Sekadar Perbandingan Undang-Undang No. 40 Tahun 2014
tentang Perasuransian dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian
Belum lama ini, Dewan Perwakilan Rakyat
telah mengesahkan undang-undang mengenai asuransi yang baru, yaitu
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian menggantikan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Secara umum,
terdapat banyak perbedaan antara Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992. Banyak ketentuan di undang-undang asuransi
yang baru yang sebelumnya tidak diatur oleh undang-undang asuransi yang lama.
UU No. 40 Tahun 2014 memiliki 92 pasal yang terbagi dalam 18 bab. Sedangkan UU
No. 2 Tahun 1992 memiliki 28 pasal yang terbagi dalam 13 bab. Dari segi
substansi, undang-undang asuransi yang baru mengatur lebih lengkap dibandingkan
dengan undang-undang asuransi yang lama dilihat dari jumlah rumusan pasal dan
jumlah bab yang tercantum. Namun demikian, perbedaan yang paling signifikan
antara UU No. 40 Tahun 2014 dan UU No. 2 Tahun 1992 adalah peralihan fungsi
pengaturan dan pengawasan terhadap asuransi dari Menteri Keuangan kepada
Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga
negara di Indonesia yang baru terbentuk pada tahun 2011 oleh Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. OJK berfungsi
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap
keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.[1]
OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan tersebut terhadap: (i)
kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; (ii) kegiatan jasa keuangan di
sektor Pasar Modan; dan (iii) kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian,
Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.[2] Berdasarkan
undang-undang, OJK resmi mengambil alih fungsi pengawasan perbankan dari Bank
Indonesia sebagai bank sentral dan pengawasan sektor jasa keuangan non-perbankan
dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Proses
transisi tahap pertama dilakukan pada akhir tahun 2012, di mana kegiatan jasa
keuangan di sektor pasar modal dan sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga
pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya dialihkan dari Bapepam-LK kepada
OJK.[3]
Sebelum lahirnya UU No. 40 Tahun 2014,
pembinaan dan pengawasan usaha perasuransian dilakukan oleh Menteri Keuangan
Republik Indonesia.[4]
Tugas pembinaan dan pengawasan tersebut diemban oleh lembaga yang berada di
bawah Kementerian Keuangan, yaitu Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan (Bapepam-LK). Usaha perasuransian termasuk dalam sektor jasa keuangan
yang diatur dan diawasi oleh Bapepam-LK semenjak UU No. 2 Tahun 1992 tentang
Usaha Perasuransian berlaku dan melalui peraturan pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
Setelah lahirnya UU No. 40 Tahun 2014, pengaturan dan pengawasan perasuransian
diemban oleh Otoritas Jasa Keuangan.[5]
Fungsi pengaturan dan pengawasan
Otoritas Jasa Keuangan dalam hal perasuransian meliputi perizinan usaha
perasuransian, tata kelola penyelenggaraan perasuransian, pergantian pemilikan,
penggabungan, dan peleburan, serta sampai pada pembubaran, likuidasi, dan
kepailitan. UU No. 40 Tahun 2014 mengatur lebih lengkap ruang lingkup
kewenangan fungsi pengaturan dan pengawasan yang dapat dilakukan oleh OJK
dibandingkan dengan UU No. 2 Tahun 1992. Dalam undang-undang yang lama, fungsi
pembinaan dan pengawasan hanya meliputi kesehatan keuangan bagi perusahaan
asuransi kerugian, perusahaan asuransi jiwa, dan perusahaan reasuransi dan
meliputi penyelenggaraan usaha.[6]
Sedangkan berkaitan dengan fungsi pengaturan dan pengawasan yang dilakukan oleh
OJK yang diatur pada Pasal 60 UU No. 40 Tahun 2014, di antaranya adalah
menetapkan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian, memberikan dan
mencabut izin Usaha Perasuransian, menyetujui atau menolak memberikan
pernyataan pendaftaran bagi konsultan aktuaria, akuntan publik, penilai, sampai
mewajibkan Perusahaan Perasuransian menyampaikan laporan secara berkala.
Pemisahan fungsi pengawasan sektor jasa
keuangan khususnya perbankan sebenarnya sudah diamanatkan dalam Pasal 34
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyatakan bahwa tugas mengawasi Bank
akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan
dibentuk dengan Undang-Undang.[7]
Namun, lembaga independen tersebut baru terbentuk pada tahun 2011 dengan nama
Otoritas Jasa Keuangan. Sistem pengawasan yang dilakukan oleh OJK adalah sistem
pengawasan terintegrasi, artinya seluruh kegiatan jasa keuangan yang dilakukan
oleh berbagai lembaga keuangan tunduk pada sistem pengaturan dan pengawasan
OJK.[8]
Pengintegrasian sistem pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan termasuk
perasuransian dalam lembaga independen OJK merupakan langkah maju atas
perkembangan sistem keuangan di Indonesia. Terdapat beberapa faktor yang
melatarbelakangi dilakukannya perubahan terhadap struktur kelembagaan pengawas
jasa keuangan: (i) munculnya konglomerasi keuangan dan mulai diterapkannya universal banking di beberapa negara;
(ii) stabilitas sistem keuangan telah menjadi isu utama bagi lembaga pengawas
yang awalnya belum memperhatikan masalah stabilitas sistem keuangan, mulai
mencari struktur kelembagaan yang tepat; dan (iii) kepercayaan dan keyakinan
pasar terhadap lembaga pengawas menjadi komponen utama good governance. Untuk meningkatkan good governance, banyak negara melakukan revisi struktur lembaga
pengawas jasa keuangannya.[9]
Pengalihan fungsi pengaturan dan
pengawasan perasuransian kepada Otoritas Jasa Keuangan merupakan kemajuan dalam
industri keuangan non-perbankan. Akan tetapi, OJK harus mampu membawa
perasuransian di bawahnya menjadi lebih baik dan mengalami pertumbuhan yang
meningkat setiap tahunnya. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014
di Dewan Perwakilan Rakyat menjadi suatu pencapaian yang baik oleh OJK dalam
mengawal draft Rancangan Undang-Undang Perasuransian tersebut di DPR untuk
memperbaiki iklim asuransi di Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan diharapkan
dapat membuat kebijakan pengaturan dan pengawasan terhadap perasuransian yang
dapat membawa perasuransian menjadi lebih berkembang di masa depan dan dapat
menyaingi negara-negara maju dalam hal asuransi.
[1] Indonesia, Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, UU
No. 21 Tahun 2011, LN No. 111, TLN No.
5253, Ps. 5.
[2] Ibid., Ps. 6.
[3] Zulkarnain Sitompul,
“Konsepsi dan Transformasi Otoritas Jasa Keuangan”, Journal
Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 3 (Oktober 2012), hlm. 345.
[4] Indonesia, Undang-Undang Usaha Perasuransian, UU
No. 2 Tahun 1992, LN No. 13, TLN No. 3467, Ps. 10.
[5] Indonesia, Undang-Undang Perasuransian, UU No. 40
Tahun 2014, LN No. 337 Tahun 2014, TLN No. 5618, Ps. 57 ayat (1).
[6] Indonesia, Undang-Undang Usaha Perasuransian, Op. Cit. Ps. 11 ayat (1).
[7] Indonesia, Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, UU No. 3 Tahun 2004, LN No. 7, Ps.
34 ayat (1).
[8] Zulkarnain Sitompul, Op. Cit. Hlm. 344.
[9] Mamiko Yokoi-Arai, “The
Regulatory Efficiency of a Single Regulator in Financial Services: Analysis of
the UK and Japan”, Banking and Finance
Law Review, (Oktober 2006), hlm. 1.
0 komentar:
Posting Komentar