BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR
BELAKANG MASALAH
Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya termasuk
perekonomianya masih bercorak agraria, sehingga tanah merupakan bagian dari
kehidupan manusia yang sangat penting karena seluruh aktifitas kehidupan
manusia tergantung pada tanah. Dalam rangka memakmurkan rakyat secara adil dan
merata sebagai bagian dari tujuan pembangunan nasional, harus dilaksanakan
melalui berbagai bidang, sehingga tercipta sebuah keadaan bahwa melalui
penguasaan dan pengunaan tanah yang tersedia, rakyat dapat memenuhi semua
kebutuhan dengan memuaskan.
Sebagai Negara tropis yang sebagian besar rakyatnya bekerja sebagai
petani, sudah tentu tanah merupakan hal yang sangat penting. Untuk itu
pengaturan-pengaturan penggunaan tanah harus dibuat secara baik dan teratur
agar bermanfaat untuk negara dan rakyat.
Masalah tanah tak akan ada habisnya, karena tanah merupakan hal yang
sangat dibutuhkan semua lapisan masyarakat, tidak hanya petani, namun orang
umum pun sangat butuh tanah untuk tinggal di suatu tempat.
Tanah merupakan sumber daya alam yang di karuniai oleh tuhan YME untuk
manusia maka dari itu kita wajib untuk menjaga dan membuat bagaimana tanah itu
menjadi bermanfaat untuk memakmurkan kita semua, bahkan dalam Undang – Undang
No. 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok–Pokok Agraria yang biasa
disebut Undang–Undang Pokok Agraria (UUPA). Mengisyaratkan bahwa tanah itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh negarasebagai organisasi seluruh rakyat.
Secara konstitusional, UUD 1945 dalam Pasal 33 Ayat (3) menyatakan bahwa:
”Bumi, Air, Ruang Angkasa serta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar–besarnya untuk
kemakmuran rakyat”.
Ketentuan undang-undang dasar tersebut, dapat kita pahami bahwa
kemakmuran rakyatlah tujuan utama Negara dalam memanfaatkan bumi, air, ruang
angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Rakyat menjadi objek
utama demi kesejahteraan semua, pembentukan Undang–Undang Pokok Agraria (UUPA)
itulah yang menjadi alasan utama, untuk menjalankan perintah undang-undang
dasar.
Dengan mulai berlakunya Undang–Undang Pokok Agraria (UUPA) terjadi
perubahan fundamental pada hukum Agraria di Indonesia, terutama hukum di bidang
pertanahan, yang kita sebut hukum tanah, yang dikalangan pemerintah dan umum
juga dikenal sebagai hukum agrarian. Peraturan yang di unifikasi inilah menjadi
penting untuk dibahas, ketika kita melihat sejarah pembentukannya. Sejauh mana
undang-undang ini telah memberikan kepastian hukum dan memakmurkan rakyat yang
lebih kurang sudah berjalan selama 51 tahun ini, dan bagaimana pengaturan
tentang agraria sebelum terbentuknya Undang–Undang Pokok Agraria (UUPA) ini.
I.2. RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana latar
belakang lahirnya dan tujuannya UU No 5 Tahun 1960 ?
2.
Bagaimana hal-hal yang penting dalam
UU No 5 Tahun 1960 ?
3.
Bagaimana hak-hak atas tanah menurut
UU No 5 Tahun 1960 ?
4.
Bagaimana hak atas tanah sebelum
UUPA ?
5.
Bagaimana dengan ketentuan konversi
?
I.3. TUJUAN
DAN MANFAAT
1. Untuk
mengetahui bagaimana latar belakang lahirnya dan tujuannya UU No 5 Tahun 1960.
2.
Untuk mengetahui bagaimana hal-hal
yang penting dalam UU No 5 Tahun 1960.
3.
Untuk mengetahui bagaimana hak-hak
atas tanah menurut UU No 5 Tahun 1960.
4.
Untuk mengetahui bagaimana hak atas
tanah sebelum UUPA.
5.
Untuk mengetahui bagaimana ketentuan
konversi.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. LATAR BELAKANG LAHIRNYA DAN
TUJUANNYA UU NO 5 TAHUN 1960
Latar belakang lahirnya UU No 5 Tahun 1960 adalah pada intinya sebagai
berikut :
1)
Peran hukum agraria yang lama disusun
berdasarkan kepentingan penjajah.
2)
Hukum agraria lama bersifat feodal.
3)
Hukum agraria lama bersifat
dualistis/dualisme.
4)
Hukum agraria lama tidak menjamin
kepastian hukum.
Sejarah lahirnya UU No 5 Tahun 1960
Proses penyusunan rancangan UUPA dilakukan oleh panitia-panitia yang
berganti-ganti 5 kali selama kurang lebih 12 tahun panitia rancangan, yaitu
Panitia Agraria Yogyakarta, Panitia Agraria Jakarta, Panitia Soewahjo,
Rancangan Soenaryo dan Rancangan Sadjarwo.
Secara garis besar hasil pekerjaan panitia-panitia itu sebagai berikut:
A. Panitia Agraria Yogyakarta
Usaha yang dilakukan untuk membentuk rancangan hukum nasional, agar
terhapusnya hukum colonial belanda, yaitu berdasarkan Penetapan Presiden RI No.
16 Tahun 1948 tanggal 21 Mei 1948 dibentuklah Panitia Agraria Yogyakarta, yang
mengusulkan :
(1)
Meniadakan asas domein dan hak ulayat, yaitu hak masyarakat hukum adat.
(2)
Mengadakan peraturan mengenai hak perseorangan yang kuat, yaitu hak milik atas
tanah.
(3)
Mengadakan study perbandingan ke negara tetangga sebelum menetukan apakah orang
asing dapat pula mempunyai hak milik atas tanah.
(4)
Mengadakan penetapan luas minimum pemilik tanah agar para petani kecil dapat
hidup layak, untuk pulau Jawa diusulkan 2 (dua) hektar.
(5) Mengadakan
penetapan luas maksimum pemilikan tanah dengan tidak memandang jenis tanahnya,
untuk Pulau Jawa diusulkan 10 (sepuluh) hektar.
(6)
Menganjurkan menerima skema hak-hak atas tanah yang diusulkan oleh Panitia ini
oleh Sarimin Reksodiharjo.
(7)
Mengadakan pendaftaran tanah milik.
2. Panitia Agraria Jakarta
Hingga tahun 1951 Panitia Agraria Yogyakarta belum dapat menyelesaikan
tugasnya karena terjadi perubahan bentuk pemerintah dari RIS ke Negara Kesatuan
RI. Setelah pusat pemerintahan Yogyakarta pindah ke jakarta, disebut Panitia
Agraria Jakarta, maka Panitia Agraria Yogyakarta dibubarkan dan dibentuk
Panitia baru yang berkedudukan di Jakarta, disebut Panitia Agraria Jakarta.
Panitia ini diketuai oleh Sarimini Reksodihardjo. Dalam laporannya kepada pemerintah
mengenai tanah pertanian, panitia ini mengusulkan:
(1).
Mengadakan batas minimum pemilikan tanah, yaitu 2 (dua) hektar.
(2).
Menentuukan batas maksimum pemilikan tanah, yaitu 25 (dua puluh lima) hektar
untuk satu kelarga.
(3) Yang
dapat memiliki tanah pertanian hanya warga negara Indonesia, sedangkan badan
hukum tidak diperkenankan.
(4) Untuk
pertanian kecil diterima bangunan-bangunan hukum
(5) Hak
ulayat disetujui untuk diatur
3. Panitia Soewahjo
Karena panitia Agraria Jakarta tidak dapat menyelesaikann penysunan
rancangan UUPA Nasional dalam waktu singkat, maka dengan Keputusan Presiden No.
1 Tahun 1956 tanggal 14 Januari 1956 Panitia Agraria Jakarta dibubarkan dan
dibentuk panitia Negara Urusan Agraria yang diketuai oleh Soewahajo Sumudilogo.
Panitia ini berkedudukan di Jakarta. Dalam waktu satu tahun, tepatnya tanggal 1
januari 1957 Panitia ini telah merampungkan penyusunan rancangan UUPA. Karena
tugasnya telah selesai, maka dengan Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1958
tanggal 6 Mei 1958 Panitia ini dibubarkan.
4. Rancangan Soenarjo
Setelah diadakan perubahan sistematika dan rumusan beberapa Pasal,
Rancangan Panitia Soewahjo diajukan oleh Menteri Soenarjo ke Dewan Perwakilan
Rakyat. Untuk membahas rancangan tersebut, DPR perlu mengumpulkan bahan-bahan
yang lebih lengkap. Untuk itu, DPR mintah kepada Universitas Gajhah Mada
Yogyakarta untuk menyumbangkan pikirannya mengenai rancangan UUPA. Setelah
menerima bahan dari Universitas Gajhah Mada, dibentuklah Panitia Kerja ((Ad
Hoc) yang terdiri dari :
Ketua merangkap anggota : A. M. Tambunan
Wakil Ketua Merangkap anggota : Mr. Memet Tanumidjaja
Anggota-anggota : Notosoekardjo, Dr. Sahar glr Sutan Besar, K.H.
Muslich, Soepeno adisiwojo, I. J. Kasimo. Selain dari Universitas Gajhah
Mada, bahan-bahan diperoleh juga dari Mahkamah Agung RI ayang diketuai oleh Mr.
Wirjono Prodjodikoro.
5. Rancangan Sadjarwo
Melalui
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diberlakukan kembali UUD 1945. Karena rancangan
Soenarjo disusun berdasarkan UUDS 1950, maka pada tanggal 23 Maret 1960
rancangan terbut ditarik kembali. Dalam rangka menyesuiakan rancangan UUPA
dengan UUD 1945, perlu diminta saran dari Universitas Gajhah Mada. Untuk itu,
pada tanggal 29 Desember 1959, Menteri Agraria Mr. Sadjarwo berserta stafnya
Singgih Praptodihardjo, Mr. Boedi Harsono, Mr. Soemitro pergi ke Yogyakarta
untuk berbicara dengan pihak Universitas Gajhah Mada yang diwakili oleh Prof.
Mr. Drs. Notonagoro dan Drs. Iman Sutignyo. Setelah selesai penyesuaian dengan
UUD 1945 dan penyempurnaanya maka rancangan UUPA diajukan kepada DPRGR. Pada
hari Sabtu tanggal 24 september 1960 rancangan UUPA disetujui oleh DPRGR dan
kemudian disahkan oleh Presiden RI menjadi UU No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang lazim disebut Undang-undang Pokok.
Tujuan UU No 5 Tahun 1960
Salah satu hasil karya anak bangsa terbaik, paling monumental,
sekaligus revolusioner, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) merupakan Undang-Undang yang pertama kalinya
memperkenalkan konsep Hak Menguasai Negara. Perumusan pasal 33 dalam UUD 1945:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dari
sinilah mulanya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) terbentuk, ada perintah
Undang-Undang Dasar yang menyebutkan “dikuasai Negara”, tetapi UUD 45 tidak
merumuskan secara khusus hak mengusai yang bagaimana. Maka Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) merumuskan apa konsep “dikuasai Negara” di UUD 45 tersebut.
Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) selain merumuskan
konsep hak menguasai juga menegaskan dan menjelaskan lebih rinci tentang maksud
memakmurkan rakyat dalam UUD 45, memberikan keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia yang di tuangkan dalam
konsideran Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Dalam Penjelasan Umumnya, dinyatakan dengan jelas bahwa tujuan
diberlakukannya UUPA adalah:
a. Meletakkan
dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat
untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani,
dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
b.
Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum
pertanahan;
c.
Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak
atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Salah satu konsep penting juga didalam Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) adalah Hak Menguasai Negara dan fungsi sosial hak atas tanah. Bahwa
selain mengkonsep perintah Pasal 33 ayat 3 UUD 45, Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) juga mengeksplorasi fungsi sosial yang secara umum dirumuskan sebagai
berikut :
(a)
mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
(b)
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi,
air dan ruang angkasa;
(c)
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA tersebut
kebijakan-kebijakan pertanahan di era pemerintahan kolonial belanda mulai
ditinggalkan. Undang-undang yang disusun di era pemerintahan Presiden Soekarno
ini menggantikan Agrarische Wet 1870 yang terkenal dengan prinsip domein verklaringnya (semua tanah
jajahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan pembuktian hukum
barat, maka tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah milik negara/ milik
penjajah belanda). Agrariche Wet
adalah peraturan pertanahan yang dikeluarkan oleh pemerintahan belanda seperti Eigendom recht, erfacht recht, postal recht
dan lain-lain peraturan yang kesemuanya bertujuan untuk lebih menguatkan
bangunan hukum pada masa itu, sehingga jelas perbedaan antara hak-hak atas
tanah yang berdasarkan hukum adat dan dilain pihak berdasarkan hukum barat. Artinya
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dibentuk dalam rangka melakukan perubahan,
pembaharuan, dan terpenting adalah supremasi hukum. Agar hak-hak rakyat lebih
terjamin dan seperti yang dijelaskan dalam perintah UUD 45 untuk semata-mata
kemakmuran rakyat bagi seluruh rakyat Indonesia.
II.2. HAL-HAL YANG PENTING DALAM UU NO 5
TAHUN 1960
Tujuan dalam UU No 5 Tahun
1960
1. Dasar
bagi penyusunan hukum agraria nasional (menjadikan kesatuan, menjadikan hukum
adat)
2. Kesederhanaan
hukum agraria (huk.adat)
3. Kepastian
hukum pasal 19 UUPA (hak atas tanah harus didaftarkan)
4. Mencabut
beberapa aturan
a) dicabut
secara tegas (agraris besluit, domein, buku II BW kecuali hipotik)
b) dicabut
secara tidak tegas (termasuk seluruh peraturan yg bertentangan "larangan
pengasingan/dipindahkan tanah")
Prinsip-prinsip yang dianut
UU No 5 Tahun 1960
1. Asas
kesatuan
2. Asas
ketuhanan
3. Negara
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
- mengatur dan menyelenggarakan peruntukan
penggunaan pemeliharaan BARA
- menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
antara orang-orang dengan badan hukum
- menentukan dan mengatur hubungan hukum
antara orang-orang dengan perbuatan yangg berhubungan dengan badan hukum
4. Dipertahankannya
hak ulayat
5. Adanya
macam-macam hak atas permukaan bumi
6. Adanya
wewenang kepada pemegang hak untuk menggunakan tanahnya supaya berhubungan
langsung
7. Prinsif
landreform
8. Fungsi
sosial (pemegang hak tidak boleh bertentangan dengan kepentingan hukum)
9. RUTR
(rencana umum tata ruang)
10. Pendaftaran
tanah
11. Pencabutan
hak UU No 20 1960
12. Konversi
Hak
menguasai negara atas BARA menentukan dan mengatur hak-hak atas BARA sedangkan
Domein verjaring hanya menentukna hak menguasai tanah yang hanya ada
eigendomnya.
II.3. HAK-HAK ATAS TANAH MENURUT UU
NO 5 TAHUN 1960
Pengertian Hak Atas Tanah Menurut UUPA
Pada
pasal 33 ayat (1) UUD 1945, dikatakan bahwa :
“bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara”.
Negara sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari
Negara termaksud dalam UUPA (pasal 1 ayat 2) memberi
wewenang kepada negara untuk :
a)
mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
memeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b)
menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c)
menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
Atas dasar
hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan
adanya macam macam hak atas permukaan bumi yang
disebut tanah, yang dapat diberikan kepada
dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum (UUPA,
pasal 4 ayat 1). Pasal ini memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta
ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam
batas-batas menurut undang-undang ini dan
peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Jenis jenis Hak Atas Tanah
1.
Hak Milik
2.
Hak Guna Usaha
3.
Hak Pakai
4.
Hak Sewa
5.
Hak Membuka Tanah
6.
Hak Memungut Hasil Hutan
1. Hak Milik
·
Hak milik adalah hak turun-temurun,
terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah.
·
Hak milik dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain.
·
Hanya warganegara Indonesia dapat
mempunyai hak milik.
·
Oleh Pemerintah ditetapkan
badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya (bank
Negara, perkumpulan koperasi pertanian, badan keagamaan dan badan social)
·
Terjadinya hak milik, karena hukum
adat dan Penetapan Pemerintah, serta karena ketentuan undang-undang
·
Hak milik, setiap peralihan,
hapusnya dan pembebanannya dengan hak lain, harus didaftarkan di Kantor
Pertanahan setempat. Pendaftaran dimaksud merupakan pembuktian yang kuat.
2. Hak Guna Usaha
·
Adalah hak untuk mengusahakan tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara, guna perusahaan pertanian, perikanan atau
peternakan dengan jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka
waktu paling lama 25 tahun. Sesudah jangka waktu dan perpanjangannya berakhir
ke pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Usaha di atas tanah yang
sama.
·
Diberikan paling sedikit luasnya 5
hektar, jika lebih dari 25 hektar harus dikelola dengan investasi modal yang
layak dnegan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman.
·
Hak guna usaha dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain.
·
Hak Guna Usaha dapat dipunyai warga
negara Indonesia, dan Badan Hukum yang didirikan berdasarkan Hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia.
·
Tanah yang dapat diberikan dengan
Hak Guna Usaha adalah Tanah Negara.
·
Hak Guna Usaha terjadi karena
penetapan Pemerintah.
·
Hak Guna Usaha setiap peralihan,
hapusnya dan pembebanannya dengan hak lain, harus didaftarkan di Kantor
Pertanahan setempat. Pendaftaran dimaksud merupakan pembuktian yang kuat.
·
Hak Guna Usaha dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.
3. Hak Guna Bangunan
·
Hak guna bangunan adalah hak untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya
sendiri, yang dapat berupa tanah Negara, tanah hak pengelolaan, tanah hak milik
orang lain dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang
paling lama 20 tahun. Setelah berakhir jangka waktu dan perpanjangannya dapat
diberikan pembaharuan baru Hak Guna Bangunan di atas tanah yang sama.
·
Hak guna bangunan dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain.
·
Hak Guna Bangunan dapat dipunyai
warga negara Indonesia, dan Badan Hukum yang didirikan berdasarkan Hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia.
·
Hak Guna Bangunan terjadi karena
penetapan Pemerintah.
·
Hak Guna Bangunan setiap peralihan,
hapusnya dan pembebanannya dengan hak lain, harus didaftarkan di Kantor
Pertanahan setempat. Pendaftaran dimaksud merupakan pembuktian yang kuat.
·
Hak Guna Bangunan dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.
4. Hak Pakai
·
Hak akai adalah hak untuk
menggunakan dan/atau memeungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikan
atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian
sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang.
·
Hak pakai dapat diberikan :
1.
Selama jangka
waktu yang tertentu atau selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan yang tertentu;
2.
Dengan cuma-cuma, dengan pembayaran
atau pemberian jasa berupa apapun.
3.
Pemberian hak
pakai tidak boleh disertai syarat-syarat
yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
·
Yang dapat mempunyai hak pakai ialah
:
1.
Warga negara Indonesia
2.
Orang asing yang berkedudukan di
Indonesia
3.
Badan hukum yang didirikan menurut
hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
4.
Badan hukum asing yang mempunyai
perwakilan di Indonesia.
·
Sepanjang mengenai tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak
lain dengan izin penjabat yang berwenang.
·
Hak pakai atas
tanah milik hanya dapat dialihkan kepada
pihak lai, jika hal itu dimungkinkan dalam
perjanjian yang bersangkutan.
5. Hak Sewa
·
Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak
mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar
kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.
·
Pembayaran uang sewa dapat dilakukan
:
1.
Satu kali atau pada tiap-tiap waktu
tertentu;
2.
Sebelum atau sesudah tanahnya
dipergunakan.
3.
Perjanjian sewa
tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini
tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung
unsur-unsur pemerasan.
·
Yang dapat menjadi pemegang hak sewa
ialah :
1.
Warganegara Indonesia;
2.
Orang asing yang berkedudukan di
Indonesia;
3.
Badan hukum yang didirikan menurut
hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
4.
Badan hukum asing yang mempunyai
perwakilan di Indonesia.
6. Hak Membuka Tanah Dan Memungut Hasil Hutan
·
Hak membuka tanah dan memungut hasil
hutan hanya dapat dipunyai oleh warganegara Indonesia dan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
·
Dengan mempergunakan hak memungut
hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah
itu.
Peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena
1.
Jual beli
2.
Tukar menukar
3.
Penyertaan dalam modal
4.
Hibah
5.
Pewarisan
Hapusnya Hak Atas Tanah
1.
Jangka waktu yang berakhir
2.
Dibatalkan sebelum jangka waktunya
berakhir karena sesuatu syarat yang tidak dipenuhi
3.
Dilepaskan secara sukarela oleh
pemegan haknya sebelum jangka waktunya berakhir
4.
Dicabut untuk kepentingan umum
5.
Diterlantarkan
6.
Tanahnya musnah
7.
Beralih ke warganegara asing (khusus
Hak Milik) atau badan hukum asing (khusus HGU dan HGB)
II.4. HAK ATAS TANAH SEBELUM UUPA
Sebelum berlaku UUPA No. 5/1960 ada beberapa ketentuan yang mengatur pertanahan
yaitu :
a. Ketentuan-ketentuan yang tunduk kepada hukum perdata Barat
b. Ketentuan-ketentuan yang tunduk kepada hukum adat
(a)
Ketentuan-ketentuan yang tunduk kepada hukum perdata Barat.
Pada masa Pemerintahan Belanda banyak ada peraturan-peraturan yang
mengatur masalah pertanahan di Indonesia seperti:
1. Agrarische Wet / Stb. No. 108 tahun 1870
2. Algemeen Domeinverklaring / Stb. 199a tahun 1875
3. Domeinverklaring / Stb. No. 118 tahun 1870
4. Domeinverklaring untuk Sumatera / Stb. No. 94 f tahun 1874
5. Domeinverklaring untuk keresidenan Manado / Stb. No. 55 tahun 1877
6. Koninlijk Besluit tgl. 16 April 1872 No. 29 / Stb. No. 117 tahun
1870
7.
Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam buku II KUH Perdata Indonesia sepanjang
mengenai hypotheek.
Dengan dibentuknya Undang-Undang Pokok Agraria maka dengan tegas
menyatakan bahwa peraturan-peratuan diatas tidak berlaku lagi, karena tidak
sesuai dengan perkembangan masyarakat di Indonesia.
(b)
Ketentuan-ketentuan yang tunduk kepada hukum adat.
Negara Republik Indonesia dari Sabang hingga Maruoke berjejer
pulau-pulau yang dihuni berbagai suku, adat istiadat dan beragam agamanya hal
ini merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, dengan adanya bermacam-macam suku
atau adat istiadat memberikan kepada kita untuk menguasai, mengusahai, atau
mengerja lahan yang ada disuatu daerah tertentu, sehingga dengan hasil dari
lahan atau tanah tersebut memberikan keteraman bagi masyakarat, namun dengan
keanekaragam suku bangsa tersebut akan terlihat dengan berlakunya ketentuan
UUPA, yang sama sekali tidak akan membedakan antar suku atau adat istiadat
didalam mengusai dan memiliki lahan-lahan tersebut. Dengan demikian akan jelas
bagi kita bahwa hukum adat tersebut harus dilhilangkan sifat kedaerahannya dan
harus bersifat lebih Nasional.
II.5. KETENTUAN KONVERSI
Konversi berarti peralihan, perubahan (omzetting)/ dipersamakan dari suatu
hak kepada suatu hak lain. Pengertian ini lain dengan pengertian hak konversi.
Hak konversi menurut Vorstenlandsche Grondhuurreglement diartikan sebagai suatu
hak berdasarkan atas suatu conversiebeschikking, yaitu suatu hak dari seorang
landbouwoundernemer atas nikmat dari tanah, buruh, dan air yang diperlukan
untuk ondernemingnya. Jadi pengertian konversi dengan hak konversi itu lain.
Apabila kita membaca bahwa arti konversi itu adalah perubahan suatu hak
tertentu kepada suatu hak lain, jadi ada peralihan atau perubahan dari hak-hak
atas tanah tertentu kepada hak-hak atas tanah yang lain. Konversi bisa juga
diartikan sebagai perubahan hak lama atas tanah menjadi hak baru menurut
Undang-Undang Pokok Agraria. Perlu dijelaskan bahwa “hak lama” disini adalah
hak-hak atas tanah sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, sedangkan
hak baru memuat Undang-Undang Pokok Agraria adalah hak-hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam UUPA khususnya pasal 16 ayat 1, c.q hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai. Konversi ini sendiri terjadi
karena berdasarkan ketentuan-ketentuan konversi UUPA, kecuali mengenai Hak
Konsensi dan Hak Sewa untuk perusahaan kebun besar yang menjadi Hak Guna Usaha.
Sedangkan konversi ini terdiri dari 3 jenis:
1. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah hak Barat
2. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah bekas hak Indonesia
3. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah bekas Swapraja
Berbicara dalam hal konversi, maka yang perlu diketahui adalah:
1.
Pengetahuan mengenai hak atas tanah mengenai hak lama, baik hak atas tanah,
dengan hak barat ataupun hak tanah adat, maupun tanah swapraja.
2.
Pengetahuan peraturan tanah yang lama.
3.
Macam-macam hak atas tanah menurut hukum yang baru sebagai dimaksud dalam UUPA,
termasuk siapa-siapa saja yang boleh mempunyai hak-hak tersebut, karena
ketentuan konversi sangat erat dengan ketentuan subjek hak.
4. Tidak
semua hak dapat dikonversi UUPA, misalnya: hak erfpacht untuk pertanian kecil
dan hak milik adat.
Riwayat
Singkat Konversi
Dengan diundangkannya UUPA, sebagai dimuat dalam UU no. 5 tahun 1960,
tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria, maka sejak berlakunya UUPA tanggal
24 September 1960 itulah berlaku hak-hak atas tanah sebagaimana ditentukan
dalam pasal 16, khususnya hak-hak atas tanah primair, seperti hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. Pelaksanaan dari konversi
tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Agraria (PMA) no. 2 tahun 1960 tanggal
10 Oktober 1960 tentang pelaksanaan beberapa ketentuan UUPA bersambung PMA no.
5 tahun 1960 tanggal 24 Desember 1960, tentang penambahan PMA no. 2 tahun 1960.
Sedangkan hak-hak atas tanah asal konversi hak barat akan berakhir
selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980. Maka untuk penyelesaian hak
tanah dimaksud diatur kembali dengan Kepres no. 32 tahun 1979 tentang
pokok-pokok kebijaksanaan dalam rangka pemberian hak baru atas tanah. Asal
konversi hak-hak barat dan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri no. 3 tahun 1979 tanggal 27 Agustus 1979 tentang ketentuan mengenai
permohonan dan pemberian hak barat atas tanah asal konversi hak-hak barat.
Khusus terhadap tanah-tanah bekas hak Indonesia, yaitu tanah yang tunduk
dengan hukum adat yang sifatnya turun temurun seperti Inlandsch Bezit, Yasan,
Andarbeni, Pesini, Grant Sultan dan sebagainya yang pemiliknya pada saat
berlakunya UUPA adalah WNI, dikonversi menjadi hak milik.
Konversi Hak
Atas Tanah Bekas Hak Barat
Jenis hak atas tanah berasal bekas hak barat:
1. Hak Eigendom
a. Pengertian hak eigendom
Hak eigendom adalah hak untuk membuat suatu barang secara leluasa dan untuk
berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan
dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang
berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain.
b. Konversi hak eigendom
Mengenai konversinya, hak eigendom dapat diatur sebagai berikut:
1) Hak milik
“Apabila hak eigendom atas tanah yang ada sejak berlakunya Undang-undang
Pokok Agraria menjadi hak milik setelah memenuhi syarat sebagaimana tersebut
dalam pasal 21”
2) Hak guna bangunan
“Apabila hak eigendom itu kepunyaan orang asing, seorang warga NEGARA yang
disamping kewarganegaraannya asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh
pemerintah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 21 ayat 2, sejak berlakunya
Undang-undang ini menjadi Hak Guna Bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1
dengan jangka waktu 20 tahun”
3) Hak Pakai
“Apabila hak eigendom itu kepunyaan negeri asing yang dipergunakan untuk
keperluan rumah kediaman, Kepala perwakilan dan Gedung Kedutaan sejak mulai
berlakunya undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat 1
yang akan berlangsung selama tanahnya yang dipergunakan untuk keperluan di
atas”
4) Tidak dikonversi/ dihapus
“Apabila hak eigendom tersebut dalam ayat 3 pasal 1 ini, dibebani dengan
hak opstal atau hak erfpacht, maka hubungan antara yang mempunyai hak eigendom
tersebut dan pemegang hak opstal atau hak erfpacht selanjutnya diselesaikan
menurut pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Agraria”
2. Hak Opstal
a. Pengertian hak opstal
Hak opstal adalah suatu hak kebendaan untuk memiliki bangunan dan
tanaman-tanaman di atas sebidang tanah orang lain.
b. Konversi hak opstal
Pasal 1 Indonesia ketentuan konversi UUPA menentukan “Hak opstal dan hak
erfpacht untuk perumahan yang ada pada pada mulai berlakunya UUPA, sejak saat
tersebut menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1, yang
berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan erfpacht tersebut, tetapi
selama-lamanya 20 tahun”
Dengan demikian maka hak opstal itu dikonversi munjadi hak guna bangunan
menurut pasal 35 ayat 1 UUPA dalam jangka waktu sisa waktu dari hak opstal
sejak tanggal 24 September tersebut, dengan ketentuan maksimum 20 tahun hak
opstal yang sudah habis waktunya pada tanggal 24 September 1960 tidak
dikonversi.
Jadi dengan demikian, maka bekas yang punya hak opstal dapat mengajukan
permohonan hak baru.
3. Hak Erfpacht
a. Pengertian hak erfpacht
Hak erfpacht adalah hak untuk memetik kenikmatan seluas-luasnya dari tanah
milik orang lain, mengusahakan untuk waktu yang sangat lama.
b. Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar
1) Konversi hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar
2)
Pelaksanaan konversi bekas hak barat c.2 hak erfpacht untuk perusahaan kebun
besar
c. Hak erfpacht yang sudah habis waktunya
Pasal 15 ayat 2 PMA No. 2 /1960, menentukan: “Hak erfpacht termaksud dalam
ayat 1 pasal ini yang sudah habis waktunya dikonversi menjadi hak pakai yang
berlaku sementara sampai ada keputusan yang pasti”
d. Hak erfpacht untuk pertanian kecil
1) Konversi hak erfpacht untuk pertanian kecil
2) Pelaksanaan konversi hak erfpacht untuk pertanian kecil
e. Hak erfpacht untuk perumahan
1) Konversi
Hak erfpacht untuk perumahan pasal V UUPA menentukan:
“Hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan yang ada pada mulai berlakunya UU ini sejak saat itu menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1 yang berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun”
“Hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan yang ada pada mulai berlakunya UU ini sejak saat itu menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1 yang berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun”
2) Pelaksanaan konversi hak erfpacht untuk perumahan
4. Hak Gebruik
a. Pengertian hak gebruik
Hak gebruik adalah suatu hak kebendaan atas benda orang lain bagi seseorang
tertentu untuk mengambil benda sendiri dan memakai apabila ada hasilnya sekedar
buat keperluannya sendiri beserta keluarganya.
b. Konversi hak gebruik (Pasal VI UUPA)
Hak-hak gebruik sejak berlakunya UUPA tanggal 24 September 1960 sesuai
dengan pasal VI ketentuan konversi UUPA dikonversi menjadi hak pakai,
sebagaimana dimaksud pasal 41 ayat 1 UUPA.
5. Bruikleen
a. Pengertian bruikleen
Bruikleen adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang satu menyerahkan
benda dengan cuma-cuma ke pihak lain untuk dipakainya dengan kewajiban bagi
yang meminjam setelah benda itu terpakai untuk mengembalikan dalam waktu
tertentu.
b. Konversi bruikleen
Konversi VI ketentuan konversi UUPA menentukan:
“Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat 1, seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah yang ada pada mulai berlakunya UU ini, yaitu hak Vruchtgebruik, genggam bauntuik, anggaduh, bengkak, lungguh, pituwas dan hak-hak lain dengan nama apapun juga”.
“Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat 1, seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah yang ada pada mulai berlakunya UU ini, yaitu hak Vruchtgebruik, genggam bauntuik, anggaduh, bengkak, lungguh, pituwas dan hak-hak lain dengan nama apapun juga”.
Konversi Hak
Atas Tanah Bekas Hak-Hak Indonesia
Jenis hak-hak atas tanah berasal dari tanah bekas hak-hak Indonesia:
1. Hak Erfpacht yang altijddurend
(Altyddurende Eefpacht)
a. Pengertian hak Erfpacht yang altijddurend
Yang dimaksud dengan hak erfacht yang altijddrurend adalah hak erfacht yang
diberikan sebagai pengganti hak usaha di atas bekas tanah partikulir menurut
S.1913 – 702. (pasal 14 PMA No. 2/1960)
b. Konversi hak Erfpacht yang altijddurend
Untuk diketahui bahwa sebenarnya hak erfpacht yang altijddurend adalah
merupakan hak Indonesia. Tanahnya bisa berupa tanah bangunan, tapi juga bisa
berupa tanah pertanian. Altyddurende Eefpacht ini seperti hak-hak Indonesia
lainnya yang sejenis hak milik adat diatur dalam pasal II ketentuan-ketentuan
konversi UUPA, dan dikonversi sebagai berikut:
1) Hak milik (Pasal II ayat 1 UUPA)
2) Hak guna usaha (Pasal II ayat 2 UUPA)
3) Hak guna bangunan
2. Hak Agrarische Kegindom
a. Pengertian hak Agrarische Kegindom
Adalah suatu hak buatan semasa Pemerintah Hindia Belanda dengan maksud
memberikan kepada orang-orang Indonesia/pribumi suatu hak baru yang kuat atas
sebidang tanah.
b. Konversi hak Agrarische Kegindom
Seperti halnya hak erfpacht yang alsijdurend maka hak agrarische kigendom
merupakan hak Indonesia yang tanahnya bisa berupa tanah bangunan tetapi juga
berupa tanah pertanian. Hak Agrarische Kegindom ini seperti hak-hak Indonesia
lainnya, yang sejenis hak milik, diatur dalam pasal II ketentuan-ketentuan
konversi UUPA dapat dikonversi sebagai berikut:
1) Hak milik (pasal II ayat I UUPA)
2) Hak Guna Usaha (Pasal II ayat 2 UUPA)
3) Hak Guna bangunan
3. Hak Gogolan
a. Pengertian hak gogolan
Hak gogolan adalah hak seorang gogol atas apa yang dalam perundang-undangan
agraria dealam zaman Hindia Belanda dahulu, disebut komunal desa.
Hak golongan ini sering disebut Hak Sanggao atau hak pekulen.
Hak golongan ini sering disebut Hak Sanggao atau hak pekulen.
b. Jenis hak gogolan
Ada 2 jenis hak gogolan, yaitu:
1)
Hak gogolan yang bersifat tetap. Hak
gogolan bersifat tetap adalah hak gogolan, apabila para gogol tersebut terus
menerus memunyai tanah gogolan yang sama dan apabila si gogol itu meninggal dunia,
dapat diwariskan tertentu.
2)
Hak gogolan yang bersifat tidak
tetap. Hak gogolan yang bersifat tidak tetap adalah hak gogolan, apabila para
gogol tersebut tidak terus menerus memegang tanah gogolan yang sama atau
apabila si gogol itu meninggal dunia, maka tanah gogolan tersebut kembali pada
desa.
Konversi Hak Atas Tanah Bekas Hak Swapraja
a.
Pengertian hak atas tanah bekas hak Swapraja
Yang
dimaksud dengan daerah-daerah Swapraja yang semasa zaman Hindia Belanda dahulu
adalah daerah raja-raja atau zelfbestuurende Landschappen. Istilah swapraja
dipakai dalam:
• UUD 1945,
pasal 18
• UUDS 1950,
pasal 132
• UU no. 22
tahun 1948, disebut daerah istimewa
b.
Jenis-jenis hak tanah berasal dari tanah bekas hak Swapraja
1. Hak
Hanggaduh
a.
Pengertian hak hanggaduh
Yang
dimaksud dengan hak hanggaduh ialah hak untuk memakai tanah kepunyaan raja.
Menurut pernyataan ini, maka semua tanah Yogyakarta adalah kepunyaan raja, sedang
rakyat hanya menggaduh saja.
b. Konversi
hak hanggaduh
Dijelaskan
dalam pasal VI ketentuan konversi UUPA
2. Hak Grant
a.
Pengertian hak grant
Hak grant
adalah hak atas tanah atas pemberian raja-raja kepada bangsa asing.
b.
Jenis-jenis hak grant:
1) Grant
sultan
Hak Grant
sultan adalah merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang diberikan oleh sultan
kepada para kaula swapraja. Hak grant sultan ini didaftar di kantor pejabat
pamong praja.
2) Grant
controleur
Hak grant
controleur ini diberikan oleh sultan kepada para bukan kaula swapraja. Hak
dimaksud disebut controleur, karena pendaftarannya dilakukan di kantor
controleur. Hak ini banyak diubah menjadi hak opstal dan hak erfpacht.
3) Grant
Deli maatschappy
Hak grant
deli maatschappy ini diberikan sultan kepada Deli maatschappy. Kepada Deli
maatschappy diberi wewenang untuk memberikan bagian bagian-bagian tanah grant
kepada pihak ketiga/lain.
3. Hak
konsensi dan sewa untuk Perusahaan Kebun Besar
a.
Pengertian hak konsensi dan sewa untuk perusahaan kebun besar
Hak konsensi
untuk perusahaan kebun besar adalah hak untuk mengusahakan tanah swapraja yang
diberikan oleh kepala swapraja yang bentuknya sebagai yang ditetapkan dalam
misal: Byblad 3381, 4350, 4770, 5707.
Hak konsensi
ini tidak dapat dihipotekkan. Hak sewa untuk perusahaan kebun besar adalah hak
sewa atas tanah negara, termasuk tanah bekas swapraja untuk dipergunakan
perkebunan yang luasnya 25 Ha, atau lebih, sesuatu dengan batas yang ditentukan
dalam pasal 28 ayat 2 UUPA.
b. Konversi
hak konsensi dan sewa untuk perusahaan kebun besar
Pasal IV
ketentuan-ketentuan konversi UUPA menentukan:
Ayat 1: Pemegang
concessie dan sewa untuk perusahaan kebun besar dalam jangka waktu setahun
sejak mulai berlakunya undang-undang ini, harus mengajukan permintaan menteri
agraria, agar haknya diubah menjadi hak guna usaha.
BAB III
PENUTUP
III. 1.
KESIMPULAN
1. Latar
belakang lahirnya UU No 5 Tahun 1960 adalah pada intinya sebagai berikut :
1)
Peran hukum agraria yang lama
disusun berdasarkan kepentingan penjajah.
2)
Hukum agraria lama bersifat feodal.
3)
Hukum agraria lama bersifat
dualistis/dualisme.
4)
Hukum agraria lama tidak menjamin
kepastian hukum.
Tujuan dalam UU No 5 Tahun
1960
5. Dasar
bagi penyusunan hukum agraria nasional (menjadikan kesatuan, menjadikan hukum
adat)
6. Kesederhanaan
hukum agraria (huk.adat)
7. Kepastian
hukum pasal 19 UUPA (hak atas tanah harus didaftarkan)
8. Mencabut
beberapa aturan
c) dicabut
secara tegas (agraris besluit, domein, buku II BW kecuali hipotik)
d) dicabut
secara tidak tegas (termasuk seluruh peraturan yg bertentangan "larangan
pengasingan/dipindahkan tanah")
2. Prinsip-prinsip yang
dianut UU No 5 Tahun 1960 :
1. Asas
kesatuan
2. Asas
ketuhanan
3. Negara
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
- mengatur dan menyelenggarakan peruntukan
penggunaan pemeliharaan BARA
- menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
antara orang-orang dengan badan hukum
- menentukan dan mengatur hubungan hukum
antara orang-orang dengan perbuatan yangg berhubungan dengan badan hukum
4. Dipertahankannya
hak ulayat
5. Adanya
macam-macam hak atas permukaan bumi
6. Adanya
wewenang kepada pemegang hak untuk menggunakan tanahnya supaya berhubungan
langsung
7. Prinsif
landreform
8. Fungsi
sosial (pemegang hak tidak boleh bertentangan dengan kepentingan hukum)
9. RUTR
(rencana umum tata ruang)
10. Pendaftaran
tanah
11. Pencabutan
hak UU No 20 1960
12. Konversi
3. Jenis jenis Hak Atas
Tanah
1.
Hak Milik
2.
Hak Guna Usaha
3.
Hak Pakai
4.
Hak Sewa
5.
Hak Membuka Tanah
6.
Hak Memungut Hasil Hutan
4. Sebelum berlaku UUPA
No. 5/1960 ada beberapa ketentuan yang mengatur
pertanahan yaitu :
a. Ketentuan-ketentuan
yang tunduk kepada hukum perdata Barat
b. Ketentuan-ketentuan
yang tunduk kepada hukum adat
5. Dengan
diundangkannya UUPA, sebagai dimuat dalam UU no. 5 tahun 1960, tentang
Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria, maka sejak berlakunya UUPA tanggal 24
September 1960 itulah berlaku hak-hak atas tanah sebagaimana ditentukan dalam
pasal 16, khususnya hak-hak atas tanah primair, seperti hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. Pelaksanaan dari konversi tersebut
diatur dalam Peraturan Menteri Agraria (PMA) no. 2 tahun 1960 tanggal 10
Oktober 1960 tentang pelaksanaan beberapa ketentuan UUPA bersambung PMA no. 5
tahun 1960 tanggal 24 Desember 1960, tentang penambahan PMA no. 2 tahun 1960.
Konversi
berarti peralihan, perubahan (omzetting) dari suatu hak kepada suatu hak lain.
Konversi bisa juga diartikan sebagai perubahan hak lama atas tanah menjadi hak
baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria.
Konversi
terdiri dari beberapa jenis diantaranya:
a. Konversi
hak atas tanah, berasal dari tanah hak Barat
b. Konversi
hak atas tanah, berasal dari tanah bekas hak Indonesia
c. Konversi
hak atas tanah, berasal dari tanah bekas Swapraja
DAFTAR PUSTAKA
Boedi
Harsono Hukum Agraria
Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan Pelaksanaanya. 1999. Jakarta: djambatan.
Boedi
Harsono, Hukum Agraria
Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan Pelaksanaanya 2005. Jakarta:
djambatan.
Saudargo
Gautama, Tafsiran Undang-undang Pokok Agraria ,Alumni, Jakarta 1973.
AP.Parlindungan
, berbagai aspek Pelaksanaan UUPA, penerbit Alumni Bandung, 1973.
Chomzah, Ali
Achmad. 2004. Hukum Agraria (Pertanahan)
Indonesia, jilid I. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.
Mustafa,
Bachsan. 1988. Hukum Agraria dalam
Perspektif. Bandung: Penerbit Remadja Karya CV.
Perangin,
Effendi. 1994. 401 Pertanyaan dan Jawaban
tentang Hukum Agraria. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Soimin,
Soedharyo. 1994. Status Hak dan
Pembebasan Tanah. Jakarta: Sinar Grafika.
-------------------------------------------------------
Undang-Undang
No. 5 tahun 1960
Terima kasih
BalasHapusKunjungi