BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR
BELAKANG MASALAH
Hukum Pidana Internasional dapat didefinisikan sebagai, cabang ilmu hukum
yang menguraikan dan menjelaskan persentuhan aspek hukum nasional dan hukum
internasional. akan tetapi tidak jelas “karakter” dan “jenis kelamin”
sesungguhnya dari hukum pidana internasional. jalinan aspek hukum nasional dan
hukum internasional merupakan keunikan hukum pidana internasional.
Hukum Pidana Internasional ”International Criminal Law” adalah
cabang ilmu hukum baru yang memiliki aspek hukum (pidana) nasional, dan aspek
hukum internasional, kedua aspek hukum tersebut bersifat komplementer satu sama
lain.
Hukum Pidana Internasional telah membuka wawasan baru dalam perkembangan
penerapan hukum pidana nasional, tidak ada ancaman kejahatan transnasional dan
kejahatan nasional yang tidak memiliki solusi dan antisipasi. selain itu hukum
pidana internasional telah membuka pandangan baru mengenai pertanggungjawaban
pidana seorang individu dalam hal kejahatan, dan pandangan baru dari hukum
pidana internasional adalah berkembangnya pendapat.
Hukum Pidana Internasional sebagai cabang disiplin ilmu baru dalam ilmu
hukum, merupakan disiplin ilmu yang paling lengkap karena memiliki modal awal (modalities)
yaitu: asas-asas hukum maupun kaidah kaidahnya, termasuk ketentuan mengenai
prosedur beracara dimuka pengadilan pidana internasional, dan lembaga yang
melaksanakan proses peradilan terhadap pelanggaran HAM berat. keseluruhan asas
hukum, kaidah dan prosedur penegakan hukum tersebut telah dimuat didalam
statuta ICC (International Criminal Court) statuta Roma tahun 1998.
Prospek disiplin hukum pidana internasional berkaitan secara langsung
dengan prinsip kedaulatan negara dan asas-asas pemberlakuan hukum pidana
nasional yang telah diakui secara universal. Didalam sistem peraturan per
Undang-undangan Indonesia,Undang-undang Dasar merupakan hukum dasar (grondwet)
yang menjadi sumber hukum seluruh peraturan per Undang-undangan yang berlaku di
Indonesia.
Undang-undang Dasar tidak memuat ketentuan lengkap mengenai bagaimana
hubungan internasional dan suatu perjanjian internasional harus dilaksanakan,
melainkan hanya memberikan landasan konstitusional presiden selaku kepala
negara atas persetujuan DPR RI, untuk membuat perjanjian internasional.
ketentuan pasal 9 Undang-undang hukum pidana (KUHP,1946) di Indonesia,
merupakan satu-satunya ketentuan hukum pidana Indonesia yang secara eksplisit
mengatur bagaimana hukum internasional seharusnya diberlakukan kedalam hukum
nasional yang menegaskan bahwa, penerapan pasal 2-5,7 dan 8 dibatasi oleh
pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum internasional.
Perkembangan saat ini merujuk pada praktik, hukum pidana internasional
memiliki arti yang luas. Otto Triffterer, mengemukakan bahwa: ”Hukum
Pidana Internasional termasuk sejumlah ketentuan internasional yang menetapkan
suatu perbuatan merupakan kejahatan menurut hukum internasional[3]” .hukum
pidana internasional dalam sudut pandang ini merupakan bagian-bagian dari hukum
bangsa-bangsa.
Terkait dengan definisi Otto tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa,
keberadaan hukum pidana internasional, lebih tepat dikatakan, ”The
bridging science”yang menghubungkan dua kepentingan, yaitu: kepentingan
(hukum) internasional(International Interest) dan kepentingan
(hukum) nasional (National Interest) dalam menghadapi satu
objek yang sama yaitu ancaman dari kejahatan transnasional dan kejahatan
internasional, kedua kepentingan tersebut merupakan “Pasangan Harmonis” dalam
praktik penegakan hukum pidana internasional.
I.2. RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana perkembangan pembahasan draft teks statuta
mahkamah pidana internasional?
2.
Bagaimana statuta mahkamah pidana internasional
(international criminal court)?
3.
Bagaimana makna tiap alinea dalam mukadimah statuta
mahkamah pidana internasional?
4.
Bagaimana lingkup yurisdiksi mahkamah pidana internasional?
I.3. TUJUAN
DAN MANFAAT
1.
Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pembahasan draft teks statuta
mahkamah pidana internasional.
2. Untuk
mengetahui bagaimana statuta
mahkamah pidana internasional (international criminal court).
3. Untuk
mengetahui bagaimana makna
tiap alinea dalam mukadimah statuta mahkamah pidana internasional.
4. Untuk
mengetahui bagaimana lingkup
yurisdiksi mahkamah pidana internasional.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. PERKEMBANGAN PEMBAHASAN DRAFT TEKS STATUTA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL
Draft teks statute ICC yang dibahas dalam Konferensi Diplomatik di Roma,
adalah yang diusulkan oleh Komisi Hukum Internasional (International Law
Commission) dan pembahasan telah melalui 7 (tujuh) Resolusi Sidang Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa / Resolusi SMU berikut:
1. Resolusi SMU PBB 47/33 tanggal 25
November 1992,
2. Resolusi SMU PBB 48/31 tngga 9
Desember 1993,
3. Resolusi SMU PBB 49/53 tnggal 9
Desember 1994,
4. Resolusi SMU PBB 50/46 tanggal 11
Desember 1995,
5. Resolusi SMU PBB 51/207 tanggal 17
Desember 1996,
6. Resolusi SMU PBB 52/160 tanggal 15
Desember 1997.
Konferensi Diplomatik untuk melaksanakan pembahasan terakhir dan untuk
mengadopsi Statuta ICC berlangsung sejak tanggal 15 Juni 1998 sampai tanggal 17
Juli 1998.
Pembukaan Konferensi di pimpin oleh Kofi Annan, Sekretaris Jendral PBB
selaku Presiden Tetap Konperensi, Giovanni Conso dari Italia. Di dalam sambutan
pembukaan konferensi diplomatik di Roma, Kofi Annan menguraikan tentang
peristiwa yang paling kejam sebagai contoh dari kejahatan yang sering disebut
dengan kebijakan Negara secara sistematis. Kelanjutan dari hal tersebut, telah
dibentuk Mahkamah Adhoc untuk menuntut dan mengadili peristiwa genosida dan
kejahatan manusia.
II.2. STATUTA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (INTERNATIONAL CRIMINAL COURT)
Mukadimah dalam statuta memiliki arti penting baik secara hukum maupun
secara politis. Dari sisi relevansi hukum, keberadaan mukadimah tersebut
ditunjukan untuk membantu penafsiran dan penerapan statuta, dan secara khusus
mengenai wewenang ICC berdasarkan pasal 35 yang berhubungan dengan isu
mengenai “admissibility” atau penerimaan yurisdiksi ICC ke
dalam sistem peradilan nasional.
Merujuk kepada Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional (1961) Pasal
31 menegaskan bahwa, mukadimah dalam suatu perjanjian merupakan bagian dari
substansi yang merupakan rujukan untuk menafsirkan suatu perjanjian[15].
Secara politis, keberadaan suatu mukadimah dalam Statuta Mahkamah Pidana
Internasional, karena berkaitan dengan kredibilitas negara peratifikasi untuk
menjadi pihak dalam statuta sangat tergantung dari apresiasi dan komitmen
negara-nagara tersebut terhadap prinsip-prinsip yang dicantumkan di dalam
Mahkamah Statuta.
II.3. MAKNA TIAP ALINEA DALAM MUKADIMAH STATUTA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL
Alinea kesatu: “Conscious
that all people are united by common bonds, their culture pieced together in a
shared heritage, and concerned that this delicate mosaic may be shattered at
any time”.
Alinea kesatu di atas mencerminkan bahwa pembentukan Mahkamah Pidana
Internasional adalah dalam konteks global. Pembentukan Mahkamah
bukanlah semata-mata penegakan keadilan internasional melainkan mencerminkan
bahwa prinsip dasar dan kepentingan yang meatarbelakangi pembentukan mahkamah
ini tidaklah dibentuk dalam keadaan kekosongan hukum akan tetapi memiliki
gaungnya di dalam hubungan internasional.
Alinea kedua: “Mindful that during this century millions of children, women and men have
been victims of unimaginable atrocities that deeply shock the conscience of
humanity”.
Alinea kedua, mengingatkan masyarakat interbasinal terhadap korban-korban
yang diakibatkan oleh peperangan atau kekejaman kekuasaan negara yang
seharusnya memperolah perindungan.
Pembentukan Mahkamah bukan hanya bertujuan menuntut dan menghukum
pelaku kajahatan saja melainkan juga merupakan bentuk perindungan hukum
terhadap para korban kejahatan tersebut.
Alinea ketiga: “Recognizing that such grave crimes threaten the peace, security and
well-being of the world”.
Alinea ketiga mecerminkan pengakuan landasan teoritik
justifikasi keberadaan hukum pidana internasional dengan menunjukkan apa yang
harus diproteksi, yaitu melindungi niai-nilai kemanusiaan universal terhadap
kejahatan serius yang mengancam.
Alinea keempat; “Affirming that the most serious crimes of concern to the international
community as awhole must not go unpunished and their effective prosecution must
be ensure by taking measures at the national level and by enchancing
international cooperation”.
Alinea keempat, menegaskan tujuan praktis dari hukum pidana internasional,
yaitu “The most serious crimes” alinea ini juga mencerminkan
terhadap perbedaan antara “the serious crime “ yang menjadi
perhatian masyarakat internasional, dan “ordinary crimes” yang
tidak menjadi perhatian masyarakat internasional.
Alinea kelima: “Determined to put an end to impunity for the perpetrators of these
crimes and thus to contribute to the prevention if such crimes”.
Alinea ini mengandung prinsip “non-impunity”.alinae ini juga
menuntut agar penegakan hukum pidana internasional (langsung atau tidak
langsung) harus dapat berlaku efektif.agar dapat mencegah terjadinya kejahatan
serius di masa yang akan datang.
Alinea keenama: “Recalling that it is the duty of every State to exercise its
criminal jurisdiction over thos responsible for international crimes”.
Aliea ini meminta semua negara untuk melaksanakan kewajibannya menuntut dan
menghukum mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan serius yang menjadi
yurisdiksi ICC.
Alinea ketujuh: “Reaffirming the purpose and principles of the Charter of the United
Nations, and in particular that all State shall refrain from the threat or use
of force against the territorial integrity or political independence of any
state, or in any other manner inconsistens with the purposes of the United
Nations”.
Alinea ketujuh ini, mengungatkan agar tidak melakukan tindakan-tindakan
yang dapat mengancam terhadap keamanan dan perdamaian internasional.
Alinea kedelapan: “Emphasizing in this connection that noting in this Statute shall be
taken as authorizing any State Party to intervence in armed conflict or in the
internal affairs of any State”.
Di dalam alinea ini, mengingatkan semua negara agar di dalam menjalankan
yurisdiksinya tidak melakukan interversi dengan alasan melaksanakan Statuta
ICC.
Alinea kesembilan: “Determinated to these ends and for the sake of present and future
generations, to establish an independent permanent International Criminal Court
in relationship with the United Nations system, with jurisdictions over the
mostserious crimes of concern to the international community as a whole”.
Alinea kesembilan mengingatkan bahwa hanya kejahatan-kejahatan serius yang
memperoleh perhatian masyarakat internasional yang menjadi yurisdiksi ICC.
Alinea kesepuluh: “Emphasizing that the International Criminal Court established under
this Statute shall be complementary to national criminal jurisdiction”.
Alinea kesepuluh merupakan kualitas karakter yang bersifat esensial dan
sistem yurisdiksi ICC.
Alinea kesebelas: Menekankan bahwa pembentukan ICC merupakan apresiasi tentang pelaksanaan
keadilan internasional.
II.4. LINGKUP YURISDIKSI MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL
Lingkup yurisdiksi Mahkamah ini meliputi 4 (empat) jenis kejahatan yang
termasuk kejahatan serius dan menjadi perhatian masyarakat internasional karena
merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional.
Adapun 4(empat) kejahatan itu adalah:
Genosida
Kejahatan
kemanusiaan
Kejahatan perang
Agresi
Selain kejahatan yang memiliki karakter di atas, dalam kenyataan praktik,
masyarakat internasional juga masih diresahkan oleh kejahatan serius lainnya
seperti, kejahatan yang telah di atur dalam perjanjian internasional (treaty-based
crimes), terorisme, peredaran gelap narkotika, dan penggunaan tentara
bayaran (mercenarisem).
Merujuk kepada Statuta Mahkamah Pidana Internasional (statuta Roma) Pasal
5, maka yurisdiksi Mahkamah telah disepakati hamya 4 (empat) jenis kejahatan
internasional, yaitu: genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan
agresi. Dimasa yang akan datang masih terbuka kemungkinan memasukan jenis
kejahatan internasional lainnya (yang belum menjadi yurisdiksi Mahkamah)
menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Jenis kejahatan dimaksud
antara lain, terorisme, perdagangan orang, kejahatan lingkungan, korupsi.
BAB III
PENUTUP
III. 1.
KESIMPULAN
Draft teks statute ICC yang dibahas dalam Konferensi Diplomatik di Roma,
adalah yang diusulkan oleh Komisi Hukum Internasional (International Law
Commission) dan pembahasan telah melalui 7 (tujuh) Resolusi Sidang Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa / Resolusi SMU.
Lingkup yurisdiksi Mahkamah ini meliputi 4 (empat) jenis kejahatan yang
termasuk kejahatan serius dan menjadi perhatian masyarakat internasional karena
merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional.
Adapun 4(empat) kejahatan itu adalah:
Genosida
Kejahatan
kemanusiaan
Kejahatan perang
Agresi
Selain kejahatan yang memiliki karakter di atas, dalam kenyataan praktik, masyarakat
internasional juga masih diresahkan oleh kejahatan serius lainnya seperti,
kejahatan yang telah di atur dalam perjanjian internasional (treaty-based
crimes), terorisme, peredaran gelap narkotika, dan penggunaan tentara
bayaran (mercenarisem).
DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita,
Romli. 2010. Hukum Pidana Internasional, Jakarta: PT Fikahati Aneska.
Atmasasmita,
Romli. 2003. Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung:
RefikaAditama.
Parthiana,I
Wayan. 2006. Hukum Pidana Internasional, Bandung: CV Yrama
Widya.
Sosrokusumo,
Sumaryo. 2007. Studi Kasus Hukum Internasional, Jakarta: PT Tata
Nusa Jakarta.
---------------------------------------------
Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 (United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC) )
0 komentar:
Posting Komentar