Kamis, 24 September 2015

RESUME HAM

DESKRIPSI PENGARANG

N a m a : Prof. Dr. H. ROMLI ATMASASMITA, S.H.,LL.M
Tempat/Tgl Lahir : Cianjur, 1 Agustus 1944
A g a m a : Islam
Status Perkawinan : Kawin
Isteri : Ny Hanny Hanurawati, S.H.,CN.
A n a k :
1. Radhie Noviadi Yusuf
2. Rully Feriadi Rochman
3. Berley Kurniadi Rachmat
4. Moh. Ridzki Subarkah
5. Septo Ahadi Amanat Romli Atmasasmita
A l a m a t : Jl. Griya Mas Selatan I/12 Terusan Pasteur, Bandung – Indonesia.
RIWAYAT PENDIDIKAN
1. Sekolah Dasar, Jakarta (1955); 2. Sekolah Menengah Pertama, Jakarta, (1959); 3. Sekolah Menengah Atas, Jakarta (1962); 4. Sarjana Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung (1969); 5. Master of Laws, School of Law, University of California, Berkeley (1981); 6. Doktor Ilmu Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1996).
RIWAYAT JABATAN
1. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran; 2. Guru Besar Luar Biasa Fakultas Hukum Swasta di Jawa Barat; 3. Guru Besar Tamu Program S2 Universitas Diponegoro dan Universitas Indonesia; 4. Guru Besar Tamu SESPIM-POLRI; 5. Guru Besar PTIK; 6. Ketua Jurusan Hukum Pidana (1985-1988); 7. Pembantu Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (1983-1989); 8. Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Pasundan (1976-1980). 9. Koordinator Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan HAM RI; 10. Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI, sejak Oktober 1998; 11. Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman dan HAM RI, sejak 16 Agustus 2000 sampai dengan 2002; 12. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, sejak bulan April 2002 sampai sekarang.
RIWAYAT PEKERJAAN
1. Wakil Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (ASPEHUPIKI) Pusat; 2. Ketua Tim Penyusunan Undang-undang RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; 3. Ketua Tim Penyusunan UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang (Money Laundering); 4. Ketua Tim RUU tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tahun 2000; 5. Ketua Tim Penyusunan Naskah Rancangan Pembahasan Atas Undang-undang RI Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian; 6. Ketua Tim Penyusunan RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; 7. Ketua Tim Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang, tahun 2002; 8. Ketua Tim Penyusunan RUU tentang Pengesahan Convention Against Transnational Organized Crime (TOC) tahun 2002; 9. Ketua Tim Penyusunan RUU tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Pemerintah RI dan Korea Selatan, tahun 2002; 10. Ketua Stering Committee Persiapan Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tahun 1999-2001 Dep. Kehakiman dan HAM RI; 11. Anggota Tim Penyusunan Undang-undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 12. Anggota Tim Inti dan Tim Asistensi Pembahasan RUU tentang Grasi di DPR RI tahun 2002; 13. Anggota Tim Penyusunan RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana; 14. Ketua Tim Penyusunan UU Nomor 20 tahun 2001 Perubahan Atas UU Nomor 31 tahun 1999; 15. Koordinator Pengelola S2 dan S3 Ilmu Hukum di Jakarta dan Bandung; 16. Ketua Tim Penyusunan UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; 17. Ketua Delegasi RI ke Konferensi Asia-Pasifik tentang Money Laundering, 4-6 Agustus 1999 di Manila, Philippina; 18. Ketua Delegasi RI pada Konferensi PBB untuk membahas draft Konvensi mengenai Pemberantasan Kejahatan Transnasional Terorganisir, di Wina-AUSTRIA, Juni 1999 dan 4-8 Juni 2000; 19. Ketua Delegasi RI pada ASLOM Juni 1989, di Singapore; 20. Ketua Delegasi RI pada ASEAN Senior Law Official Meeting (ASLOM), tanggal 14-18 Juni 2002 di Bangkok; 21. Anggota Delegasi RI ke Konferensi Global Anti Korupsi, 24-26 Februari 1999, di Washington DC, Amerika Serikat; 22. Ketua Delegasi RI pada Sidang Ad Hoc Committee on the Negotiation of the United Nations Convention against Corruption, di Wina-AUSTRIA tahun 2000 sampai dengan tahun 2003; 23. Ketua Delegasi pada seminar Terrorisme di Asia-Pasific tanggal 29 Juli sampai dengan 2 Agustus 2002 di Washington DC, Amerika Serikat; 24. Ketua Komisi Persiapan Pembentukan Komisi Anti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme tahun 1999; 25. Anggota Asosiasi Kriminologi Indonesia (AKI); 26. Anggota American Criminal Justice Science, Kentucky, USA; 27. Anggota American Society of Criminology; 28. Anggota "International Criminal Lawyers (ICL); 29. Ketua Forum Komunikasi Kriminologi (FORKRIM); 30. Ketua Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Tahun 2003; 31. Pengurus Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia; 32. Penasehat/Dewan Kehormatan Forum Komunikasi Akademisi dan Praktisi Hukum Indonesia (FORKAPHI) Pusat; 33. Penasehat/Konsultan Ahli BPHN Departemen Kehakiman dan HAM RI; 34. Anggota Penasehat Ahli KAPOLRI sejak 1999. Catatan: 1. Anggota ASIA-PACIFIC Expert on International Criminal Court (ICC); 2. Chairman Sidang ASEAN Legal Officer Program bulan Juli 2003; 3. "Focal Point" ASEAN Legal Officer Meeting (ASLOM); 4. Mengikuti Konferensi-konferensi Internasional dan Regional dalam bidang korupsi.
HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
A. Perkembangan Hak Asasi Manusia
Wacana hak asasi manusia bukanlah wacana yang asing dalam diskursus politik dan ketatanegaraan di Indonesia. Kita bisa menemuinya dengan gamblang dalam perjalanan sejarah pembentukkan bangsa ini, di mana perbincangan mengenai hak asasi manusia menjadi bagian daripadanya. Jauh sebelum kemerdekaan, para perintis bangsa ini telah memercikkan pikiran-pikiran untuk memperjuangkan harkat dan martabat manusia yang lebih baik. Pecikan pikiran tersebut dapat dibaca dalam surat-surat R.A. Kartini yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, karangan-karangan politik yang ditulis oleh H.O.S. Cokroaminoto, Agus Salim, Douwes Dekker, Soewardi Soeryaningrat, petisi yang dibuat oleh Sutardjo di Volksraad atau pledoi Soekarno yang berjudul ”Indonesia Menggugat” dan Hatta dengan judul ”Indonesia Merdeka” yang dibacakan di depan pengadilan Hindia Belanda. Percikan-percikan pemikiran pada masa pergerakan kemerdekaan itu, yang terkristalisasi dengan kemerdekaan Indonesia, menjadi sumber inspirasi ketika konstitusi mulai diperdebatkan di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di sinilah terlihat bahwa para pendiri bangsa ini sudah menyadari pentingnya hak asasi manusia sebagai fondasi bagi negara.
Sub-bab ini berusaha menelusuri perkembangan wacana hak asasi manusia dalam diskursus politik dan ketatanegaraan di Indonesia, paling tidak dalam kurun waktu setelah kemerdekaan. Diskursus mengenai hak asasi manusia ditandai dengan perdebatan yang sangat intensif dalam tiga periode sejarah ketatanegaraan, yaitu mulai dari tahun 1945, sebagai periode awal perdebatan hak asasi manusia, diikuti dengan periode Konstituante (tahun 1957-1959) dan periode awal bangkitnya Orde Baru (tahun 1966-1968). Dalam ketiga periode inilah perjuangan untuk menjadikan hak asasi manusia sebagai sentral dari kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung dengan sangat serius. Tetapi sayang sekali, pada periode-periode emas tersebut wacana hak asasi manusia gagal dituangkan ke dalam hukum dasar negara atau konstitusi.
Perjuangan itu memerlukan waktu lama untuk berhasil, yaitu sampai datangnya periode reformasi (tahun 1998-2000). Periode ini diawali dengan pelengseran Soeharto dari kursi Presiden Indonesia oleh gerakan reformasi. Inilah periode yang sangat “friendly” terhadap hak asasi manusia, ditandai dengan diterimanya hak asasi manusia ke dalam konstitusi dan lahirnya peraturan perundang-undangan di bidang hak asasi manusia.
(1) Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Baru

Presiden BJ. Habibie yang ditunjuk Soeharto sebagai penggantinya mengumumkan kabinetnya sebagai “Kabinet Reformasi”. Presiden yang baru ini tidak punya pilihan lain selain memenuhi tuntutan reformasi, yaitu membuka sistem politik yang selama ini tertutup, menjamin perlindungan hak asasi manusia, menghentikan korupsi, kolusi dan nepotisme, menghapus dwi-fungsi ABRI, mengadakan pemilu, membebaskan narapidana politik, dan sebagainya. Perhatian pokok buku ini adalah yang berkaitan dengan wacana hak asasi manusia pada periode reformasi.
Pada periode reformasi ini muncul kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas perlindungan hak asasi manusia. Perdebatkan bukan lagi soal-soal konseptual berkenaan dengan teori hak asasi manusia, tetapi pada soal basis hukumnya, apakah ditetapkan melalui TAP MPR atau dimasukkan dalam UUD? Gagasan mengenai Piagam Hak Asasi Manusia yang pernah muncul di awal Orde Baru itu muncul kembali.
Begitu pula gagasan untuk mencatumkannya ke dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar juga muncul kembali ke dalam wacana perdebatan hak asasi manusia ketika itu. Karena kuatnya tuntutan dari kelompok-kelompok reformasi ketika itu, maka perdebatan bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Isinya bukan hanya memuat Piagam Hak Asasi Manusia, tetapi juga memuat amanat kepada presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia, termasuk mengamanatkan untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia.
Hasil Pemilu 1999 merubah peta kekuatan politik di MPR/DPR. Kekuatan politik pro-reformasi mulai memasuki gelanggang politik formal, yakni MPR/DPR. Selain berhasil mengangkat K.H. Abdurrachman Wahid sebagai presiden, mereka juga berhasil menggulirkan terus isu amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000, perjuangan untuk memasukkan perlindungan hak asasi manusia ke dalam Undang-Undang Dasar akhirnya berhasil dicapai. Majelis Permusyawaratan Rakyat sepakat memasukan hak asasi manusia ke dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal Hak Asasi Manusia (dari pasal 28A-28J) pada Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 2000. Hak-hak yang tercakup di dalamnya mulai dari kategori hak-hak sipil politik hingga pada kategori hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu, dalam bab ini juga dicantumkan pasal tentang tanggung jawab negara terutama pemerintah dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Di samping itu ditegaskan bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai prinsip negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Salah satu isu yang menjadi riak-perdebatan dalam proses amandemen itu adalah masuknya pasal mengenai hak bebas dari pemberlakuan undang-undang yang berlaku surut (non-retroactivity principle) yakni pasal 28I. Masuknya ketentuan ini dipandang oleh kalangan aktifis hak asasi manusia dan aktifis pro-reformasi yang tergabung dalam Koalisi untuk Konstitusi Baru sebagai “sabotase” terhadap upaya mengungkapkan pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu, khsususnya di masa Orde Baru. Alasannya pasal itu dapat digunakan oleh para pelaku pelanggaran hak asasi di masa lalu untuk menghindari tuntutan hukum. Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang lahir setelah Amandemen Kedua menjadi senjata yang tak dapat digunakan untuk pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Sementara anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat beralasan bahwa adanya pasal itu sudah lazim dalam instrumen internasional hak asasi manusia, khususnya dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP). Selain itu, menurut anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pasal 28I itu harus dibaca pula dalam kaitannya dengan Pasal 28J ayat (2).
Terlepas dari kontroversi yang dipaparkan di atas, Amandemen Kedua tentang Hak Asasi Manusia merupakan prestasi gemilang yang dicapai Majelis Permusyawaratan Rakyat pasca Orde Baru. Amandemen Kedua itu telah mengakhiri perjalanan panjang bangsa ini dalam memperjuangkan perlindungan konstitusionalitas hak asasi manusia di dalam Undang-Undang Dasar. Mulai dari awal penyusunan Undang-Undang Dasar pada tahun 1945, Konstituante (1957-1959), awal Orde Baru (1968) dan berakhir pada masa reformasi saat ini merupakan perjalanan panjang diskursus hak asasi manusia dalam sejarah politik-hukum Indonesia sekaligus menjadi bukti bahwa betapa menyesatkan pandangan yang menyatakan hak asasi manusia tidak dikenal dalam budaya Indonesia.

(2) Undang-Undang Hak Asasi Manusia

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, periode reformasi merupakan periode yang sangat “friendly” terhadap hak asasi manusia. Berbeda halnya dengan periode Orde Baru yang melancarkan “black-campaign” terhadap isu hak asasi manusia.
Presiden B.J. Habibie dan DPR sangat terbuka dengan tuntutan reformasi, maka sebelum proses amandemen konstitusi bergulir, presiden lebih dulu mengajukan Rancangan Undang-Undang Hak Asasi Manusia ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas. Pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat juga tidak memakan waktu yang lama dan pada 23 September 1999 telah dicapailah konsensus untuk mengesahkan undang-undang tersebut yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang tersebut dilahirkan sebagai turunan dari Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memuat pengakuan yang luas terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin di dalamnya mencakup mulai dari pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, hingga pada pengakuan terhadap hak-hak kelompok seperti anak, perempuan dan masyarakat adat (indigenous people). Undang-Undang tersebut dengan gamblang mengakui paham ‘natural rights’, melihat hak asasi manusia sebagai hak kodrati yang melekat pada manusia. Begitu juga dengan kategorisasi hak-hak di dalamnya tampak merujuk pada instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia, seperti Universal Declaration of Human Rights, International Covenan on Civil and Political Rights, International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights, International Convention on the Rights of Child, dan seterusnya. Dengan demikian boleh dikatakan Undang-Undang ini telah mengadopsi norma-norma hak yang terdapat di dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional tersebut.
Di samping memuat norma-norma hak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga memuat aturan mengenai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (bab VII). Mulai Pasal 75 sampai Pasal 99 mengatur tentang kewenangan dan fungsi, keanggotaan, serta struktur kelembagaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Jadi kalau sebelumnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdiri berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993, maka setelah disahkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 landasan hukumnya diperkuat dengan Undang-Undang. Hal yang menarik dalam Undang-Undang ini adalah adanya aturan tentang partisipasi masyarakat (bab VIII), mulai dari Pasal 100 sampai Pasal 103. Aturan ini jelas memberikan pengakuan legal terhadap keabsahan advokasi hak asasi manusia yang dilakukan oleh organisasi-organisasi pembela hak asasi manusia atau “human rights defenders”. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengamanatkan pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia yang harus dibentuk paling lama dalam jangka waktu empat tahun setelah berlakunya Undang-Undang tersebut (Bab IX).
Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana status Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ini setelah keluarnya Amandemen Kedua tentang Hak Asasi Manusia? Apakah tetap berlaku atau tidak? Kaidah “ketentuan yang baru menghapus ketentuan yang lama” jelas tidak dapat diterapkan di sini. Kaidah tersebut hanya berlaku untuk norma yang setingkat. Karena kedudukan kedua ketentuan tersebut tidak setingkat, dan sejalan dengan “stuffenbau theorie des rechts” (hierarchy of norm theory), norma konstitusi lebih tinggi daripada undang-undang. Maka Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 itu tetap berlaku dan dapat dipandang sebagai ketentuan organik dari ketentuan hak asasi manusia yang terdapat pada amandemen kedua.



PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA INDONESIA
A. Pendahuluan
Memburuknya situasi keamanan dan hak asasi manusia di Timor Timur pasca jajak pendapat tahun 1999 menarik perhatian dunia internasional, khususnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan keadaan tersebut. Menurut laporan Komisi Penyidik Pelanggaran (KPP) Hak Asasi Manusia untuk Timor Timur telah terjadi beberapa pelanggaran berat hak asasi manusia di antaranya adalah pembunuhan massal, penyiksaan dan penganiayaan, penghilangan paksa, kekerasan berbasis gender, pemindahan penduduk secara paksa dan pembumihangusan.
Dewan Keamanan PBB (DK PBB) kemudian mengeluarkan Resolusi Nomor 1264 Tahun 1999 yang isinya mengecam pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi pasca jajak pendapat di Timor-Timur, penyerangan terhadap personil kemanusiaan nasional dan internasional, dan menderitanya rakyat sipil akibat pemindahan paksa secara besar-besaran. Oleh karena itu DK PBB meminta para pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia tersebut mempertanggung jawabkan tindakannya di muka pengadilan.
Menyikapi Resolusi DK PBB tersebut yang merupakan bentuk desakan dunia internasional dan demi untuk melindungi kepentingan nasional yang lebih besar lagi, Pemerintah Indonesia akhirnya setuju untuk membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tanggal 23 Nopember 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai pengganti PERPU Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia karena PERPU ini oleh DPR dianggap tidak memadai sehingga tidak disetujui sebagai undang-undang.474 Pendirian Pengadilan Hak Asasi Manusia ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 104 paragrap (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
B. Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia. Definisi pelanggaran berat hak asasi manusia dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 104 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelanggaran berat hak asasi manusia adalah:
“pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination)”.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 sendiri tidak mendefinisikan pengertian istilah “pelanggaran berat hak asasi manusia”, melainkan hanya menyebut kategori kejahatan yang merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia, yakni: kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida.
Yang dimaksudkan dengan kejahatan genosida adalah :
“setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis dan kelompok agama, dengan cara:
a)      membunuh anggota kelompok;
b)      mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c)      menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian;
d)     memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan memaksakan kelahiran di dalam kelompok; dan
e)      memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain”
Selanjutnya, yang dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah:
“salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa:
a)      pembunuhan;
b)      pemusnahan;
c)      perbudakan;
d)     pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e)      perampasan kemerdekaan atau perampasan secara fisik lain secara sewenangwenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f)       penyiksaan;
g)      perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h)      penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i)        penghilangan orang secara paksa; atau
j)        kejahatan apartheid
Definisi kedua jenis kejahatan di atas merupakan pengadopsian dari kejahatan yang merupakan yurisdiksi International Criminal Court (ICC) seperti diatur dalam Pasal 6 dan 7 Statuta Roma. Statuta Roma sebagai dasar pendirian ICC telah berlaku sejak diratifikasi oleh 60 negara yakni pada tanggal 1 Juli 2002. Indonesia sendiri belum menjadi Negara Pihak ICC. Statuta Roma juga dilengkapi dengan aturan terpisah yakni Rules of Procedure and Evidence mengenai hukum acaranya serta Element of Crimes mengenai penjelasan unsur-unsur kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC yakni kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Element of Crimes ini ditujukan untuk memberikan kesamaan pemahaman bagi hakim dan aparat penegak hukum ICC serta batasan terhadap bentuk-bentuk kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC. Di Indonesia sendiri, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak dilengkapi Element of Crimes bagi kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida serta pertanggungjawaban komando, sehingga seringkali membingungkan para penegak hukum khususnya hakim ketika harus menafsirkannya sebagai suatu tindak pidana/delik yang merupakan Pelanggaran berat hak asasi manusia. Beberapa kasus di Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor-Timur membuktikan terdapatnya pemahaman yang berbeda-beda dari hakim ketika menafsirkan suatu perbuatan yang digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan karena referensi yang mereka gunakan pun berbeda.
Selain itu, jika dicermati, terdapat begitu banyak ketidakteraturan penggunaan padanan bahasa Indonesia untuk istilah-istilah bahasa asing yang dikutip dan diserap dari instrumen internasional yang bersangkutan, dalam hal ini Rome Statute of the International Criminal Court (Statuta Roma Pengadilan Pidana Internasional), 1998. Misalnya, kata “…directed against civilian population…” diterjemahkan menjadi “ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil…”. Penambahan kata “langsung” disini berimplikasi pada sulitnya menjangkau pelaku yang bukan pelaku lapangan.
Selanjutnya, definisi kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Undang-Undang 26 Tahun 2000 tidak mencantumkan ketentuan huruf (k) dalam Statuta Roma yang berisi : “tindakan-tindakan tidak berperikemanusiaan lain yang mempunyai sifat yang sama yang dengan sengaja menyebabkan penderitaan yang luar biasa atau luka yang serius terhadap kesehatan tubuh atau mental”. Dikhawatirkan definisi kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak dapat mengakomodir bentuk-bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan lain yang sudah berkembang dewasa ini.
Ketidakteraturan padanan bahasa Indonesia yang dikutip dari teks asli dalam hal ini Statuta Roma juga dapat terlihat dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Tanggung Jawab Komando yang berbunyi:
(1) Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam jurisdiksi Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang dilakukan pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukannya pengendalian pasukan secara patut, yaitu:
a)      komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui, atau atas dasar keadaan saat itu, seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran berta hak asasi manusia; dan
b)      Komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya pada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan;
(2) Seseorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar
a.       atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia; dan
b.      atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya pada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan” (penulisan huruf miring dan garis bawah oleh penulis).
Pasal 42 Undang-Undang ini menggunakan istilah ‘dapat’ dan menghilangkan kata ‘secara pidana’ sedangkan dalam teks asli Pasal 28 (a) Statuta Roma menggunakan istilah ‘shall be criminally responsible’ yang padanan katanya adalah ‘harus bertanggung jawab secara pidana’. Hal ini dapat menimbulkan penafsiran ganda bagi kalangan penegak hukum karena dapat diartikan bahwa seorang komandan ‘tidak selalu harus’ dipertanggungjawabkan secara pidana atas tindakan bawahannya. Penggunaan istilah ‘dapat ‘ dan penghilangan kata ‘secara pidana’ ini tidak sejalan dengan maksud dari Pasal 28 (a) Statuta Roma, juga dengan Pasal 42 (b) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 jo Pasal 28 (b) Statuta Roma479. Pasal 42 adalah pasal yang penting dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 karena pasal ini merupakan dasar hukum bagi komandan militer atau individu lain yang berada dalam posisi atasan atau pemegang kekuasaan komando lainnya untuk bertanggungjawab secara pidana atas kelalaian atau kegagalannya untuk melaksanakan pengendalian terhadap anak buahnya sehingga terjadi kejahatan internasional. Hampir semua terdakwa Pengadilan Hak Asasi Manusia baik Ad Hoc (untuk kasus Timor-Timur dan Tanjung Priok) serta permanen (untuk kasus Abepura) dituntut berdasarkan pasal 42 ini, karena sebagian besar dari mereka adalah seorang atasan baik sipil maupun militer. Dan dengan ketidakteraturan penggunaan padanan bahasa Indonesia dalam pasal ini, tidak mengherankan apabila sebagian besar dari mereka diputus bebas oleh Pengadilan.
Pengadilan Hak Asasi Manusai Indonesia berwenang untuk mengadili pelanggaran berat hak asasi manusia setelah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 berlaku. Bagi pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 diundangkan maka, seperti yang diatur dalam Pasal 43, dilaksanakan oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc yang dibentuk dengan Keputusan Presiden berdasarkan usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ini merupakan perkecualian dari azas non-retroaktif, di mana seseorang tidak dapat diadili atas hukum yang berlaku surut yakni berdasarkan undang-undang yang pada saat tindak pidana itu dilakukan belum diundangkan. Dalam hal pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc harus berdasarkan usul dari DPR, Undang-Undang ini tidak menerangkan lebih lanjut mengenai prosedur yang harus ditempuh hingga akhirnya DPR mengusulkan kepada Presiden bahwa “situasi tertentu” merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia. Hal ini seringkali disalahtafsirkan bahwa DPR-lah yang berwenang untuk menentukan bahwa suatu peristiwa merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia atau bukan, padahal sebagai lembaga politik DPR tidak memiliki kewenangan sebagai penyelidik yang merupakan tindakan judicial dan merupakan kewenangan Komnas HAM seperti yang diatur dalam Undang-Undang.
Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 sembilan peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia telah diselidiki oleh Komnas HAM. Peristiwa-peristiwa tersebut menurut urutan waktu terjadinya adalah peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti 1998, Peristiwa Semanggi 1998, Peristiwa Semanggi 1999, Peristiwa Timor Timur 1999, Peristiwa Abepura 2000, Peristiwa Wasior 2001-2002, dan Peristiwa Wamena 2003. Penyelidikan peristiwa-peristiwa di atas dilakukan oleh Komnas HAM dengan membentuk tim ad hoc sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, sampai dengan 2001 dengan nama “Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia” (KPP HAM) dan, sejak 2003, dengan nama “Tim ad hoc Penyelidikan” (Tim ad hoc). Liputan peristiwa yang diselidiki oleh tim ad hoc dapat mencakup hanya satu peristiwa saja (dalam hal ini KPP HAM Peristiwa Tanjung Priok 1984, KPP HAM Peristiwa Timor Timur 1999, KPP HAM Peristiwa Abepura 2000, dan Tim Ad Hoc Peristiwa Kerusuhan Mei 1998) atau lebih dari satu peristiwa (dalam hal ini KPP HAM Trisakti 1998, Semanggi 1998, dan Semanggi 1999 serta Tim ad hoc Peristiwa Wasior 2001 – 2002 dan Peristiwa Wamena 2003).
Kemudian sebagai kelanjutan dari penyelidikan KPP HAM Peristiwa Timor Timur dan Tanjung Priok, telah didirikan dua buah Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc. Kedua Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc tersebut dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2001 yang ditetapkan tanggal 23 April 2001 yang bertugas untuk mengadili pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi di Timor-Timur pasca jajak pendapat dan Tanjung Priok pada tahun 1984. Dengan Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2001 yang ditetapkan tanggal 1 Agustus 2001 telah dirubah tempus delicti dan locus delicti sehingga kewenangan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc lebih dibatasi hanya untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi di Timor-Timur dalam wilayah Liquica, Dili dan Suai pada bulan April 1999 dan September 1999, dan yang terjadi di Tanjung Priok pada bulan September 1984. Sebagai tindak lanjut dari Keppres tersebut beberapa hakim Ad Hoc telah diangkat dengan Keputusan Presiden untuk mendampingi hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia tingkat pertama, banding dan Hakim Agung di tingkat kasasi.
Selain itu, untuk menindaklanjuti laporan KPP HAM untuk peristiwa Abepura tahun 2000, maka Pengadilan Hak Asasi Manusia di Makassar merupakan Pengadilan Hak Asasi Manusia permanen yang pertama yang berwenang untuk mengadili para pelaku yang diduga melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia di Abepura.
Hukum Acara yang digunakan dalam Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun kejahatan yang diatur dalam Undang-Undang 26 Tahun 2000 adalah extra-ordinary crimes yang “berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (Penjelasan, I, Umum, alinea ke-8, angka 1). Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah lex specialis dengan konsekuensi bahwa di dalamnya terdapat ketentuan yang menyimpang dari ketentuan yang terdapat dalam KUHP, seperti dijelaskan pada paragraph sebelumnya tentang penerapan asas retroaktif. Pasal hukum acara dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 seluruhnya berjumlah 24 Pasal (Pasal 10-Pasal 33). Diawali oleh pasal yang merupakan ketentuan umum yang menetapkan bahwa “Dalam hal tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana” (Pasal 10). Beberapa aturan beracara baru yang diatur dalam Undang-Undang 26 Tahun 2000 dan mengecualikan aturan yang sama dalam KUHAP, diantaranya:
a.       pembentukan penyelidik ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad hoc, dan hakim ad hoc;
b.      penyelidik hanya dilakukan oleh Komnas HAM sedangkan penyidik tidak diperkenankan menerima laporan atau pengaduaan sebagaimana diatur dalam KUHAP;
c.       diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu melakukan penyidikkan, penuntutan dan pemerikasaan pengadilan;
d.      ketentuan mengenai korban dan saksi;
Walaupun terdapat aturan-aturan baru tersebut, pada prakteknya masih terdapat aturan-aturan beracara yang tidak terakomodasi baik dalam KUHAP maupun dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 seperti misalnya dasar hukum sub poena power yang dimiliki penyelidik dalam hal ini Komnas HAM.486 Mengingat kejahatan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 ini adalah bukan tindak pidana biasa maka selayaknya juga dibuat Hukum Acara yang khusus (seperti halnya Rules of Procedure and Evidence ICC) yang berbeda dengan hukum acara untuk tindak pidana biasa seperti yang diatur dalam KUHAP.
Dalam hal penyelidikan pelanggaran berat hak asasi manusia merupakan kewenangan Komnas HAM, sedangkan penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh Jaksa Agung berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM.488 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 memisahkan lembaga penyelidik dan lembaga penyidik dengan pertimbangan bahwa lembaga yang ditetapkan sebagai lembaga penyelidik adalah lembaga yang independen dengan maksud agar, karena independensinya ini, hasil penyelidikannya dapat dijamin objektivitasnya. Namun, seringkali terjadi perbedaan pendapat antara kedua lembaga tersebut dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak mengatur mekanisme penyelesaiannya. Situasi demikian akan menyebabkan terhentinya proses penyelesaian planggaran berat hak asasi manusia yang bersangkutan, hal yang tidak selaras dengan upaya penegakan hukum dan keadilan.
Pemeriksaan perkara di Pengadilan Hak Asasi Manusia dilaksanakan paling lama 180 hari, dan dilakukan oleh Majelis Hakim yang terdiri dari 3 hakim ad hoc dan 2 hakim karir yang diketuai oleh Hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia. Di Pengadilan Tinggi pemeriksaan dilakukan paling lama 90 hari sejak diterimanya berkas perkara, dan majelis hakim terdiri dari 3 hakim ad hoc dan 2 hakim karir. Pemeriksaan di tingkat kasasi harus diselesaikan paling lama 90 hari dengan majelis hakim yang terdiri dari 3 hakim ad hoc dan 2 hakim karir. Dalam prakteknya, khususnya dalam praktek Pengadilam Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor-Timur, hampir di setiap pemeriksaan perkara di tingkat pertama melampaui tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang.
Mengenai penetapan hakim karir Pengadilan Hak Asasi Manusia, selama ini murni menjadi kewenangan Ketua Mahkamah Agung, karena tidak ada satupun ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang mengaturnya. MA juga tidak menyebutkan kriteria yang diugunakannya untuk memilih hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia. Para hakim tertentu dipanggil Mahkamah Agung untuk mengikuti program diklat, dengan rangkaian diskusi didalamnya dan tingkat keaktifan mereka dalam mengkuti diskusi tersebut yang diduga menjadi dasar terpilih/tidaknya mereka sebagai hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia. karena itu proses penetapan Hakim karir Pengadilan Hak Asasi Manusia ini dinilai banyak kalangan berlangsung tidak transparan.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 juga tidak mengatur mekanisme yang jelas mengenai penetapan hakim Ad Hoc. Satu-satunya ketentuan mengenai hal ini adalah pada pasal 28 (1) yang menyebutkan Hakim Ad Hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung. Rekrutmen Hakim Ad Hoc pertama tahun 1999 hanya dilakukan oleh Tim seleksi Mahkamah Agung tanpa melibatkan stake holders yang lebih luas. Hal ini dikarenakan target waktu yang sangat terbatas. Sistem rekrutmen dilaukan berdasarkan sistem penjaringan di mana wilayah penjaringan dibatasi hanya pada akademisi hak asasi manusia dari perguruan tinggi/fakultas hukum yang memiliki Pusat Studi Hak Asasi Manusia. Pengangkatan Hakim Ad Hoc dilakukan melalui Keppres Nomor 6/M Tahun 2002. Dalam Keppres tersebut juga tidak disebutkan di mana Hakim Ad Hoc akan ditempatkan, hanya disebutkan pada Pengadilan Hak Asasi Manusia tingkat pertama dan tingkat banding. Pengaturan tersebut berbeda bagi Hakim Ad Hoc pada tingkat kasasi. Jika rekrutmen Hakim Ad Hoc tingkat pertama dan banding pencalonannya diusulkan oleh Mahkamah Agung untuk kemudian diangkat oleh Presiden, pada tingkat Mahkamah Agung pengusulan calonnya dilakukan oleh DPR. Dalam Pasal 33 (4) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 disebutkan bahwa “Hakim Ad Hoc di Mahkamah Agung dinagkat oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.
Mengenai ketentuan pidana, bagi kejahatan yang diatur dalam pasal 8 a,b,c,d,e diancam dengan pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 25 tahun atau sekurangnya 10 tahun. Bagi kejahatan tercantum dalam pasal 9 a,b,c,d,e atau j, dipidana dengan pidana mati, atau pidana seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 25 tahun atau pidana penjara paling singkat 10 tahun. Bagi kejahatan sebagaimana diatur dalam pasal 9 c atau f, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 5 tahun. Bagi kejahatan yang diatur dalam pasal 9 g, h, dan I dipidana penjara selama-lamanya 20 tahun dan paling singkat 10 tahun. Adanya aturan pidana minimum dalam Undang-Undang ini memang termasuk janggal, mengingat ketentuan pidana minimum ini tidak pernah diatur dalam kovenan-kovenan internasional termasuk Statuta Roma.
Dalam hal pemidaan, Pengadilan Hak Asasi Manusia baik Ad Hoc (Timor Timur dan Tanjung Priok) serta Pengadilan Hak Asasi Manusia permanen untuk Abepura memperlihatkan bahwa hampir semua terdakwa diputus bebas.
Pasal 11 sampai dengan 17 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 memberikan kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap tersangka pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia dan lama waktu penahanan serta selama proses persidangan dan kasasi ke Mahkamah Agung. Undang-Undang ini mengatur mengatur mengenai batas waktu maksimal untuk melakukan penahanan sejak tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan persidangan, banding dan kasasi. Dalam praktek Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad-Hoc Timor Timur, ketentuan ini tidak diterapkan, termasuk mereka yang dihukum dalam pengadilan tingkat pertama dan sedang menunggu proses banding. Tidak ditahannya para terdakwa tersebut jelas bertentangan dengan aturan dalam KUHP mengingat ancaman hukuman yang dikenakan terhadap para terdakwa tersebut adalah lebih dari lima tahun dan KUHP menyatakan bahwa:
“Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun/lebih…”

Tempat dan kedudukan Pengadilan Hak Asasi Manusia yaitu di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkuta. Untuk DKI Jakarta, Pengadilan Hak Asasi Manusia berkedudukan disetiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Dan untuk pertama kalinya pada saat Undang-Undang ini berlaku, Pengadilan Hak Asasi Manusia dibentuk di :
1.      Jakarta Pusat: mencakup wilayah DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah;
2.      Surabaya: mencakup wilayah Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, NTB dan NTT;
3.      Makassar: mencakup Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara dan Irian Jaya;
4.      Medan: mencakup wilayah Provinsi Sumatera utara, DI Aceh, Riau, Jambi, dan Sumatera Barat.
Seperti yang telah disinggung di atas, hingga saat ini baru Pengadilan Hak Asasi Manusia Makassar yang telah bersidang untuk mengadili kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di Abepura Papua. Mengenai pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia ini, muncul beberapa pertanyaan bagaimana jika kemudian dirasa dibutuhkan Pengadilan Hak Asasi Manusia selain dari 4 pengadilan tersebut, dan apakah bentuk hukum yang tepat untuk itu apakah harus menggunakan Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan lain mengingat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak memberikan penjelasan mengenai hal tersebut.
Sehubungan dengan pelanggaran berat hak asasi manusia, pelindungan korban dan saksi adalah salah satu masalah yang perlu diberikan perhatian yang sungguh-sungguh. Perlindungan saksi tersebut juga mencakup pemberian ganti kerugian bagi korban dan keluarganya termasuk kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 telah memberikan jaminan perlindungan saksi dan korban seperti yang diatur dalam pasal 34 dan 35, di mana tata cara pelaksanaannya diatur dalam Peraturan pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang perlindungan korban dan saksi bagi pelanggaran berat hak asasi manusia dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap korban pelanggaran berat hak asasi manusia.
Namun, dalam perlindungan saksi dan korban, praktek Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor Timur dan Tanjung Priok membuktikan masih sangat minim dan belum memadai. Misalnya, ruang sidang dapat dengan mudahnya dimasuki oleh orang-orang yang tidak berkepentingan dan tidak ada perahasiaan identitas saksi terhadap publik. Alasan lainnya adalah tidak adanya safe house, perlakuan aparat terhadap korban dan saksi, kurangnya persiapan dan pengalaman aparat, dan alasan biaya sehingga banyak saksi yang tidak mau hadir ke persidangan. Akibat ketidakhadiran saksi maka kebenaran tidak terungkap dengan baik sehingga keputusan tidak memenuhi rasa keadilan. Di samping itu asas peradilan yang cepat dan hemat pun tidak tecapai karena seringnya pengunduran/perobahan jadwal persidangan akibat ketidakhadiran saksi.
Mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa “setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kempensasi, restitusi, dan rehabilitasi” (Pasal 35 ayat (1)) (huruf tebal oleh penulis). Penggunaan kata dapat memberikan konsekuensi hukum bahwa kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi tidak diakui oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 sebagai “hak” dan hanya diberikan kepada korban Pelanggaran berat hak asasi manusia atau ahli warisnya apabila dicantumkan dalam keputusan Pengadilan Hak Asasi Manusia, atau sesuai dengan tuntutan penuntut umum. Sehingga kata “dapat” menjadikan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi tidak harus (huruf tebal oleh penulis) diberikan kepada korban Pelanggaran berat HAM atau ahli warisnya.
Sementara itu dalam prakteknya, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia baik Ad Hoc (Timor Timur dan Tanjung Priok) maupun permanen (Abepura) belum pernah menerapkan pemberian ganti rugi baik dalam bentuk kompensasi (dari Negara), maupun restitusi (dari pelaku) kepada korban. Hal yang sama juga terjadi dalam kasus pelanggaran berat hak asasi manusia di Abepura. Beberapa korban mengajukan permohonan kompensasi, namun karena semua terdakwa dibebaskan bahkan pelanggaran berat hak asasi manusia-pun dinyatakan tidak terbukti, maka semua korban tidak diberikan kompensasi.
Selain melaksanakan penghukuman bagi pelaku, pemberian kompensasi kepada korban merupakan salah satu bentuk tanggungjawab negara (state responsibility) ketika terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia di wilayahnya. Karena itu, idealnya pemberian kompensasi ini tidak harus menunggu pelaku atau pihak ketiga tidak mampu untuk memenuhi tanggungjawabnya, namun merupakan kewajiban yang sudah melekat bagi negara. Definisi ini sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 1 (6) Undang-Undang KKR Nomor 3 Tahun 2004, dan seharusnya definisi inilah yang diterapkan dalam praktek Pengadilan Hak Asasi Manusia kita sehingga dibebaskan atau dihukumnya terdakwa tidak akan mempengaruhi kewajiban negara untuk memberikan kompensasi bagi korban pelanggaran berat hak asasi manusia.
C. Kesimpulan
Pendirian Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia memang tidak lepas dari tekanan masyarakat internasional kepada Pemerintah Indonesia untuk segera mengadili para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Timor Timur. Pendirian Pengadilan ini merupakan salah satu bentuk usaha Indonesia untuk memenuhi kewajiban internasionalnya memaksimalkan mekanisme hukum nasional untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia di dalam negerinya (exhaustion of local remedies). Hal ini tentu saja untuk mencegah masuknya mekanisme hukum internasional untuk mengadili warganegara Indonesia yang diduga melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia. Karena dalam hukum internasional, pengadilan internasional tidak dapat secara serta merta menggantikan peran pengadilan nasional tanpa melewati peran pengadilan nasional suatu negara.
Namun, pendirian Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia tidak berarti menutup kemungkinan dibentuknya Pengadilan Hak Asasi Manusia Internasional Ad Hoc bagi Indonesia apabila Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia tidak berjalan sesuai dengan standar internasional. Ukuran-ukuran kegagalan pengadilan nasional tersebut adalah ketidakinginan mengadili dan ketidakmampuan. Hal ini berarti bahwa Indonesia harus memperlihatkan keseriusannya untuk memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia terhadap warganegaranya khususnya melalui mekanisme penegakan hukum hak asasi manusia di Indonesia.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa masih terdapat banyak sekali kekurangan dalam Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, baik dari segi instrumen hukum, infrastruktur serta sumber daya manusianya yang bermuara pada ketidakpastian hukum karena tidak dapat dituntaskannya proses penyelesaian pelanggaran berat hak asasi manusia. Hal ini tentu saja harus segera dibenahi selain untuk pengefektifan sistem hukum nasional Indonesia, juga untuk meminimalkan adanya celah mekanisme internasional untuk mengintervensi sistem hukum Indonesia.



0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com