Dasar Hukum
Proses Identifikasi Forensik
Dasar hukum
dan undang-undang bidang kesehatan yang mengatur proses identifikasi adalah:
A. Berkaitan
dengan kewajiiban dokter dalam membantu peradilan diatur dalam KUHP pasal 133
1. Dalam hal
penyidik untuk membantu kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.
2. Permintaan
keterangaran ahli sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaa.
Identifikasi dan Hukum
1. Dasar Hukum Proses
Indentifikasi Forensik Introduction
Dasar hukum dan
undang-undang bidang kesehatan yang mengatur proses identifikasi adalah:
A. Berkaitan dengan
kewajiiban dokter dalam membantu peradilan diatur dalam KUHP pasal 133
1. Dalam hal penyidik untuk
membantu kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun
mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter atau ahli lainnya.
2. Permintaan keterangaran
ahli sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang
dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan
mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
3. Mayat yang
dikirimkan kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus
diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan
diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang
diletakkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
B. Undang-undang
Kesehatan Pasal 79 tahun 1992
1. Selain penyidik
pejabat polisi Negara Republik Indonesia juga kepada pejabat pegawai negeri
sipil tertentu di Departemen Kesehatan diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam UU no. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
untuk melakukan penyidikan tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang
ini.
2. Penyidik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :
a. Melakukan
pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan.
b. Melakukan
pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan.
c. Meminta keterangan
dan bahan bukti dari orang atau badan usaha.
d. Melakukan
pemeriksaan atau surat atau dokumen lain.
e. Melakukan
pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti.
f. Meminta bantuan
ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan.
g. Menghentikan
penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti sehubungan dengan tindak pidana
di bidang kesehatan.
3. Kewenangan penyidik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan menurut UU no.8 tahun 1981
tentang HAP.
Pendahuluan
Proses penentuan seseorang, apakah hidup atau
mati, sangatlah penting bagi hukum dalam berbagai hal. Tahun 1765 Blackstone
menyatakan, “Hukum tidak hanya
mengenai hidup, anggota, dan melindungi setiap orang dalam kebahagiaan mereka,
tetapi juga memolesnya dengan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mendukung
mereka.” Dia melanjutkan
penelitian ini dengan mencatat bahwa ‘Hak untuk hidup dan
anggota, hanya dapat ditentukan dengan kematian dari orang; baik kematian sipil
(perdata) maupun kematian alamiah.’ Dia mengatakan
sedikit tentang kematian alamiah tetapi menekankan bahwa kematian sipil
(perdata) akan diberikan ketika seseorang dibuang dari lingkungan, atau
memasuki agama, dengan kata lain, hidup membiara, di mana dia benar-benar
meninggal dalam hukum; dan ahli waris berhak untuk harta miliknya.
Dalam hukum sipil/perdata kontemporer (zaman
sekarang), penentuan dari meninggalnya seseorang dan waktunya sangatlah vital untuk
berlangsungnya tindakan mewakili penggugat dan pelaksanaan hak-hak oleh pihak
selamat dari almarhum/ almarhumah.
Banyak kewajiban kontraktual dengan mudahnya hilang seiring dengan
kematian dari satu pihak. Seperti Oliver Wendell Holmes di USA mencatat, ‘ Satu-satunya hal yang dapat diteruskan adalah keuntungan atau beban
dari janji, dan bagaimana mereka dapat dipisahkan dari fakta yg membumbungkan
mereka? Bagaimana dalam waktu singkat, dapatkah seseorang menggugat atau
digugat di atas janji dimana dia tidak ambil bagian? Oleh karena itu, dalam
konteks ini juga, bukti dari kematian seseorang dan waktunya dapat menghasilkan
pembalikan keuangan yang signifikan.
Dalam hal hukum pengesahan surat wasiat, bukti
dari kematian adalah prasyarat untuk mengabulkan surat wasiat, dan ada praduga
untuk mendukungnya. Bagaimanapun juga, hukum jelas menuntut untuk bukti
kematian yang muncul dengan tujuan untuk menghindari kesalahan memalukan dalam
pembagian harta warisan.
Dalam konteks hukum kriminalitas, bukti dari
indentitas, baik melalui visual maupun identifikasi suasana di sekitar orang,
adalah bagian yang tak terpisahkan dalam penuntutan, khususnya dalam perampokan
atau penyerangan. Bahkan, hal itu (bukti
identitas) adalah bagian yang mendasar dari penuntutan pembunuhan dimana
korbannya adalah manusia dan benar tewas. Selain itu, waktu dari kematian
seseorang juga dapat menjadi vital
terhadap keputusan dalam pemprosesan tindakan criminal terutama untuk
pembuktian tersangka untuk terlibat. Lebih jauh lagi, dalam beberapa wilayah
hukum, jika korban tewas lebih dari satu tahun setelah penderitaan dari cedera,
dapat berujung pada pembebasan dari terdakwa. Hal-hal mengenai bukti dari
penyebab kematian dapat menjadi kompleks dan diuji berat dalam wilayah hukum
criminal, sipil/ perdata, dan coronial. Jadi, identitas, kematian, dan waktu
dari kematian saling berkaitan.
Definisi Kematian
Kriteria hukum dari kematian hanya memberikan
masalah pada system hukum dalam perbandingan belakangan ini seiring dengan
perkembangan kecanggihan dari teknologi medis. Bahkan saat ini di Inggris,
tidak ada undang-undang yang mendefinisikan kematian dan hanya sedikit kasus
hukum yang memperhatikan kepentingan kematian. Secara tradisional, kematian
didefinisikan sebagai berhentinya sirkulasi darah. Pernyataan itu hanya
terdapat dalam kasus Inggris 1981 dari R. v. Malcherek, R. v. Steel dimana Lord
Lane CJ mengetahui bahwa ‘Teknik modern tidak
diragukan lagi menghasilkan kekaburan dari banyak konsep kematian tradisional
dan konvensional‘ dan mencatat bahwa
sepertinya ada beberapa opini di profesi medik bahwa hanya ada satu ujian
sebenarnya untuk kematian dan itu adalah kematian yang tidak dapat diubah dari
batang otak yang mengontrol fungsi fungsi dasar dari tubuh, seperti bernafas. Ketika itu terjadi, dapat dikatakan bahwa
seseorang telah tewas, meskipun secara mekanikal, paru-paru tetap bekerja dan
sirkulasi darah tetap berjalan.
Pada 1993, Pengadilan Banding Inggris
mempersiapkan untuk lebih jauh, dan pada saat itu mayoritas dipicu oleh kasus
tragis Airedale NHS Trust v. Bland, melibatkan seorang yang selamat dari
runtuhnya Stadion Hillsborough. Orang tersebut dalam keadaan cacat permanent,
di mana kematian muncul ketika batang otak hancur. Hal ini sekarang
diperhatikan secara umum di Hukum Australia, New Zealand, Canada, dan USA. Di
Australia, Komisi Reformasi Hukum merekomendasikan bahwa kematian didefinisikan
dalam undang-undang jaringan manusia dalam hal baik itu berhentinya sirkulasi
darah yang tidak dapat diubah maupun berhentinya fungsi otak. Semua wilayah
hukum (yurisdiksi) memberlakukan hal ini pada waktunya dalam undang-undang
jaringan manusia mereka.
Actions in Tort
Kematian dapat menciptakan dan memadamkan
kewajiban dalam kerugian/kesalahan. Dalam hukum biasa, suatu tindakan ikut mati
bersama dengan orang yang tewas. Sejauh terdakwa risaukan, hal ini terkait
dengan karakter yang menghukum dalam tindakan hukuman. Bagaimanapun juga, tahun
1934 di Inggris dan tidak lama setelah itu di Australia dan New Zealand,
reformasi undang-undang datang untuk menentukan, meskipun penggugat meninggal,
semua tindakan penuntutan tetap bertahan , dan kasus mungkin untuk keuntungan
harta milik dari almarhum/ almarhumah. Tindakan yang menyangkut kepentingan
pembesar (orang terkemuka) biasanya mendapat pengecualian di prinsip ini,
contohnya dalam perzinahan, penggodaan, fitnah, bujukan terhadap istri/suami.
Bagaimanapun juga, besarnya ganti rugi dapat dikurangi karena pengadilan tidak
biasanya mengabulkan ganti rugi tipikal ketika korban tewas. Beberapa undang-undang
juga membatasi klaim untuk kehilangan non uang, di atas dasar bahwa pengabulan
harusnya dibatasi pada: tindakan
sebenarnya dibawa oleh orang yang hidup dan bukan oleh keluarga mereka.
Dimana korban yang tewas, undang-undang di
beberapa wilayah hukum berkata bahwa tindakan atas kerugian/ kesalahan
menentang harta milik yang bertahan berdasarkan undang-undang harus ditunda
pada waktu kematian atau bahwa penyebab dari tindakan yang dimunculkan tidak
lebih dari 6 bulan sebelum kematian dari almarhum/ah dan proses telah
dilembagakan secara cepat. Syarat – syarat ini telah
diterapkan di banyak tempat, dengan periode yang diperpanjang. Bagaimanapun,
kurun waktu masih cukup pendek sehingga menjadi masalah jika ada penundaan lama
dalam penentuan apakah korban benar-benar tewas.
Di hukum umum, tidak ada tindakan untuk
kesalahan yang sepenuhnya ditimbulkan kematian. Lebih murah bagi korban untuk
membunuh dibanding menyebabkan cacat. Di 1846 Lord Campbell’s Act di Inggris mencari perbaikan untuk kelemahan ini dengan membuat
itu sebagai tindakan yang salah, dalam perlindungan keluarga, untuk menyebabkan
kematian orang lain dengan tindakan yang salah, kelalaian atau keteledoran yang
mana membuat pihak cedera (jika tidak menimbulkan kematian) untuk menjaga tindakan
dan menyediakan ganti rugi daripadanya, meskipun demikian bahwa kematian
disebabkan di bawah hukum koloni sebesar kondisi/ situasi yang diatur.
Keluarga dilindungi oleh Undang-undang
didefinisikan luas di banyak yurisdiksi yang telah berlaku ketentuan perbandingan
untuk memasukkan istri/ suami, orang tua, kakek/nenek, orang tua angkat, anak,
anak anumerta, cucu, dan anak angkat. Istri/ Suami yang cerai, hubungan darah,
anak haram, anak asuh dan anak didik juga termasuk dalam beberapa yurisdiksi.
Tindakan biasanya harus dimulai dalam waktu yang lebih singkat setelah kematian
dibanding menjalankan di bawah periode batas waktu biasa. Proses pemulihan dibuat
terbatas demi keuntungan ekonomi atau materi dari orang yang selamat; dimana
ukuran/ patokan adalah rugi daripada perlu. Issuenya adalah ketergantungan.
Orang yang bergantung biasanya hanya berhak untuk jumlah yang memberi mereka
tunjangan hidup untuk jangka waktu di mana mereka menjadi orang yang
bergantung. Bahkan biaya pemakaman seringkali tidak ditanggung.
Kesalahan dalam identifikasi adalah masalah lain
di mana kesalahan penentuan kematian dapat menjadi sesuatu yang menyakitkan.
Salah satu contohnya adalah kasus yang terkenal melibatkan kematian dari Letnan
Kolonel Thomas Hart. Janda (istri dari Thomas Hart) berhasil menggugat atas
penderitaan emosional yang dialaminya karena kesalahan identifikasi dari
peninggalan Thomas Hart.
Thomas Hart dipercaya merupakan salah satu dari
14 orang yang tertembak di Pakse, Laos, ketika konflik Vietnam. Pada musim
panas 1985, US Army (Tentara AS) mengatakan bahwa peninggalan itu adalah dari
Hart, tetapi istrinya tidak yakin dan melakukan penelitian ulang dengan membawa
peninggalannya untuk dianalisis ulang di Universitas Colorade State, yang
menyatakan bahwa peninggalan Hart tidak cukup untuk membuktikan dalam
pengidentifikasiannya. Di Oktober 1988, Janda dari Thomas Hart dimenangkan atas
ganti rugi USD 632,000.
Pengaturan Kontrak
Kematian dari satu pihak dalam negosiasi
mempunyai efek pada pemutusan penawaran apapun yang efektif pada saat kematian.
Pada 1876, hal itu dianggap sebagai “hukum yang diakui” bahwa jika seseorang yang memberikan penawaran meninggal, penawaran
tersebut tidak dapat disetujui setelah dia meninggal.
Bagaimanapun, ada situasi tertentu dimana
pengadilan dapat menyimpulkan bahwa penawaran bersangkutan akan tetap ada
meskipun setelah kematian dari orang yang melakukan penawaran.
Dalam kondisi itu, kematian tidak akan
mempengaruhi nilai dari penawaran. Sebagai aturan umum, hak di bawah sebuah
kontrak diturunkan ke perwakilan personal ketika kematian. Tapi tentu saja
dengan syarat bahwa orang yang meninggal mempunyai hubungan dengan dia.
Sehingga bila tidak ada pemenuhan terhadap hal tersebut di dalam kontrak,
kontrak akan dibatalkan.
Properti Terhadap Jenazah
Dalam Hukum Anglo-Austalia, jenazah dikatakan
sama seperti hewan liar dalam kehidupan, hidup atau mati, tidak dapat menjadi
subjek property. Jadi tidak dapat dicuri, bahkan ahli waris tidak berhak untuk
memiliki jenazah dari pendahulunya sebagai property dan sebagai salah satu
penghormatan atas mereka.
Meskipun pelaksana tidak mempunyai hak properti
atas jenazah, mereka boleh mendapatkan hak untuk memaksa yang lain untuk
menyerahkan jenazah sehingga pemakaman dapat berlangsung.
Setelah pemakaman, jenazah menjadi bagian dari
tanah dimana sah dikuburkan secara hukum. Hak kepemilikan sejalan bersama
dengan tanah. Hukum Inggris juga mempunyai kebiasaan bahwa seseorang dinyatakan
bersalah berbuat kurang baik jika mereka mencegah pemakaman dari jenazah, atau
tanpa pengecualian hukum membedah jenazah meskipun dengan motif terpuji. Atau
mereka juga akan dinyatakan berbuat tidak baik jika mengabaikan kewajiban untuk
menguburkan jenazah.
Di Amerika Serikat, hukum bervariasi menurut yurisdiksinya
dalam “prinsip bahwa jenazah
bukan property”. Pada kasus lama
Larson v Chase, Pengadilan Tinggi Negara Bagian Minnesota memutuskan bahwa
seorang janda bertanggung jawab atas kerusakan jenazah suaminya atas dasar
bahwa dia memiliki hak atas kepemilikan jenazah tersebut tanpa prosedur medis
yang sah yang dilakukannya.
Beberapa pengadilan menemukan berbagai macam
alasan untuk mengabaikan prinsip ini (no property of dead body) dan telah
berbicara menggunakan istilah “quasi property” untuk menjelaskan hak keluarga atas jenazah. Proses penentuan atas
siapa yang memiliki hak menjadi sangat vital karena seseorang dapat
memperhatikan autopsi yang mempunyai bukti, dan kecenderungan umum yang telah
terjadi pada autopsi dan kasus-kasus kepemilikan hak atas jenazah, sehingga
otorisasi autopsy dapat dilakukan atas jenazah.
Surat Pengesahan Hakim
Ketika tidak ada bukti bahwa seseorang hidup
selama kurun waktu 7 tahun atau lebih, sebuah praduga penting mengenai kematian
dapat dilangsungkan. Bagaimanapun, hal ini hanya muncul ketika orang-orang yang
sering mendengar atau bertemu orang tersebut faktanya tidak mendengar lagi
orang tersebut sehingga berbagai pertanyaan atau keraguan pun muncul. Praduga
secara gamblang menganggap bahwa orang tersebut tidak lagi hidup. Tapi, selalu
terbuka bagi pengadilan untuk menerima petunjuk bahwa seseorang meninggal pada
waktu tertentu, contohnya pada kecelakaan maritime atau pesawat.
Untuk tujuan menentukan hak menurut hukum di
bawah surat wasiat, mungkin penting untuk memastikan urutan kematian orang. Hal
ini tidaklah mudah dikarenakan kondisi dari kematian, contohnya ialah ketika
perang atau kecelakaan mobil atau kereta. Identifikasi kraniofasial mungkin
berperan dalam konteks ini. Tidak ada praduga hukum berdasarkan umur atau jenis
kelamin. Masalah ialah salah satu fakta, tergantung sepenuhnya pada bukti-bukti
yang dapat dikemukakan dari keadaan kematian orang tersebut. Banyak ketentuan
perundang-undangan pada kekuasaan hukum berlaku untuk membantu kesulitan
pembuktian.
Pada suatu peristiwa, diketahui bahwa 2 orang
telah meninggal, dan penyebab kematiannya tidak diketahui. Contohnya ialah
karena kecelakaan pesawat. Mungkin tidak jelas, tapi penting untuk memastikan
orang yang masih hidup dan urutan yang meninggal. Hukum yang umum memberikan
sedikit bantuan, tidak ada praduga timbul dari umur atau jenis kelamin.
Persoalannya ialah salah satu dari fakta, dan jika petunjuk tidak dapat
membuktikan siapa yang meninggal pertama, hukum akan memperlakukan hal ini
sebagai penentuan yang tidak mampu.
Coroners Inquest (penyelidikan yang dilakukan oleh orang yang bertugas
memeriksa mayat untuk mengetahui penyebab kematian)
Coroners memiliki
kekuasaan hukum untuk melakukan penyelidikan dalam kematian, penembakan, dan
pada beberapa tempat sampai beberapa fenomena. Coroner tidak dapat melakukan
penyelidikan secara sederhana karena dia berpandangan bahwa langkah tersebut
akan berada di kepentingan public. Kematian dari seseorang ialah prasyarat
untuk penyelidikan kematian. Ini adalah persoalan dari bukti. Jika coroner
tidak puas seperti apakah seseorang telah mati, maka ia akan melakukan
penyelidikan. Pada umumnya, janin yang tidak dapat hidup atau anak yang lahir
tetapi mati, dengan benar dapat menjadi sebuah subjek pemeriksaan.
Hukum Kriminal
Dalam kasus
pembunuhan penting bagi penutut untuk bisa membuktikan bahwa korban yang
meningggal adalah manusia. Permasalah berkembang menjadi kapan kehidupan
dimulai dan kapan kehidupan berakhir. Pemecahan pasial dari pertanyaan tersebut
ditemukan pada 1953 pada kasus R.V. Hutty di Victoria, yang memegang prinsip “bayi dikatakan lengkap dan lahir sempurna setelah melepaskan diri dari
ibunya dan berpisah dan hidup tanpa ketergantungan dengan kekuatan hidup yang
tidak lagi diturunkan dari ibunya.” Prinsip ini dipegang
juga oleh Beach J yang mengatakan bahwa hal tersebut bisa terjadi sebelum tali
pusar dipotong dan pertanyaan yang penting sekali adalah apakah bayi sudah
benar-benar terpisah dari tubuh ibunya dan hidup dengan fungsi organ yang baik.
Tahun 1929, The
Infant Life Preservation Act di Inggris menciptakan perlawanan atas “pembinasaan anak”. Tujuan diciptakannya
Undang-Undang itu supaya melindungi bayi “unextruded” selama proses kelahiran. Dalam jangka waktu yang sama, tahun 1958
Crimes Act (Victoria) bagian 10(1) menyatakan bahwa “Barang siapa bermaksud menghancurkan kehidupan bayi yang sanggup untuk
dilahirkan dalam kondisi hidup dengan sengaja menyebabkan bayi tersebut mati
sebelum ia mampu hidup terpisah dari ibunya.” Bagian 10 (2) menyatakan
bahwa “Kehamilan 28 minggu
atau lebih adalah bukti bahwa janin bisa lahir dalam kondisi hidup”. Di Inggris, dikatakan bahwa janin usia 27 minggu dapat dilahirkan
dalam kondisi hidup apabila ia mampu bernafas dengan paru-parunya.
4 macam tes untuk mengetahui
penyebab hukum criminal:
1. The ‘operating and substantial cause’ test
2. The ‘natural consequence’ test
Natural consequence
dapat kita temui pada kasus dimana terjadi luka yang fatal, wajar bila sesorang
yang melanggar hukum akan mennyelamatkan dirinya
3. The ‘reasonable foresight of the consequences’ test
4. The ‘novus actus interviens’ test
Novus actus
interviens adalah tindakan mematahkan rantai penyebab suatu masalah.
Tes tersebut di atas bisa berdiri sendiri untuk
masing-masing tes, atau juga bisa dilakukan beberapa tes untuk saling mendukung
satu sama lain. Variasi tes menentukan bahwa yang dilakukan oleh tertuduh
terbukti menyebabkan apa yang terjadi selanjutnya terhadap korban.
Kompensasi Kriminal
Dalam beberapa hak
hukum, kompensasi criminal memegang porsi yang besar yang bisa mendatangkan
uang ataupun merugi karena tuntutan biaya harus dibayar akibat kematian korban.
Bukti kematian adalah salah satu syarat mutlaknya, karena bukti kematian
merupakan jembatan antara tindak criminal dengan sakit yang diderita korban.
Keadaan bisa membuat orang tidak berterus terang karena bukti yang tidak kuat
dan akan berimbas dana tuntutan.
2. Material yang
Dijadikan Bukti Kematian
Pembuktian apakah
orang sudah meninggal atau jenazah hanya bisa diputuskan oleh ahli. Dalam hal ini,
standar peraturan yang berlaku: orang yang memberikan bukti harus bisa
diklasifikasikan memiliki pengetahuan khusus sesuai dengan bukti yang
diberikan, baik itu bukti kemampuan (skill), pengalaman pelatihan; data opini
sang ahli harus bisa dibuktikan dalam fakta yang relevant. Permasalahan tidak
selalu terus terang, dan tugas ahli
adalah berusaha keras mencari bukti yang tidak dapat diterima.
Identifikasi Kehidupan
Hukum biasanya memperhatikan identifikasi
seseorang berdasarkan saksi, baik itu saksi mata ataupun saksi dengar, meskipun
penuh dengan kesalahan. Sangat penting untuk mengingatkan juri untuk
berhati-hati sebelum menjatuhkan hukuman kepada narapidana, karena meskipun
jumlah saksi banyak, namun tetap saja saksi bisa salah dalam identifikasi.
Kesimpulan
Bukti kematian,
identitas korban meninggal, identitas pelaku dan hubungan tindak criminal dan
kemanian, cara kematian, dan waktu kematian merupakan hal fundamental dalam
menentukan baik kematian sipil maupun kematian akibat criminal. hal-hal tadi
memperjelas hasil tes, dan bukti yang ada. Bukti dari psikolog dan ahli
rekonstruksi craniofacial bisa menjawab apa yang terjadi, dan pengadilan yang
akan memutuskan. Kencenderungan ditemukannya fakta, pada akhirnya ditentukan
oleh 2 faktor, yaitu pertama integritas bukti dan saksi, kedua analisa lawyer
yang seolah menjadi saksi, dan baik saksi awam dan ahli.
0 komentar:
Posting Komentar