BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Sejalan dengan
semangat desentralisasi, sejak tahun 2005 Pemilu Kepala Daerah dilaksanakan
secara langsung (Pemilukada/Pilkada). Semangat dilaksanakannya pilkada adalah
koreksi terhadap system demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era
sebelumnya, dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD,
menjadi demokrasi yang berakar langsung pada pilihan rakyat (pemilih).
Melalui pilkada, masyarakat sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya secara
langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara, dalam memilih
kepala daerah.
Sejak
diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004, mengenai Pilkada yang dipilih langsung
oleh rakyat, telah banyak menimbulkan persoalan, diantaranya waktu yang sangat
panjang, sehingga sangat menguras tenaga dan pikiran, belum lagi biaya
yang begitu besar, baik dari segi politik (issue perpecahan internal parpol,
issue tentang money politik, issue kecurangan dalam bentuk penggelembungan
suara yang melibatkan instansi resmi), social (issue tentang disintegrasi
social walaupun sementara, black campaign dll.) maupun financial.
Hal ini kita lihat pada waktu pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah
seperti di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur. Di Sulsel, pemilihan gubernur
langsung diselenggarakan sebanyak dua putaran karena ketidakpuasan salah satu
calon atas hasil penghitungan suara akhir.
Masalah
pemenangan Pilkada mengandung latar belakang multidimensional. Ada
yang bermotif harga diri pribadi (adu popularitas); Ada pula yang
bermotif mengejar kekuasaan dan kehormatan; Terkait juga kehormatan
Parpol pengusung; Harga diri Ketua Partai Daerah yang sering memaksakan diri
untuk maju. Di samping tentu saja ada yang mempunyai niat luhur untuk memajukan
daerah, sebagai putra daerah. Dalam kerangka motif kekuasaan bisa difahami,
karena “politics is the struggle over
allocation of values in society”.(Politik merupakan perjuangan untuk
memperoleh alokasi kekuasan di dalam masyarakat). Pemenangan perjuangan
politik seperti pemilu legislative atau pilkada eksekutif sangat penting untuk
mendominasi fungsi-fungsi legislasi, pengawasan budget dan kebijakan
dalam proses pemerintahan (the process of
government) . Dalam kerangka ini cara-cara “lobbying, pressure, threat, batgaining and compromise”
seringkali terkandung di dalamnya. Namun dalam Undang-undang tentang Partai
Poltik UU No. 2/2008, yang telah dirubah dengan UU No.2 Tahun 2011,
selalu dimunculkan persoalan budaya dan etika politik. Masalah lainnya sistem
perekrutan calon KDH (Bupati, Wali kota, Gubernur) bersifat transaksional, dan
hanya orang-orang yang mempunyai modal financial besar, serta popularitas
tinggi, yang dilirik oleh partai politik, serta beban biaya yang sangat besar
untuk memenangkan pilkada/pemilukada, akibatnya tidak dapat dielakan maraknya
korupsi di daerah, untuk mengembalikan modal politik sang calon, serta banyak
Perda-Perda yang bermasalah,
dan
memberatkan masyarakat dan iklim investasi.
I.2. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana daftar pemilih yang tidak akurat ?
2.
Bagaimana manipulasi perhitungan suara dan rekapitulasi hasil perhitungan suara ?
3.
Bagaimana penyesuaian tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu
pemilih ?
4.
Bagaimana penggabungan Pilkada
(pilkada serentak) ?
I.3. TUJUAN DAN MANFAAT
1. Untuk mengetahui bagaimana daftar
pemilih yang tidak akurat.
2.
Untuk mengetahui bagaimana manipulasi perhitungan suara dan rekapitulasi hasil perhitungan suara.
3.
Untuk mengetahui bagaimana penyesuaian tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu
pemilih.
4. Untuk mengetahui bagaimana penggabungan
Pilkada (pilkada serentak).
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 DAFTAR PEMILIH YANG TIDAK
AKURAT
Permasalahan daftar pemilih yang tidak akurat
dalam Pilkada, sering dijadikan oleh para pasangan calon yang kalah untuk
melakukan gugatan.
Berdasar Pasal 47 UU No. 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu menyebutkan bahwa PPS mempunyai tugas dan wewenang antara
lain mengangkat petugas pemutakhiran data pemilih dan membantu KPU, KPU Provinsi,
KPU Kabupaten/Kota, PPK melakukan pemutakhiran data pemilih, daftar pemilih
sementara, daftar pemilih hasil perbaikan, dan daftar pemilih tetap. Melalui
pengaturan ini jika dalam pemutakhiran data pemilih, melibatkan RT/RW sebagai
petugas pemutakhiran, maka permasalahan data pemilih yang tidak akurat akan
dapat diminimalisir, karena RT/RW adalah lembaga yang paling mengetahui
penduduknya.
II.2 MANIPULASI PERHITUNGAN SUARA
DAN REKAPITULASI HASIL PERHITUNGAN SUARA
Manipulasi perhitungan suara dan rekapitulasi hasil
penghitungan suara dapat terjadi di setiap tingkatan, yaitu di KPPS, PPK, KPU
Kabupaten, dan KPU Provinsi.
Permasalahan penghitungan suara dan
rekapitulasi hasil penghitungan suara akan manipulasi, disebabkan oleh
banyaknya TPS yang tersebar dalam wilayah yang luas. Dengan banyaknya TPS yang
tersebar luas membuat para pasangan calon sulit mengontrolnya karena memerlukan
saksi yang banyak dan biaya besar. Di lain pihak para penyelenggara Pilkada di
beberapa daerah tidak netral, berhubung sistem seleksi anggota KPUD tidak belum
memadai.
II.3 PENYESUAIAN TATA CARA
PEMUNGUTAN SUARA DAN PENGGUNAAN KTP SEBAGAI KARTU PEMILIH
a.
Penyesuaian tata cara pemungutan
suara.
Berdasar
Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan: "pemberian suara untuk Pilkada
dilakukan dengan mencoblos salah satu pasangan calon dalam surat suara".
Sedangkan dalam pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Perhllu
Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 melalui peraturan KPU pemberian
suara dilakukan dengan memberi tanda "centang". Walaupun cara
pemberian suara dalam Pemilu 2009 dengan memberi tanda centang masih banyak
yang salah sehingga suara tidak sah, namun cara pemberian
suara ini telah mulai
memasyarakat, sehingga agar tidak membingungkan
masyarakat, maka ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan cara
pemberian suara perlu diselaraskan dengan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.
b.
Penyesuaian penggunaan KTP sebagai
kartu pemilih.
"Berdasar
Pasal 71 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan: "Pemilih yang telah terdaftar
sebagai pemilih diberi tanda bukti pendaftaran untuk ditukarkan dengan kartu
pemilih untuk setiap pemungutan suara". Sedangkan dalam pelaksanaan Pemilu
DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 dalam
rangka efisiensi KTP (Kartu Tanda Penduduk) atau Surat Keterangan Kependudukan
dapat dijadikan kartu pemilih. Untuk itu dalam rangka efisiensi pelaksanaan
Pilkada, "ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan penggunaan
kartu pemilih dalam pelaksanaan Pilkada perlu disesuaikan dengan pelaksanaan
Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.
II.4 PENGGABUNGAN PILKADA (PILKADA
LANGSUNG)
Penggabungan
pelaksanaan Pilkada diperlukan seiain untuk menghemat biaya Pilkada juga
untuk kejenuhan masyarakat pada Pemilu. Ada beberapa opsi penggabungan Pilkada.
Optimasi
Penggabungan.
1)
Pilkada seluruh
Indonesia dilaksanakan secara bersamaan hanya 1 kali, yaitu dimulai Tahun
2015.
a)
Jumlah care taker
kepala daerah yang akan ada 278 kepala daerah, sehingga jalannya
pemerintah daerah menjadi kurang optimal.
b)
Aparat
keamanan harus menggelar pasukan
secara serentak di seluruh Indonesia.
c)
Isu Pilkada yang
tadinya merupakan isu lokal menjadi isu nasional.
d)
Dari segi biaya akan
dapat dihemat.
2.
Pilkada seluruh
Indonesia dilaksanakan secara bersamaan 2 kali,
yaitu dimulai tahun 2013 dan tahun 2015.
a)
Jumlah care taker
kepala daerah yang akan ada 57 kepala daerah, sehingga jalannya pemerintah
daerah menjadi sedikit kurang optimal.
b)
Aparat keamanan harus
menggelar pasukan secara serentak di + setengah seluruh Indonesia.
c)
Isu Pilkada yang
tadinya merupakan isu lokal menjadi isu nasional.
d)
Dari segi biaya akan
dapat dihemat.
3.
Pilkada
dilaksanakan secara bersamaan
di masing-masing wilayah provinsi 1 kali sesuai jadwalnya.
a)
Jumlah care taker
kepala daerah yang akan ada 225 kepala daerah, sehingga jalannya
pemerintah daerah menjadi kurang optimal.
b)
Aparat keamanan harus
menggelar pasukan di setingkat Polda.
c)
Isu Pilkada merupakan
isu lokal.
d)
Dari segi biaya akan
dapat dihemat.
4.
Kepala daerah yang
berakhir dalam tahun yang sama dilaksanakan Pilkada secara bersamaan.
a)
Jumlah care taker
kepala daerah kecil dan dalam waktu singkat, sehingga pemerintah daerah masih
berjalan normal.
b)
Aparat keamanan harus
menggelar pasukan di setingkat Polda atau Polres.
c)
Isu Pilkada merupakan
isu lokal.
d)
Dari segi biaya akan
dapat dihemat.
BAB III
PENUTUP
III. 1. KESIMPULAN
Pelaksanaan
Pilkada/Pemilukada yang telah berlangsung sejak Juni 2005 s/d saat ini secara
umum telah berlangsung secara aman, tertib, dan demokratis dengan tingkat
partisipasi yang cukup tinggi. Meskipun demikian dalam penyelenggaraan Pilkada
ke depan masih perlu dilakukan berbagai penyempurnaan untuk memperbaiki beberapa
kekurangan yang terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada, yaitu :
1.
Peningkatan akurasi daftar
pemilih.
Dari segi regulasi, pengaturan data pemilih
yang ada dalam Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 sebetulnya
sudah cukup memadai. Kunci penyelesaian dari daftar pemilih yang kurang akurat
adalah pelibatan RT/RW secara resmi dan intensif baik dalam up dating data
penduduk maupun perbaikan data pemilih.
2.
Peningkatan akuntabilitas
penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
Dari segi regulasi, pengaturan mengenai
penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 96 s/d Pasal 101 UU No. 32 Tahun 2004 masih mengandung celah
terjadi manipulasi pada pembuatan berita acara dan sertifikat penghitungan
suara yang tidak sama dengan hasil penghitungan suara yang disaksikan oleh
masyaakat, karena tidak semua peserta Pilkada menempatkan saksi di setiap TPS
dan keterbatasan jangkauan Panwaslu mengawasi penghitungan suara di setiap TPS.
Selain itu pengumuman hasil penghitungan suara yang dipasang di setiap TPS
hanya selama TPS ada (tidak lebih dari sehari), sehingga para saksi peserta
Pilkada kesulitan untuk mengakses hasil penghitungan suara di setiap TPS. Untuk
itu perlu pengaturan yang memungkinkan adanya kontrol dari masyarakat/para
saksi calon untuk mengakses hasil penghitungan suara di TPS maupun hasil
rekapitulasi hasil penghitungan suara di setiap tingkatan.
3.
Penyesuaian tata cara pemungutan
suara dan penggunaan KTP sebagai kartu pemilih dengan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD
dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Berkenaan dengan pelaksanaan Pemilu DPR, DPD,
dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 dalam pemberian
suara sudah tidak lagi mencoblos tapi menconteng serta penggunaan KTP juga
sebagai kartu pemilu, maka untuk tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat
perlu dilakukan penyerasian. Untuk itu ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004
terkait dengan tata cara pemberian suara dan penggunaan kartu pemilih dalam
pelaksanaan Pilkada perlu disesuaikan dengan pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan
DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.
4.
Penggabungan PILKADA (Pilkada
serentak).
Optimasi penggabungan Pilkada di Indonesia yang
paling optimal berdasar kriteria kontinuitas jalannya pemerintahan daerah,
kesiapan aparat keamanan, dampak isu yang akan muncul terhadap dan efisiensi
biaya didapat alternatif yang memiliki skor terbaik, yaitu : "Kepala
daerah yang berakhir dalam tahun yang sama dilaksanakan Pilkada secara
bersamaan".
DAFTAR PUSTAKA
Dirjen
Otda Depdagri, 2009, Evaluasi Pemilu
Kepala Daerah Periode 2005-2008.
Sentosa, Sembiring, 2009, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia, Pemerintahan Daerah (Pemda), Bandung, Nuansa Aulia.
Nugroho, Dewanto, 2006, Pancasila dan UUD 1945, Bandung, Nuansa
Aulia.
Undang-Undang
Pemilu dan Partai Politik 2008, Jogjakarta, Gradien Mediatama.
Ari
Pradhanawati, 2005, Pilkada Langsung,
Tradisi Baru Demokrasi Lokal, Surakarta, KOMPIP.
OC.Kaligis,
2009, Perkara-Perkara Politik dan Pilkada
di Pengadilan, Bandung, PT. Alumni.
Jurnal
Intelijen & Kontra Intelijen, 2008, vol.1 No.25, Center For The Study Of Intelligence And Counterintelligenc.
0 komentar:
Posting Komentar