembagaan yang menangani system tersebut dan budaya
hukum (legal culture) berupa kesamaan
pandangan, sikap, perilaku dan filosofi yang mendasari system hukum tersebut.
Dalam ketiga sub-sistem tersebut demokrasi dan termasuk pilkada masih
memerlukan konsolidasi. Warna transksional dan pragmatism masih menonjol ,
belum lagi munculnya mukti tafsir dan sikap mendua (ambiquitas) dalam pelbagai hal. Aapalgi apabila budaya hokum
semacam ini menghinggapi para pemangku kepentingan, termasuk tokoh-tokoh partai
politik yang sering disebut sebagai “legal
culture of the insider”.
BAB III
PENUTUP
III. 1. KESIMPULAN
Pelaksanaan
Pilkada/Pemilukada yang telah berlangsung sejak Juni 2005 s/d saat ini secara
umum telah berlangsung secara aman, tertib, dan demokratis dengan tingkat
partisipasi yang cukup tinggi. Meskipun demikian dalam penyelenggaraan Pilkada
ke depan masih perlu dilakukan berbagai penyempurnaan untuk memperbaiki
beberapa kekurangan yang terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada, yaitu :
1)
Peningkatan akuntabilitas proses
pencalonan.
Dari
segi regulasi, pengaturan tahapan pencalonan yang ada dalam Pasal 59 sampai
dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum cukup memadai. Untuk
mengatasi kekurangan ini, ke depan pasangan calon perlu diberi ruang untuk
mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses pencalonan dirugikan
KPUD.
2)
Masa kampanye yang lebih memadai.
Dari
segi regulasi, pengaturan mengenai kampanye yang diatur dalam pasal 75 sampai
dengan pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum member! waktu yang
cukup, yaitu hanya 14 (empat belas) hari, sehingga tidak cukup bagi masyarakat
untuk mendapatkan informasi lengkap para calon. Untuk itu perlu pengaturan masa
kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas kampanye agar dapat mendidik
pemilih untuk menilai para calon dari segi program.
3)
Peningkatan penyelenggara Pemilu
yang adil dan netral
Keberpihakan
penyelenggara pemilu kepada salah satu pasangan calon terjadi karena kriteria
dalam sistem seleksi para anggota penyelenggara pemilu baru belum menjangkau
sikap mental yang diperlukan bagi penyelenggara pemilu yang antara lain harus
netral, obyektif, mempunyai integritas tinggi, kesukarelaan/keterpanggilan
dalam tugas, dan tidak tidak mudah mengeluarkan statement. Untuk itu dalam
revisi UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu perlu penambahan
kriteria sikap mental dimaksud dalam system seleksi anggota penyelenggara
pemilu.
4)
Minimalisasi Putusan MK yang
menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Meskipun
UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008 telah membatasi kewenangan pengadilan/mahkamah
dalam sengketa. Pilkada hanya sebatas sengketa hasil penghitungan suara, namun
pengadilan sering menabrak aturan tersebut dan menimbulkan kontroversi.
5)
Putusan-putusan MK yang
membatalkan UU No. 32 Tahu 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008 terkait dengan
pelaksanaan Pilkada.
a.
Putusan MK Nomor
072-073/PUU-ii/2004 telah menganulir Pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang
No 32 Tahun 2004 sebagai berikut:
1)
Pasal 57 ayat (1) sepanjang anaka
kalimat "...yang bertanggung jawab kepada DPRD",
2)
Pasal 66 ayat (3) huruf
e"...meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD",
3)
Pasal 67 ayat (1) huruf e
sepanjang anak kalimat"... kepada DPRD",
4)
Pasal 82 ayat (2) Sepanjang anak
kalimat "... oleh DPRD". b. Putusan MK Nomor No 22/PUU-VII/2009
membatalkan Pasal 58 huruf o Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Berkenaan
dengan hal tersebut maka dalam revisi Undang-Undang yang terkait dengan Pilkada
masalah ini masalah substansi yang telah dibatalkan tersebut untuk tidak diatur
lagi.
6)
Minimalisasi politisasi birokrasi
oleh kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam Pilkada.
Dalam
rangka menjaga kesetaraan (fairness)
dan menjaga netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Pilkada, kepala
daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah harus aktif.
7)
Peninjauan sistem pemilihan
Gubernur.
Seiring
dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah sangat terbatas dan
menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah yang besar, maka berdasar
tinjauan yuridis, filosofis, politis, sosiologis, dan praktis sistem pemilihan
gubernur secara langsung sudah dapat dipertahankan lagi dan akan lebih efektif
jika pemilihannya dilakukan melalui sistem perwakilan.
8)
Peninjauan sistem pemilihan wakil
kepala daerah.
Pemilihan
wakil kepala daerah dilakukan secara langsung berpasangan dengan kepala daerah,
pada banyak daerah telah menimbulkan hubungan yang tidak sinergi dalam
menjalankan tugas dan fungsi. Hal terjadi karena latar belakang politik wakil
kepala daerah yang juga sarat dengan kepentingan politik menjadikan kedua belah
saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver politik yang saling
menjatuhkan. Berkenaan dengan tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem
pemilhan wakil kepala daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan dapat menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu
untuk perkuatan kepala daerah.
III. 2. SARAN
Evaluasi pelaksanaan Pilkada ini dilakukan
seoptimal mungkin dalam rangka menyempurnaan pelaksanaan Pilkada yang telah berjalan
lebih dari 5 tahun. Hasil evaluasi Pilkada ini diharapkan dapat menjadi
bahan acuan dalam rangka penyempurnaan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 jo
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
Dinamika politik selama lebih dari sepuluh
tahun telah memberikan peran politik local cukup signifikan. Namun
penyempurnaan masih harus dilakukan agar pemerintahan daerah sebagai
aktualisasi dari dinamika politik lokal semakin menghasilkan kebijakan yang
bermanfaat bagi masyarakat. Oleh sebab itu pengaturan suatu struktur atau
institusi perlu memperhatikan pertimbangan filosofis, yuridis, sosiologis,
politis, dan praktis.
Sementara itu susunan pemerintahan daerah akan
menjadi dasar bagi pembangunan interaksi di antara mereka. Demikian pula, susunan
pemerintahan tersebut juga dapat menjadi konteks dari peranan yang dimainkan
oleh masing-masing susunan pemerintahan dalam pemberian pelayanan kepada
masyarakat dan implikasinya terhadap pendidikan politik masyarakat. Pendidikan
politik masyarakat yang terbangun melalui pemilu kepala daerah diharapkan
menciptakan sistem politik yang demokratis di tingkat lokal dan pada gilirannya
akan dapat memberikan kontribusi bagi terwujudnya sistem politik demokratis di
tingkat nasional.
Yang terlebih
penting lagi adalah konsolidasi demokrasi yang harus merupakan konsensus
untuk menyempurnakan system demokrasi, khususnya pemahaman “legal system” di
atas, baik yang berkaitan dengan substansi, struktur dan budaya hukum, yang
penyempurnaannya harus merupakan usaha yang tidak pernah henti (the endless effort). Demokrasi sebagai
system politik harus didukung oleh system hukum yang mantap, yang
effektivikasinya akan banyak tergantung pada kualtias
perundang-undangannya; kelengkapan sarana dan prasarananya; kualitas sumberdaya
manusianya baik mental maupun intelektual; dan partisipasi masyarakat secara
luas.
DAFTAR PUSTAKA
Dirjen
Otda Depdagri, 2009, Evaluasi Pemilu
Kepala Daerah Periode 2005-2008.
Sentosa, Sembiring, 2009, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia, Pemerintahan Daerah (Pemda), Bandung, Nuansa Aulia.
Nugroho, Dewanto, 2006, Pancasila dan UUD 1945, Bandung, Nuansa
Aulia.
Undang-Undang
Pemilu dan Partai Politik 2008, Jogjakarta, Gradien Mediatama.
Ari
Pradhanawati, 2005, Pilkada Langsung,
Tradisi Baru Demokrasi Lokal, Surakarta, KOMPIP.
OC.Kaligis,
2009, Perkara-Perkara Politik dan Pilkada
di Pengadilan, Bandung, PT. Alumni.
Jurnal
Intelijen & Kontra Intelijen, 2008, vol.1 No.25, Center For The Study Of Intelligence And Counterintelligenc.
0 komentar:
Posting Komentar