DESKRIPSI PENGARANG
N
a m a : Prof. Dr. H. ROMLI ATMASASMITA, S.H.,LL.M
Tempat/Tgl
Lahir : Cianjur, 1 Agustus 1944
A
g a m a : Islam
Status
Perkawinan : Kawin
Isteri
: Ny Hanny Hanurawati, S.H.,CN.
A
n a k :
1.
Radhie Noviadi Yusuf
2.
Rully Feriadi Rochman
3.
Berley Kurniadi Rachmat
4.
Moh. Ridzki Subarkah
5.
Septo Ahadi Amanat Romli Atmasasmita
A
l a m a t : Jl. Griya Mas Selatan I/12 Terusan Pasteur, Bandung
– Indonesia.
RIWAYAT
PENDIDIKAN
1.
Sekolah Dasar, Jakarta (1955); 2. Sekolah Menengah Pertama, Jakarta, (1959); 3.
Sekolah Menengah Atas, Jakarta (1962); 4. Sarjana Hukum, Universitas
Padjadjaran, Bandung (1969); 5. Master of Laws,
School of Law, University of California, Berkeley (1981); 6. Doktor Ilmu Hukum,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1996).
RIWAYAT
JABATAN
1.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran; 2. Guru Besar Luar Biasa
Fakultas Hukum Swasta di Jawa Barat; 3. Guru Besar Tamu Program S2 Universitas
Diponegoro dan Universitas Indonesia; 4. Guru Besar Tamu SESPIM-POLRI; 5. Guru
Besar PTIK; 6. Ketua Jurusan Hukum Pidana (1985-1988); 7. Pembantu Dekan
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (1983-1989); 8. Pembantu Rektor Bidang
Kemahasiswaan Universitas Pasundan (1976-1980). 9. Koordinator Tim Pakar Hukum
Departemen Kehakiman dan HAM RI; 10. Direktur Jenderal Hukum dan
Perundang-undangan Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI, sejak Oktober
1998; 11. Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman dan
HAM RI, sejak 16 Agustus 2000 sampai dengan 2002; 12. Kepala Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, sejak bulan April 2002 sampai
sekarang.
RIWAYAT
PEKERJAAN
1.
Wakil Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (ASPEHUPIKI) Pusat;
2. Ketua Tim Penyusunan Undang-undang RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; 3.
Ketua Tim Penyusunan UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang (Money
Laundering); 4. Ketua Tim RUU tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi tahun 2000; 5. Ketua Tim Penyusunan Naskah Rancangan Pembahasan
Atas Undang-undang RI Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian; 6. Ketua Tim
Penyusunan RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; 7. Ketua Tim
Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Perlindungan Khusus
Bagi Pelapor dan Saksi Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang, tahun 2002; 8.
Ketua Tim Penyusunan RUU tentang Pengesahan Convention Against Transnational
Organized Crime (TOC) tahun 2002; 9. Ketua Tim Penyusunan RUU tentang
Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Pemerintah RI dan Korea Selatan, tahun 2002;
10. Ketua Stering Committee Persiapan Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi tahun 1999-2001 Dep. Kehakiman dan HAM RI; 11. Anggota Tim
Penyusunan Undang-undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi; 12. Anggota Tim Inti dan Tim Asistensi Pembahasan RUU tentang
Grasi di DPR RI tahun 2002; 13. Anggota Tim Penyusunan RUU tentang Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana; 14. Ketua Tim Penyusunan UU Nomor 20 tahun
2001 Perubahan Atas UU Nomor 31 tahun 1999; 15. Koordinator Pengelola S2 dan S3
Ilmu Hukum di Jakarta dan Bandung; 16. Ketua Tim Penyusunan UU Nomor 26 tahun
2000 tentang Pengadilan HAM; 17. Ketua Delegasi RI ke Konferensi Asia-Pasifik
tentang Money Laundering, 4-6 Agustus 1999 di Manila, Philippina; 18. Ketua
Delegasi RI pada Konferensi PBB untuk membahas draft Konvensi mengenai
Pemberantasan Kejahatan Transnasional Terorganisir, di Wina-AUSTRIA, Juni 1999
dan 4-8 Juni 2000; 19. Ketua Delegasi RI pada ASLOM Juni 1989, di Singapore;
20. Ketua Delegasi RI pada ASEAN Senior Law Official Meeting (ASLOM), tanggal
14-18 Juni 2002 di Bangkok; 21. Anggota Delegasi RI ke Konferensi Global Anti
Korupsi, 24-26 Februari 1999, di Washington DC, Amerika Serikat; 22. Ketua
Delegasi RI pada Sidang Ad Hoc Committee on the Negotiation of the United
Nations Convention against Corruption, di Wina-AUSTRIA tahun 2000 sampai dengan
tahun 2003; 23. Ketua Delegasi pada seminar Terrorisme di Asia-Pasific tanggal
29 Juli sampai dengan 2 Agustus 2002 di Washington DC, Amerika Serikat; 24.
Ketua Komisi Persiapan Pembentukan Komisi Anti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
tahun 1999; 25. Anggota Asosiasi Kriminologi Indonesia (AKI); 26. Anggota
American Criminal Justice Science, Kentucky, USA; 27. Anggota American Society
of Criminology; 28. Anggota "International Criminal Lawyers (ICL); 29.
Ketua Forum Komunikasi Kriminologi (FORKRIM); 30. Ketua Pembentukan Panitia
Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Tahun 2003;
31. Pengurus Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia; 32. Penasehat/Dewan
Kehormatan Forum Komunikasi Akademisi dan Praktisi Hukum Indonesia (FORKAPHI)
Pusat; 33. Penasehat/Konsultan Ahli BPHN Departemen Kehakiman dan HAM RI; 34.
Anggota Penasehat Ahli KAPOLRI sejak 1999. Catatan: 1. Anggota ASIA-PACIFIC
Expert on International Criminal Court (ICC); 2. Chairman Sidang ASEAN Legal
Officer Program bulan Juli 2003; 3. "Focal Point" ASEAN Legal Officer
Meeting (ASLOM); 4. Mengikuti Konferensi-konferensi Internasional dan Regional
dalam bidang korupsi.
HAK
ASASI MANUSIA DI INDONESIA
A.
Perkembangan Hak Asasi Manusia
Wacana
hak asasi manusia bukanlah wacana yang asing dalam diskursus politik dan
ketatanegaraan di Indonesia. Kita bisa menemuinya dengan gamblang dalam
perjalanan sejarah pembentukkan bangsa ini, di mana perbincangan mengenai hak
asasi manusia menjadi bagian daripadanya. Jauh sebelum kemerdekaan, para
perintis bangsa ini telah memercikkan pikiran-pikiran untuk memperjuangkan
harkat dan martabat manusia yang lebih baik. Pecikan pikiran tersebut dapat
dibaca dalam surat-surat R.A. Kartini yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah
Terang”, karangan-karangan politik yang ditulis oleh H.O.S. Cokroaminoto,
Agus Salim, Douwes Dekker, Soewardi Soeryaningrat, petisi yang dibuat oleh
Sutardjo di Volksraad atau pledoi Soekarno yang berjudul ”Indonesia
Menggugat” dan Hatta dengan judul ”Indonesia Merdeka” yang dibacakan
di depan pengadilan Hindia Belanda. Percikan-percikan pemikiran pada masa
pergerakan kemerdekaan itu, yang terkristalisasi dengan kemerdekaan Indonesia,
menjadi sumber inspirasi ketika konstitusi mulai diperdebatkan di Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di sinilah
terlihat bahwa para pendiri bangsa ini sudah menyadari pentingnya hak asasi
manusia sebagai fondasi bagi negara.
Sub-bab
ini berusaha menelusuri perkembangan wacana hak asasi manusia dalam diskursus
politik dan ketatanegaraan di Indonesia, paling tidak dalam kurun waktu setelah
kemerdekaan. Diskursus mengenai hak asasi manusia ditandai dengan perdebatan
yang sangat intensif dalam tiga periode sejarah ketatanegaraan, yaitu mulai
dari tahun 1945, sebagai periode awal perdebatan hak asasi manusia, diikuti
dengan periode Konstituante (tahun 1957-1959) dan periode awal bangkitnya Orde
Baru (tahun 1966-1968). Dalam ketiga periode inilah perjuangan untuk menjadikan
hak asasi manusia sebagai sentral dari kehidupan berbangsa dan bernegara
berlangsung dengan sangat serius. Tetapi sayang sekali, pada periode-periode
emas tersebut wacana hak asasi manusia gagal dituangkan ke dalam hukum dasar
negara atau konstitusi.
Perjuangan
itu memerlukan waktu lama untuk berhasil, yaitu sampai datangnya periode
reformasi (tahun 1998-2000). Periode ini diawali dengan pelengseran Soeharto
dari kursi Presiden Indonesia oleh gerakan reformasi. Inilah periode yang
sangat “friendly” terhadap hak asasi manusia, ditandai dengan
diterimanya hak asasi manusia ke dalam konstitusi dan lahirnya peraturan
perundang-undangan di bidang hak asasi manusia.
(1) Hak
Asasi Manusia dalam Konstitusi Baru
Presiden BJ. Habibie yang ditunjuk
Soeharto sebagai penggantinya mengumumkan kabinetnya sebagai “Kabinet
Reformasi”. Presiden yang baru ini tidak punya pilihan lain selain memenuhi
tuntutan reformasi, yaitu membuka sistem politik yang selama ini tertutup,
menjamin perlindungan hak asasi manusia, menghentikan korupsi, kolusi dan
nepotisme, menghapus dwi-fungsi ABRI, mengadakan pemilu, membebaskan narapidana
politik, dan sebagainya. Perhatian pokok buku ini adalah yang berkaitan dengan
wacana hak asasi manusia pada periode reformasi.
Pada periode reformasi ini muncul
kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas perlindungan hak asasi manusia.
Perdebatkan bukan lagi soal-soal konseptual berkenaan dengan teori hak asasi
manusia, tetapi pada soal basis hukumnya, apakah ditetapkan melalui TAP MPR
atau dimasukkan dalam UUD? Gagasan mengenai Piagam Hak Asasi Manusia yang
pernah muncul di awal Orde Baru itu muncul kembali.
Begitu pula gagasan untuk mencatumkannya
ke dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar juga muncul kembali ke dalam wacana
perdebatan hak asasi manusia ketika itu. Karena kuatnya tuntutan dari
kelompok-kelompok reformasi ketika itu, maka perdebatan bermuara pada lahirnya
Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Isinya bukan hanya
memuat Piagam Hak Asasi Manusia, tetapi juga memuat amanat kepada presiden dan
lembaga-lembaga tinggi negara untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia,
termasuk mengamanatkan untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional hak
asasi manusia.
Hasil Pemilu 1999 merubah peta kekuatan
politik di MPR/DPR. Kekuatan politik pro-reformasi mulai memasuki gelanggang
politik formal, yakni MPR/DPR. Selain berhasil mengangkat K.H. Abdurrachman
Wahid sebagai presiden, mereka juga berhasil menggulirkan terus isu amandemen
Undang-Undang Dasar 1945. Pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000, perjuangan untuk
memasukkan perlindungan hak asasi manusia ke dalam Undang-Undang Dasar akhirnya
berhasil dicapai. Majelis Permusyawaratan Rakyat sepakat memasukan hak asasi
manusia ke dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal Hak Asasi Manusia (dari pasal
28A-28J) pada Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada 18
Agustus 2000. Hak-hak yang tercakup di dalamnya mulai dari kategori hak-hak
sipil politik hingga pada kategori hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Selain
itu, dalam bab ini juga dicantumkan pasal tentang tanggung jawab negara
terutama pemerintah dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak
asasi manusia. Di samping itu ditegaskan bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak
asasi manusia sesuai prinsip negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Salah satu isu yang menjadi
riak-perdebatan dalam proses amandemen itu adalah masuknya pasal mengenai hak
bebas dari pemberlakuan undang-undang yang berlaku surut (non-retroactivity
principle) yakni pasal 28I. Masuknya ketentuan ini dipandang oleh kalangan
aktifis hak asasi manusia dan aktifis pro-reformasi yang tergabung dalam Koalisi
untuk Konstitusi Baru sebagai “sabotase” terhadap upaya mengungkapkan pelanggaran
berat hak asasi manusia di masa lalu, khsususnya di masa Orde Baru. Alasannya
pasal itu dapat digunakan oleh para pelaku pelanggaran hak asasi di masa lalu
untuk menghindari tuntutan hukum. Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia
dan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang lahir setelah Amandemen
Kedua menjadi senjata yang tak dapat digunakan untuk pelanggaran hak asasi
manusia di masa lalu. Sementara anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat beralasan
bahwa adanya pasal itu sudah lazim dalam instrumen internasional hak asasi manusia,
khususnya dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP).
Selain itu, menurut anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pasal 28I itu harus
dibaca pula dalam kaitannya dengan Pasal 28J ayat (2).
Terlepas dari kontroversi yang
dipaparkan di atas, Amandemen Kedua tentang Hak Asasi Manusia merupakan
prestasi gemilang yang dicapai Majelis Permusyawaratan Rakyat pasca Orde Baru.
Amandemen Kedua itu telah mengakhiri perjalanan panjang bangsa ini dalam
memperjuangkan perlindungan konstitusionalitas hak asasi manusia di dalam
Undang-Undang Dasar. Mulai dari awal penyusunan Undang-Undang Dasar pada tahun
1945, Konstituante (1957-1959), awal Orde Baru (1968) dan berakhir pada masa
reformasi saat ini merupakan perjalanan panjang diskursus hak asasi manusia
dalam sejarah politik-hukum Indonesia sekaligus menjadi bukti bahwa betapa
menyesatkan pandangan yang menyatakan hak asasi manusia tidak dikenal dalam
budaya Indonesia.
(2)
Undang-Undang Hak Asasi Manusia
Sebagaimana
dikemukakan sebelumnya, periode reformasi merupakan periode yang sangat “friendly”
terhadap hak asasi manusia. Berbeda halnya dengan periode Orde Baru yang
melancarkan “black-campaign” terhadap isu hak asasi manusia.
Presiden
B.J. Habibie dan DPR sangat terbuka dengan tuntutan reformasi, maka sebelum
proses amandemen konstitusi bergulir, presiden lebih dulu mengajukan Rancangan
Undang-Undang Hak Asasi Manusia ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas.
Pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat juga tidak memakan waktu yang lama dan
pada 23 September 1999 telah dicapailah konsensus untuk mengesahkan undang-undang
tersebut yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang tersebut dilahirkan sebagai turunan dari Ketetapan MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memuat pengakuan yang luas
terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin di dalamnya mencakup mulai
dari pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya, hingga pada pengakuan terhadap hak-hak kelompok seperti anak, perempuan
dan masyarakat adat (indigenous people). Undang-Undang tersebut dengan gamblang
mengakui paham ‘natural rights’, melihat hak asasi manusia sebagai hak kodrati
yang melekat pada manusia. Begitu juga dengan kategorisasi hak-hak di dalamnya
tampak merujuk pada instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia, seperti
Universal Declaration of Human Rights, International Covenan on Civil
and Political Rights, International Covenan on Economic, Social
and Cultural Rights, International Convention on the Rights of Child,
dan seterusnya. Dengan demikian boleh dikatakan Undang-Undang ini telah
mengadopsi norma-norma hak yang terdapat di dalam berbagai instrumen hak asasi manusia
internasional tersebut.
Di
samping memuat norma-norma hak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia juga memuat aturan mengenai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(bab VII). Mulai Pasal 75 sampai Pasal 99 mengatur tentang kewenangan dan fungsi,
keanggotaan, serta struktur kelembagaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Jadi
kalau sebelumnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdiri berdasarkan Keputusan
Presiden No. 50 Tahun 1993, maka setelah disahkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 landasan hukumnya diperkuat dengan Undang-Undang. Hal yang menarik dalam
Undang-Undang ini adalah adanya aturan tentang partisipasi masyarakat (bab
VIII), mulai dari Pasal 100 sampai Pasal 103. Aturan ini jelas memberikan
pengakuan legal terhadap keabsahan advokasi hak asasi manusia yang dilakukan
oleh organisasi-organisasi pembela hak asasi manusia atau “human rights defenders”.
Selain itu, Undang-Undang ini juga mengamanatkan pembentukan Pengadilan Hak
Asasi Manusia yang harus dibentuk paling lama dalam jangka waktu empat tahun
setelah berlakunya Undang-Undang tersebut (Bab IX).
Pertanyaannya
kemudian adalah, bagaimana status Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ini setelah
keluarnya Amandemen Kedua tentang Hak Asasi Manusia? Apakah tetap berlaku atau
tidak? Kaidah “ketentuan yang baru menghapus ketentuan yang lama” jelas tidak
dapat diterapkan di sini. Kaidah tersebut hanya berlaku untuk norma yang
setingkat. Karena kedudukan kedua ketentuan tersebut tidak setingkat, dan sejalan
dengan “stuffenbau theorie des rechts” (hierarchy of norm theory),
norma konstitusi lebih tinggi daripada undang-undang. Maka Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 itu tetap berlaku dan dapat dipandang sebagai ketentuan organik
dari ketentuan hak asasi manusia yang terdapat pada amandemen kedua.
PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA INDONESIA
A.
Pendahuluan
Memburuknya situasi keamanan dan hak
asasi manusia di Timor Timur pasca jajak pendapat tahun 1999 menarik perhatian
dunia internasional, khususnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk mengambil
tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan keadaan tersebut. Menurut laporan
Komisi Penyidik Pelanggaran (KPP) Hak Asasi Manusia untuk Timor Timur telah terjadi
beberapa pelanggaran berat hak asasi manusia di antaranya adalah pembunuhan
massal, penyiksaan dan penganiayaan, penghilangan paksa, kekerasan berbasis
gender, pemindahan penduduk secara paksa dan pembumihangusan.
Dewan Keamanan PBB (DK PBB) kemudian mengeluarkan
Resolusi Nomor 1264 Tahun 1999 yang isinya mengecam pelanggaran berat hak asasi
manusia yang terjadi pasca jajak pendapat di Timor-Timur, penyerangan terhadap
personil kemanusiaan nasional dan internasional, dan menderitanya rakyat sipil
akibat pemindahan paksa secara besar-besaran. Oleh karena itu DK PBB meminta
para pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia tersebut mempertanggung
jawabkan tindakannya di muka pengadilan.
Menyikapi Resolusi DK PBB tersebut yang
merupakan bentuk desakan dunia internasional dan demi untuk melindungi
kepentingan nasional yang lebih besar lagi, Pemerintah Indonesia akhirnya
setuju untuk membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia dengan mengundangkan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tanggal 23 Nopember 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia sebagai pengganti PERPU Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia karena PERPU ini oleh DPR dianggap tidak memadai sehingga
tidak disetujui sebagai undang-undang.474 Pendirian Pengadilan Hak Asasi
Manusia ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 104 paragrap (1) Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
B.
Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000
Pengadilan
Hak Asasi Manusia Indonesia adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran
berat hak asasi manusia. Definisi pelanggaran berat hak asasi manusia dapat
dilihat dalam penjelasan Pasal 104 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menyatakan
bahwa pelanggaran berat hak asasi manusia adalah:
“pembunuhan
massal (genocide), pembunuhan
sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang
secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis
(systematic discrimination)”.
Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 sendiri tidak mendefinisikan pengertian istilah
“pelanggaran berat hak asasi manusia”, melainkan hanya menyebut kategori kejahatan
yang merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia, yakni: kejahatan terhadap
kemanusiaan dan kejahatan genosida.
Yang
dimaksudkan dengan kejahatan genosida adalah :
“setiap
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan
seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis dan kelompok agama,
dengan cara:
a) membunuh
anggota kelompok;
b) mengakibatkan
penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c) menciptakan
kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik
seluruh atau sebagian;
d) memaksakan
tindakan-tindakan yang bertujuan memaksakan kelahiran di dalam kelompok; dan
e) memindahkan
secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain”
Selanjutnya,
yang dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah:
“salah
satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematik
yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil berupa:
a) pembunuhan;
b) pemusnahan;
c) perbudakan;
d) pengusiran
atau pemindahan penduduk secara paksa;
e) perampasan
kemerdekaan atau perampasan secara fisik lain secara sewenangwenang yang
melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f) penyiksaan;
g) perkosaan,
perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan
atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang
setara;
h) penganiayaan
terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham
politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain
yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional;
i)
penghilangan orang
secara paksa; atau
j)
kejahatan apartheid
Definisi
kedua jenis kejahatan di atas merupakan pengadopsian dari kejahatan yang
merupakan yurisdiksi International Criminal Court (ICC) seperti diatur
dalam Pasal 6 dan 7 Statuta Roma. Statuta Roma sebagai dasar pendirian ICC
telah berlaku sejak diratifikasi oleh 60 negara yakni pada tanggal 1 Juli 2002.
Indonesia sendiri belum menjadi Negara Pihak ICC. Statuta Roma juga dilengkapi
dengan aturan terpisah yakni Rules of Procedure and Evidence mengenai
hukum acaranya serta Element of Crimes mengenai penjelasan unsur-unsur
kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC yakni kejahatan perang, kejahatan
terhadap kemanusiaan dan genosida. Element of Crimes ini ditujukan untuk
memberikan kesamaan pemahaman bagi hakim dan aparat penegak hukum ICC serta
batasan terhadap bentuk-bentuk kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC. Di
Indonesia sendiri, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak dilengkapi Element
of Crimes bagi kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida serta pertanggungjawaban
komando, sehingga seringkali membingungkan para penegak hukum khususnya hakim
ketika harus menafsirkannya sebagai suatu tindak pidana/delik yang merupakan
Pelanggaran berat hak asasi manusia. Beberapa kasus di Pengadilan Hak Asasi
Manusia Ad Hoc untuk Timor-Timur membuktikan terdapatnya pemahaman yang
berbeda-beda dari hakim ketika menafsirkan suatu perbuatan yang digolongkan sebagai
kejahatan terhadap kemanusiaan karena referensi yang mereka gunakan pun
berbeda.
Selain
itu, jika dicermati, terdapat begitu banyak ketidakteraturan penggunaan padanan
bahasa Indonesia untuk istilah-istilah bahasa asing yang dikutip dan diserap dari
instrumen internasional yang bersangkutan, dalam hal ini Rome Statute of the
International Criminal Court (Statuta Roma Pengadilan Pidana
Internasional), 1998. Misalnya, kata “…directed against civilian population…”
diterjemahkan menjadi “ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil…”.
Penambahan kata “langsung” disini berimplikasi pada sulitnya menjangkau pelaku
yang bukan pelaku lapangan.
Selanjutnya,
definisi kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Undang-Undang 26 Tahun 2000 tidak
mencantumkan ketentuan huruf (k) dalam Statuta Roma yang berisi : “tindakan-tindakan
tidak berperikemanusiaan lain yang mempunyai sifat yang sama yang dengan
sengaja menyebabkan penderitaan yang luar biasa atau luka yang serius terhadap
kesehatan tubuh atau mental”. Dikhawatirkan definisi kejahatan terhadap kemanusiaan
dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak dapat mengakomodir bentuk-bentuk
kejahatan terhadap kemanusiaan lain yang sudah berkembang dewasa ini.
Ketidakteraturan
padanan bahasa Indonesia yang dikutip dari teks asli dalam hal ini Statuta Roma
juga dapat terlihat dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Tanggung Jawab Komando yang berbunyi:
(1) Komandan
militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat
dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam
jurisdiksi Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang dilakukan pasukan yang berada di
bawah komando dan pengendaliannya yang efektif atau di bawah kekuasaan dan
pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari
tidak dilakukannya pengendalian pasukan secara patut, yaitu:
a) komandan
militer atau seseorang tersebut mengetahui, atau atas dasar keadaan saat itu,
seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja
melakukan pelanggaran berta hak asasi manusia; dan
b) Komandan
militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan
dalam ruang lingkup kekuasannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan
tersebut atau menyerahkan pelakunya pada pejabat yang berwenang untuk dilakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan;
(2) Seseorang
atasan, baik polisi maupun sipil lainnya bertanggung jawab secara pidana
terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia yang dilakukan oleh bawahannya
yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan
tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan
benar
a.
atasan tersebut
mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas
menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran
berat hak asasi manusia; dan
b.
atasan tersebut tidak
mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya
untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya
pada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan” (penulisan huruf miring dan garis bawah oleh penulis).
Pasal
42 Undang-Undang ini menggunakan istilah ‘dapat’ dan menghilangkan kata ‘secara
pidana’ sedangkan dalam teks asli Pasal 28 (a) Statuta Roma menggunakan istilah
‘shall be criminally responsible’ yang padanan katanya adalah ‘harus bertanggung
jawab secara pidana’. Hal ini dapat menimbulkan penafsiran ganda bagi kalangan
penegak hukum karena dapat diartikan bahwa seorang komandan ‘tidak selalu harus’
dipertanggungjawabkan secara pidana atas tindakan bawahannya. Penggunaan istilah
‘dapat ‘ dan penghilangan kata ‘secara pidana’ ini tidak sejalan dengan maksud dari
Pasal 28 (a) Statuta Roma, juga dengan Pasal 42 (b) Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 jo Pasal 28 (b) Statuta Roma479. Pasal 42 adalah pasal yang penting dalam Undang-undang
Nomor 26 Tahun 2000 karena pasal ini merupakan dasar hukum bagi komandan
militer atau individu lain yang berada dalam posisi atasan atau pemegang kekuasaan
komando lainnya untuk bertanggungjawab secara pidana atas kelalaian atau kegagalannya
untuk melaksanakan pengendalian terhadap anak buahnya sehingga terjadi
kejahatan internasional. Hampir semua terdakwa Pengadilan Hak Asasi Manusia baik
Ad Hoc (untuk kasus Timor-Timur dan Tanjung Priok) serta permanen (untuk kasus
Abepura) dituntut berdasarkan pasal 42 ini, karena sebagian besar dari mereka adalah
seorang atasan baik sipil maupun militer. Dan dengan ketidakteraturan penggunaan
padanan bahasa Indonesia dalam pasal ini, tidak mengherankan apabila sebagian
besar dari mereka diputus bebas oleh Pengadilan.
Pengadilan
Hak Asasi Manusai Indonesia berwenang untuk mengadili pelanggaran berat hak
asasi manusia setelah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 berlaku. Bagi
pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 diundangkan maka, seperti yang diatur dalam Pasal 43, dilaksanakan
oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc yang dibentuk dengan Keputusan
Presiden berdasarkan usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ini merupakan perkecualian
dari azas non-retroaktif, di mana seseorang tidak dapat diadili atas hukum yang
berlaku surut yakni berdasarkan undang-undang yang pada saat tindak pidana itu dilakukan
belum diundangkan. Dalam hal pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc
harus berdasarkan usul dari DPR, Undang-Undang ini tidak menerangkan lebih
lanjut mengenai prosedur yang harus ditempuh hingga akhirnya DPR mengusulkan
kepada Presiden bahwa “situasi tertentu” merupakan pelanggaran berat hak asasi
manusia. Hal ini seringkali disalahtafsirkan bahwa DPR-lah yang berwenang untuk
menentukan bahwa suatu peristiwa merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia
atau bukan, padahal sebagai lembaga politik DPR tidak memiliki kewenangan
sebagai penyelidik yang merupakan tindakan judicial dan merupakan kewenangan
Komnas HAM seperti yang diatur dalam Undang-Undang.
Sejak
diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 sembilan peristiwa yang diduga
merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia telah diselidiki oleh Komnas HAM.
Peristiwa-peristiwa tersebut menurut urutan waktu terjadinya adalah peristiwa
Tanjung Priok 1984, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti 1998, Peristiwa
Semanggi 1998, Peristiwa Semanggi 1999, Peristiwa Timor Timur 1999, Peristiwa
Abepura 2000, Peristiwa Wasior 2001-2002, dan Peristiwa Wamena 2003. Penyelidikan
peristiwa-peristiwa di atas dilakukan oleh Komnas HAM dengan membentuk tim ad
hoc sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000, sampai dengan 2001 dengan nama “Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak
Asasi Manusia” (KPP HAM) dan, sejak 2003, dengan nama “Tim ad hoc Penyelidikan”
(Tim ad hoc). Liputan peristiwa yang diselidiki oleh tim ad hoc dapat
mencakup hanya satu peristiwa saja (dalam hal ini KPP HAM Peristiwa Tanjung Priok
1984, KPP HAM Peristiwa Timor Timur 1999, KPP HAM Peristiwa Abepura 2000, dan
Tim Ad Hoc Peristiwa Kerusuhan Mei 1998) atau lebih dari satu peristiwa (dalam
hal ini KPP HAM Trisakti 1998, Semanggi 1998, dan Semanggi 1999 serta Tim ad
hoc Peristiwa Wasior 2001 – 2002 dan Peristiwa Wamena 2003).
Kemudian
sebagai kelanjutan dari penyelidikan KPP HAM Peristiwa Timor Timur dan Tanjung
Priok, telah didirikan dua buah Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc. Kedua
Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc tersebut dibentuk berdasarkan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2001 yang ditetapkan tanggal 23
April 2001 yang bertugas untuk mengadili pelanggaran berat hak asasi manusia
yang terjadi di Timor-Timur pasca jajak pendapat dan Tanjung Priok pada tahun
1984. Dengan Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2001 yang ditetapkan tanggal 1
Agustus 2001 telah dirubah tempus delicti dan locus delicti sehingga
kewenangan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc lebih dibatasi hanya untuk
mengadili pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi di Timor-Timur dalam
wilayah Liquica, Dili dan Suai pada bulan April 1999 dan September 1999, dan
yang terjadi di Tanjung Priok pada bulan September 1984. Sebagai tindak lanjut
dari Keppres tersebut beberapa hakim Ad Hoc telah diangkat dengan Keputusan
Presiden untuk mendampingi hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia tingkat pertama,
banding dan Hakim Agung di tingkat kasasi.
Selain
itu, untuk menindaklanjuti laporan KPP HAM untuk peristiwa Abepura tahun 2000,
maka Pengadilan Hak Asasi Manusia di Makassar merupakan Pengadilan Hak Asasi
Manusia permanen yang pertama yang berwenang untuk mengadili para pelaku yang
diduga melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia di Abepura.
Hukum
Acara yang digunakan dalam Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia adalah Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun kejahatan yang diatur dalam
Undang-Undang 26 Tahun 2000 adalah extra-ordinary crimes yang “berdampak
secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan
tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (Penjelasan,
I, Umum, alinea ke-8, angka 1). Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 adalah lex specialis dengan konsekuensi bahwa di dalamnya terdapat ketentuan
yang menyimpang dari ketentuan yang terdapat dalam KUHP, seperti dijelaskan
pada paragraph sebelumnya tentang penerapan asas retroaktif. Pasal hukum acara
dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 seluruhnya berjumlah 24 Pasal (Pasal
10-Pasal 33). Diawali oleh pasal yang merupakan ketentuan umum yang menetapkan
bahwa “Dalam hal tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini, hukum acara
atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan
hukum acara pidana” (Pasal 10). Beberapa aturan beracara baru yang diatur dalam
Undang-Undang 26 Tahun 2000 dan mengecualikan aturan yang sama dalam KUHAP,
diantaranya:
a.
pembentukan penyelidik
ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad hoc, dan hakim ad hoc;
b.
penyelidik hanya
dilakukan oleh Komnas HAM sedangkan penyidik tidak diperkenankan menerima
laporan atau pengaduaan sebagaimana diatur dalam KUHAP;
c.
diperlukan ketentuan
mengenai tenggang waktu tertentu melakukan penyidikkan, penuntutan dan
pemerikasaan pengadilan;
d.
ketentuan mengenai
korban dan saksi;
Walaupun
terdapat aturan-aturan baru tersebut, pada prakteknya masih terdapat aturan-aturan
beracara yang tidak terakomodasi baik dalam KUHAP maupun dalam Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 seperti misalnya dasar hukum sub poena power yang
dimiliki penyelidik dalam hal ini Komnas HAM.486 Mengingat kejahatan yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 ini adalah bukan tindak pidana biasa
maka selayaknya juga dibuat Hukum Acara yang khusus (seperti halnya Rules of
Procedure and Evidence ICC) yang berbeda dengan hukum acara untuk tindak
pidana biasa seperti yang diatur dalam KUHAP.
Dalam
hal penyelidikan pelanggaran berat hak asasi manusia merupakan kewenangan
Komnas HAM, sedangkan penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh Jaksa Agung
berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM.488 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
memisahkan lembaga penyelidik dan lembaga penyidik dengan pertimbangan bahwa
lembaga yang ditetapkan sebagai lembaga penyelidik adalah lembaga yang
independen dengan maksud agar, karena independensinya ini, hasil penyelidikannya
dapat dijamin objektivitasnya. Namun, seringkali terjadi perbedaan pendapat
antara kedua lembaga tersebut dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak
mengatur mekanisme penyelesaiannya. Situasi demikian akan menyebabkan terhentinya
proses penyelesaian planggaran berat hak asasi manusia yang bersangkutan, hal
yang tidak selaras dengan upaya penegakan hukum dan keadilan.
Pemeriksaan
perkara di Pengadilan Hak Asasi Manusia dilaksanakan paling lama 180 hari, dan
dilakukan oleh Majelis Hakim yang terdiri dari 3 hakim ad hoc dan 2 hakim karir
yang diketuai oleh Hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia. Di Pengadilan Tinggi
pemeriksaan dilakukan paling lama 90 hari sejak diterimanya berkas perkara, dan
majelis hakim terdiri dari 3 hakim ad hoc dan 2 hakim karir. Pemeriksaan di
tingkat kasasi harus diselesaikan paling lama 90 hari dengan majelis hakim yang
terdiri dari 3 hakim ad hoc dan 2 hakim karir. Dalam prakteknya, khususnya
dalam praktek Pengadilam Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor-Timur, hampir di
setiap pemeriksaan perkara di tingkat pertama melampaui tenggang waktu yang
ditentukan oleh undang-undang.
Mengenai
penetapan hakim karir Pengadilan Hak Asasi Manusia, selama ini murni menjadi
kewenangan Ketua Mahkamah Agung, karena tidak ada satupun ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang mengaturnya. MA juga tidak menyebutkan
kriteria yang diugunakannya untuk memilih hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Para hakim tertentu dipanggil Mahkamah Agung untuk mengikuti program diklat,
dengan rangkaian diskusi didalamnya dan tingkat keaktifan mereka dalam mengkuti
diskusi tersebut yang diduga menjadi dasar terpilih/tidaknya mereka sebagai hakim
Pengadilan Hak Asasi Manusia. karena itu proses penetapan Hakim karir Pengadilan
Hak Asasi Manusia ini dinilai banyak kalangan berlangsung tidak transparan.
Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 juga tidak mengatur mekanisme yang jelas mengenai penetapan
hakim Ad Hoc. Satu-satunya ketentuan mengenai hal ini adalah pada pasal 28 (1)
yang menyebutkan Hakim Ad Hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku
Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung. Rekrutmen Hakim Ad Hoc pertama
tahun 1999 hanya dilakukan oleh Tim seleksi Mahkamah Agung tanpa melibatkan stake
holders yang lebih luas. Hal ini dikarenakan target waktu yang sangat
terbatas. Sistem rekrutmen dilaukan berdasarkan sistem penjaringan di mana
wilayah penjaringan dibatasi hanya pada akademisi hak asasi manusia dari perguruan
tinggi/fakultas hukum yang memiliki Pusat Studi Hak Asasi Manusia. Pengangkatan
Hakim Ad Hoc dilakukan melalui Keppres Nomor 6/M Tahun 2002. Dalam Keppres
tersebut juga tidak disebutkan di mana Hakim Ad Hoc akan ditempatkan, hanya
disebutkan pada Pengadilan Hak Asasi Manusia tingkat pertama dan tingkat
banding. Pengaturan tersebut berbeda bagi Hakim Ad Hoc pada tingkat kasasi.
Jika rekrutmen Hakim Ad Hoc tingkat pertama dan banding pencalonannya diusulkan
oleh Mahkamah Agung untuk kemudian diangkat oleh Presiden, pada tingkat Mahkamah
Agung pengusulan calonnya dilakukan oleh DPR. Dalam Pasal 33 (4) Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 disebutkan bahwa “Hakim Ad Hoc di Mahkamah Agung dinagkat
oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia”.
Mengenai
ketentuan pidana, bagi kejahatan yang diatur dalam pasal 8 a,b,c,d,e diancam dengan
pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya
25 tahun atau sekurangnya 10 tahun. Bagi kejahatan tercantum dalam pasal 9
a,b,c,d,e atau j, dipidana dengan pidana mati, atau pidana seumur hidup atau pidana
penjara selama-lamanya 25 tahun atau pidana penjara paling singkat 10 tahun. Bagi
kejahatan sebagaimana diatur dalam pasal 9 c atau f, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 tahun dan paling singkat 5 tahun. Bagi kejahatan yang diatur dalam
pasal 9 g, h, dan I dipidana penjara selama-lamanya 20 tahun dan paling singkat
10 tahun. Adanya aturan pidana minimum dalam Undang-Undang ini memang termasuk
janggal, mengingat ketentuan pidana minimum ini tidak pernah diatur dalam kovenan-kovenan
internasional termasuk Statuta Roma.
Dalam
hal pemidaan, Pengadilan Hak Asasi Manusia baik Ad Hoc (Timor Timur dan Tanjung
Priok) serta Pengadilan Hak Asasi Manusia permanen untuk Abepura memperlihatkan
bahwa hampir semua terdakwa diputus bebas.
Pasal
11 sampai dengan 17 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 memberikan kewenangan
untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap tersangka pelaku pelanggaran
berat hak asasi manusia dan lama waktu penahanan serta selama proses persidangan
dan kasasi ke Mahkamah Agung. Undang-Undang ini mengatur mengatur mengenai
batas waktu maksimal untuk melakukan penahanan sejak tahap penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan persidangan, banding dan kasasi. Dalam praktek Pengadilan Hak Asasi
Manusia Ad-Hoc Timor Timur, ketentuan ini tidak diterapkan, termasuk mereka
yang dihukum dalam pengadilan tingkat pertama dan sedang menunggu proses banding.
Tidak ditahannya para terdakwa tersebut jelas bertentangan dengan aturan dalam
KUHP mengingat ancaman hukuman yang dikenakan terhadap para terdakwa tersebut
adalah lebih dari lima tahun dan KUHP menyatakan bahwa:
“Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap
tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/percobaan maupun pemberian
bantuan dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima
tahun/lebih…”
Tempat
dan kedudukan Pengadilan Hak Asasi Manusia yaitu di daerah kabupaten atau
daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang
bersangkuta. Untuk DKI Jakarta, Pengadilan Hak Asasi Manusia berkedudukan disetiap
wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Dan untuk pertama kalinya pada
saat Undang-Undang ini berlaku, Pengadilan Hak Asasi Manusia dibentuk di :
1.
Jakarta Pusat: mencakup
wilayah DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, Lampung,
Bengkulu, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah;
2.
Surabaya: mencakup
wilayah Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Timur, NTB dan NTT;
3.
Makassar: mencakup
Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku
Utara dan Irian Jaya;
4.
Medan: mencakup wilayah
Provinsi Sumatera utara, DI Aceh, Riau, Jambi, dan Sumatera Barat.
Seperti
yang telah disinggung di atas, hingga saat ini baru Pengadilan Hak Asasi Manusia
Makassar yang telah bersidang untuk mengadili kasus pelanggaran hak asasi manusia
berat di Abepura Papua. Mengenai pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia ini,
muncul beberapa pertanyaan bagaimana jika kemudian dirasa dibutuhkan Pengadilan
Hak Asasi Manusia selain dari 4 pengadilan tersebut, dan apakah bentuk hukum
yang tepat untuk itu apakah harus menggunakan Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan
lain mengingat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak memberikan penjelasan
mengenai hal tersebut.
Sehubungan
dengan pelanggaran berat hak asasi manusia, pelindungan korban dan saksi adalah
salah satu masalah yang perlu diberikan perhatian yang sungguh-sungguh. Perlindungan
saksi tersebut juga mencakup pemberian ganti kerugian bagi korban dan keluarganya
termasuk kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 telah memberikan jaminan perlindungan saksi dan korban seperti yang diatur
dalam pasal 34 dan 35, di mana tata cara pelaksanaannya diatur dalam Peraturan pemerintah
Nomor 2 Tahun 2002 tentang perlindungan korban dan saksi bagi pelanggaran berat
hak asasi manusia dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang
Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap korban pelanggaran berat hak
asasi manusia.
Namun,
dalam perlindungan saksi dan korban, praktek Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad
Hoc untuk Timor Timur dan Tanjung Priok membuktikan masih sangat minim dan
belum memadai. Misalnya, ruang sidang dapat dengan mudahnya dimasuki oleh
orang-orang yang tidak berkepentingan dan tidak ada perahasiaan identitas saksi
terhadap publik. Alasan lainnya adalah tidak adanya safe house,
perlakuan aparat terhadap korban dan saksi, kurangnya persiapan dan pengalaman
aparat, dan alasan biaya sehingga banyak saksi yang tidak mau hadir ke
persidangan. Akibat ketidakhadiran saksi maka kebenaran tidak terungkap dengan
baik sehingga keputusan tidak memenuhi rasa keadilan. Di samping itu asas peradilan
yang cepat dan hemat pun tidak tecapai karena seringnya pengunduran/perobahan
jadwal persidangan akibat ketidakhadiran saksi.
Mengenai
kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
menyatakan bahwa “setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan
atau ahli warisnya dapat memperoleh kempensasi, restitusi, dan
rehabilitasi” (Pasal 35 ayat (1)) (huruf tebal oleh penulis). Penggunaan kata
dapat memberikan konsekuensi hukum bahwa kompensasi, restitusi, dan
rehabilitasi tidak diakui oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 sebagai “hak”
dan hanya diberikan kepada korban Pelanggaran berat hak asasi manusia atau ahli
warisnya apabila dicantumkan dalam keputusan Pengadilan Hak Asasi Manusia, atau
sesuai dengan tuntutan penuntut umum. Sehingga kata “dapat” menjadikan
kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi tidak harus (huruf tebal
oleh penulis) diberikan kepada korban Pelanggaran berat HAM atau ahli warisnya.
Sementara
itu dalam prakteknya, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia baik Ad Hoc (Timor
Timur dan Tanjung Priok) maupun permanen (Abepura) belum pernah menerapkan
pemberian ganti rugi baik dalam bentuk kompensasi (dari Negara), maupun restitusi
(dari pelaku) kepada korban. Hal yang sama juga terjadi dalam kasus pelanggaran
berat hak asasi manusia di Abepura. Beberapa korban mengajukan permohonan
kompensasi, namun karena semua terdakwa dibebaskan bahkan pelanggaran berat hak
asasi manusia-pun dinyatakan tidak terbukti, maka semua korban tidak diberikan
kompensasi.
Selain
melaksanakan penghukuman bagi pelaku, pemberian kompensasi kepada korban
merupakan salah satu bentuk tanggungjawab negara (state responsibility)
ketika terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia di wilayahnya. Karena itu,
idealnya pemberian kompensasi ini tidak harus menunggu pelaku atau pihak ketiga
tidak mampu untuk memenuhi tanggungjawabnya, namun merupakan kewajiban yang
sudah melekat bagi negara. Definisi ini sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 1
(6) Undang-Undang KKR Nomor 3 Tahun 2004, dan seharusnya definisi inilah yang
diterapkan dalam praktek Pengadilan Hak Asasi Manusia kita sehingga dibebaskan
atau dihukumnya terdakwa tidak akan mempengaruhi kewajiban negara untuk
memberikan kompensasi bagi korban pelanggaran berat hak asasi manusia.
C.
Kesimpulan
Pendirian
Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia memang tidak lepas dari tekanan
masyarakat internasional kepada Pemerintah Indonesia untuk segera mengadili para
pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Timor Timur. Pendirian Pengadilan
ini merupakan salah satu bentuk usaha Indonesia untuk memenuhi kewajiban
internasionalnya memaksimalkan mekanisme hukum nasional untuk menangani
pelanggaran hak asasi manusia di dalam negerinya (exhaustion of local remedies).
Hal ini tentu saja untuk mencegah masuknya mekanisme hukum internasional untuk
mengadili warganegara Indonesia yang diduga melakukan pelanggaran berat hak
asasi manusia. Karena dalam hukum internasional, pengadilan internasional tidak
dapat secara serta merta menggantikan peran pengadilan nasional tanpa melewati
peran pengadilan nasional suatu negara.
Namun,
pendirian Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia tidak berarti menutup kemungkinan
dibentuknya Pengadilan Hak Asasi Manusia Internasional Ad Hoc bagi Indonesia
apabila Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia tidak berjalan sesuai dengan
standar internasional. Ukuran-ukuran kegagalan pengadilan nasional tersebut adalah
ketidakinginan mengadili dan ketidakmampuan. Hal ini berarti bahwa Indonesia harus
memperlihatkan keseriusannya untuk memberikan jaminan perlindungan hak asasi
manusia terhadap warganegaranya khususnya melalui mekanisme penegakan hukum hak
asasi manusia di Indonesia.
Memang
tidak dapat dipungkiri bahwa masih terdapat banyak sekali kekurangan dalam
Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, baik dari segi instrumen hukum, infrastruktur
serta sumber daya manusianya yang bermuara pada ketidakpastian hukum karena
tidak dapat dituntaskannya proses penyelesaian pelanggaran berat hak asasi manusia.
Hal ini tentu saja harus segera dibenahi selain untuk pengefektifan sistem hukum
nasional Indonesia, juga untuk meminimalkan adanya celah mekanisme internasional
untuk mengintervensi sistem hukum Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar