Senin, 28 September 2015

KAPITA SELEKTA PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

KAPITA SELEKTA PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

BAB I
HUKUM ISLAM DITETAPKAN SECARA BERANGSUR-ANGSUR
  1. Dalam Pengharaman Khamar
1.      Surat An-Nahl ayat 67:
ومن ثمرات النخيل والاعناب تتخذون منه سكرا ورزقا ان فى ذلك لاية لقوم يعقلون
(٦٧ : النحل)
Artinya: Dan dari buah kurma dan anggur, kamu membuat minuman yang memabukan dan rezeki yang baik. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang mengerti (QS. An-Nahl: 67).[1]  

2.      Surat Al-Baqarah ayat 219:
يـسـألونـك عـن الخـمـروالمـيـسـرقـل فـيـهـما اثـم كـبـيرومـنافـع للنـاس
واثـمـهما اكـبرمن نـفـعـهـما
Artinya: Mereka meanyakan kepadamu (Muhammad)tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya”.[2]

3.      Surat An-Nisa’ ayat 43 :

ياأيهاالذين أمنوا لاتقربوا االصلاة وانتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون

(٤٣ : النساء)



Artinya: Wahai orang-orang yang beriman. Janganlah kamu mendekati shalat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan (QS. An-Nisa’ : 43).[3]  

4.      Surat Al-Maidah ayat 90 :
ياأيهاالذين أمنوا إنما الخمروالميسروالانصاب والازلام رجس من عمل الشيطان
فاجتنبوه لعلكم تفلحون
       Artinya: Wahai orang-orang yang beriman. Sesungguhya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung (QS. Al-Maidah: 90).[4]

           
            Dalam ayat 67 surat An-Nahl ada isyarat dari perasan kurma atau anggur dapat dibuat minuman keras yang memabukan, dan ada perintah kepada akal untuk mempertimbangkannya, tetapi belum ada pelarangan khamar. “Kaum muslimin pada masa awal Islam biasa minum khamar, karena ia masih halal bagi mereka.”[5]
            Setelah turun ayat 219 surat Al-Baqarah sebagian kaum muslimin meninggalkan khamar, karena adanya keterangan dalam ayat tersebut berbunyi “pada keduanya terdapat dosa besar”, tetapi sebagian yang lain masih tetap meminumnya, karena berpegang pada faktor “ada beberapa manfaat bagi manusia”.[6]
            Pertanyaan dalam ayat 219 surat Al-Baqarah berkenaan dengan khamar dan judi yang merupakan salah satu bentuk perolehan dan penggunaan harta yang dilarang sebelum ini (ayat 188) serta bertentangan dengan menafkahkannya di jalan yang baik (ayat 215). Di sisi lain, sebelum ini telah dijelaskan tentang bolehnya makan dan minum di malam hari bulan Ramadhan, di sini dijelaskan tentang menuman keras yang dirangkaikan dengan perjudian karena masyarakat jahiliah sering minum sambil judi. Selain itu, salah satu barang rampasan dari kafilah yang dihadang oleh pasukan Abdullah Ibn Jahsy adalah minuman keras. Hal-hal itu menghubungkan ayat yang dimulai dengan pertanyaan, “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi.”[7]  
            Pada keduanya itu terdapat dosa besar, seperti hilangnya keseimbangan, gangguan kesehatan, penipuan, kebohongan, perolehan harta tanpa hak, benih permusuhan, dan beberapa manfaat duniawi bagi segelintir manusia, seperti keuntungan materi, kesenangan sementara, kehangatan di musim dingin, dan ketersediaan lapangan kerja. Ada juga riwayat yang menceriterakan bahwa pada masa jahiliah hasil perjudian mereka sumbangkan kepada fakir miskin. Semua itu adalah manfaat duniawi, tetapi dosa yang diakibatkanoleh lebih besar daripada manfaatnya karena manfaat tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang di dunia, dan mereka akan tersiksa kelak di akhirat.[8]
            Ayat 219 ini isyarat kuat tentang keharamannya sudah lebih jeelas, walau belum tegas. Jawaban yang menyatakan dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya menunjukkan bahwa ia seharusnya dihindari karena sesuatu yang keburukannya laabih banyak daripada kebaikannya adalah sesuatu yang tercela, bahkan haram.[9]
            Melalui ayat 43 surat An-Nisa’ khamar diharamkan pada waktu tertentu. “Allah mengharamkan mabuk pada waktu-waktu shalat. Maka seseorang sejak itu minum khamar sesudah shalat Isya sehingga bila ia bangun untuk shalat shubuh sudah sadar dari mabuknya.”[10]
            Ayat 43 surat An-Nisa’ mengandung dua macam hukum. Pertama, larangan melaksanakan shalat dalam keadaan mabuk, dan kedua, larangan mendekati masjid dalam keadaan junub. Ada juga yang memahaminya dalam arti larangan mendekati tempat shalat ---yakni masjid--- dalam keadaan mabuk dan junub, dan dengan demikian ia hanya mengandung satu hukum saja.[11]
            Allah SWT mengharamkan khamar secara menyeluruh dengan turunya ayat 90 surat Al-Maidah. “Imam Bukhari ketika menjelaskan perurutan larangan-larangan itu mengatakan bahwa, karena minuman keras merupakan salah satu yang paling banyak menghilangkan harta, disusulnya larangan meminum khamar dengan perjudian. Dan, karena perjudian merupakan salah satu cara yang membinasakan harta, pembinasaan harta disusul dengan larangan pengagungan terhadap berhala yang merupakan pembinasaan agama. Kesemuanya itu merupakan rijs (perbuatan keji).”[12]
            Diharamkannya khamar secara bertahap mengandung suatu hikmah kebijaksanaan yang sangat tepat. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa bangsa Arab (sejak zaman jahiliah) telah terbiasa meminum khamar, sehingga menjadi bagian dari kehidupan mereka. Sekiranya minum khamar diharamkan sekaligus, maka hal itu akan menjadi masalah bagi mereka, dan mungkin mereka menolak mematuhi larangan tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh Siti Aisyah, “pertama-tama yang turun dari Al-Qur’an ialah surat mufashal (surat-surat pendek) yang di dalamnya diterangkan soal surga dan neraka. Setelah manusia mempunyai kesadaran tentang Islam, baru turun ayat-ayat tentang halal dan haram. Sekiranya wahyu yang pertama turun berbunyi: “Janganlah kamu meminum khamar,” niscaya mereka akan berkata, “tidak, kami tidak akan meninggalkan khamar sama sekali.”[13]
            Demikianlah garis-garis haluan kebijaksanaan Islam dalam menangani penyakit-penyakit sosial. Islam telah menempuh jalan secara berangsur-angsur, tahap demi tahap dalam mensyari’atkan hukum-hukumnya. Dalam masalah khamar, Islam memulai dengan menjauhkan orang daripadanya secara tidak langsung sebagaimana tampak pada ayat yaang pertama (surat An-Nahl: 67). Upaya menjauhkan orang dari minum khamar kemudian dilakukan secara langsung dengan mengungkapkan perbandingan antara dua unsur yang terdapat pada khamar, sebagaimana dijelaskan dalam ayat yang kedua (surat Al-Baqarah: 219), yang kemudian ditingkatkan dengan larangan terbatas, yaitu pada waktu-waktu shalat, sebagaimana tersebut dalam ayat yang ketiga (surat An-Nisa’: 43). Kemudian ditetapkan larangan secara menyeluruh dalam segala waktu, sebagaimana tersebut ayat yang keempat (surat Al-Maidah: 90).[14]
            Abu Musa al-Asy’ari bertanya kepada Rasulullah SAW., “Wahai Nabi, berilah fatwa kepada kami tentang minuman yang kami buat di Yaman, Bata’terbuat dari madu yang direndam sampai keras dan Mizr terbuat dari jagung dan gandun yang direndam hingga keras”. Beliau menjawab: “semua minuman yang memabukkan adalah haram.”[15]
            Al-khamru maa khamaral aqla (arak ialah semua bahan yang dapat menutupi akal). Setiap yang dapat mengganggu fikiran dan mengeluarkan akal dari tabiat yang sebenarnya disebut arak yang dengan tegas telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya sampai hari kiamat. Semua bahan narkotik atau zat adiktif seperti ganja, mariyuana dan sebagainya yang dapat mempengaruhi terhadap perasaan dan akal fikiran, misalnya dapat melupakan suatu kenyataan, dapat menghayal yang tidak akan terjadi dan bisa tenggelam dalam mimpi yang bukan-bukan. Narkotik dapat melumpuhkan anggota tubuh manusia dan menurunkan kesehatan. Juga dapat mengganggu kemurnian jiwa, menghancurkan moral, meruntuhkan iradah dan melemahkan perasaan untuk melaksanakan kewajiban yang oleh para pecandunya dijadikan alat untuk meracuni masyarakat.[16]     
                    

  1. Dalam Pengharaman Riba
  1. Surat Ar-Ruum ayat 39:
وماأتيتم من ربا ليربوا في اموال الناس فلا يربوا عند الله وما اتيتم من زكوة
تريدون وجه الله فاولئـك هم المضعـفون
Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridaan Allah, maka itulah orang-orang melipatgandakan (pahalanya).[17]

  1. Surat An-Nisa’ ayat 161 :
واخذهم الربوا وقد نهواعنه واكلهم اموال الناس بالباطل واعتدنا للكفرين منهم عذابا
اليما
      Artinya: Dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil), dan kami sediakan untuk orang kafir di antara mereka azab yang pedih.[18]

  1. Surat Ali ‘Imran ayat 130 :

يايهاالذين أمنوا لاتأكلوا الربوا اضعافا مضعفة واتقواالله لعلكم تفلحون

(١٣٠ : ال عمران)

       Artinya: Wahai orang-orang yang beriman. Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.[19]

  1. Surat Al-Baqarah ayat 278 :

ياأيها الذين أمنوا اتقوا الله ودروا ما بقى من الربوا ان كنتم مؤمنين


     Artinya: Wahai orang-orang yang beriman. Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman.[20]

            Dalam surat Ar-Ruum ayat 39 tidak terdapat isyarat yang menunjukkan diharamkannya riba, hanya saja Allah menunjukkan kebencian terhadap praktek riba serta riba tidak berpahala di sisi Allah. Atas dasar itu, riba masih diperbolehkan dengan peringatan negatif untuk tidak dipraktekkan.[21]
            Jika kita memahaminya sebagai riba yang diharamkan, ini berarti ayat di atas telah dibatalkan hukumnya atau dengan kata lain mansukh. Sedang, kecenderungan banyak ulama dewasa ini menolak adanya ayat-ayat mansukh setelah ayat-ayat yang selama ini dinilai bertolak belakang ternyata dapat dikompromikan. Karena itu, penulis cenderung memahami kata riba di sini dalam arti hadiah yang mempunyai maksud-maksud selain jalinan persahabatan murni. Di sisi lain, dalam al-Qur’an, kata riba ditemukan sebanyak delapan kali dalam empat surah. Salah satu yang menarik adalah cara penulisannya. Hanya dalam ayat surah ar-Ruum ini yang ditulis tanpa menggunakan huruf wau ditulis (ربا). Sedang, selainnya ditulis dengan huruf wau yakni (الربو). Pakar ilmu-ilmu al-Qur’an, az-Zarkasyi, menjadikan perbedaan penulisan itu sebagai salah satu indikator tentang perbedaan maknanya. Yang ini adalah riba yang halal yakni hadiah, sedang yang selainnya adalah riba yang haram, yang merupakan salah satu pokok keburukan ekonomi.[22]
            Surat an-Nisa’ ayat 161 memberikan pelajaran kepada umat Islam dari perilaku orang Yahudi yang memakan riba yang oleh Allah dilarang (diharamkan) tetapi mereka tetap mempraktekannya sehingga laknat dan murka Allah patut ditimpakan kepada mereka.[23] Dari kasus ini dapat dipahami bahwa untuk orang Yahudi saja riba sudah diharamkan dan diancam yang tetap mempraktekaannya, maka dengan dasar kaidah Mafhum Muwafaqah, apalagi umat Islam harus mentaati larangan ini.
            Surat Ali ‘Imran ayat 130 menunjukkan adanya pengharaman riba secara terus terang secara terbatas (tidak menyeluruh) hanya pada riba fakhisyah (yang sangat kejam), yaitu riba yang dalam kebiadaban dan keburukan yang telah mencapai puncaknya serta kejahatannya telah mencapai tingkat yang tidak terungguli dengan sistem bunga berbunga sehingga membubung berlipat ganda yang sangat memberatkan orang yang berhutang untuk dapat melunasi hutangnya.[24]
            Sedangkan Surat al-Baqarah ayat 278 mengharamkan riba secara menyeluruh dan positif, yang oleh al-Qur’an tidak lagi diberikan perbedaan antara riba secara kecil-kecilan dengan riba yang berlipat ganda. Ayat ini memastikan dan menyelesaikan tentang keharaman riba secara tuntas.[25] Dari ayat-ayat tentang riba dapat ditarik beberapa kesimpulan; 1). Riba adalah suatu kejahatan serius terhadap masyarakat dan agama; 2). Riba termasuk dosa-dosa besar yang pemakannya patut mendapat sisksa dalam neraka; 3). Riba dalam bentuk kecil atau besar sama saja haramnya; 4). Kewajiban seorang mukmin berhenti pada ketentuan syari’at dengan jalan menjauhkan diri dari segala yang diharamkan Allah; 5). Senjata yang dapat melindungi seorang muslim dari pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan agama hanya takwa kepada Allah.[26]
            Ayat ini melarang mengambil sisa riba yang belum mereka pungut dan membolehkan mengambil sisa modal. Penutup ayat ini mengisyaratkan bahwa riba tidak menyatu dengan iman dalam diri seseorang. Jika seseorang melakukan praktik riba, itu bermakna ia tidak percaya kepada Allah dan janji-janji-Nya. Dan, bila demikian, perang tidak dapat dielakan. Karena itu, ayat berikutnya mengumumkan perang itu.[27]
            Allah menyatakan perang terhadap riba dan orang yang meribakan hartanya, dan Allah mengingatkan betapa bahayanya riba dalam masyarkat. Dalam hadits diterangkan yang artinya: “Apabila riba dan zina sudah merata di suatu daerah, maka mereka telah menghalalkan dirinya untuk mendapat siksaan Allah.” (H.R. Hakim).[28]    
  1. Penyelesaian Sengketa Suami-Isteri dalam QS. an-Nisa’ ayat : 34-35 :
والتى تخافـون نـشـوزهـن فـعـظـوهـن واهـجروهـن فى المـضاجع واضربـوهـن
وان خـفـتـم شـقـاق بـيـنـهـما فابـعـثـوا حـكـما من اهـلـه وحـكـما من اهـلـها

       Artinya: Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka.
Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya,   maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan.[29]

            Kalau titik temu dalam musyawarah tidak diperoleh dan kepemipinan suami harus ditaati dihadapi oleh isteri dengan nusyuz, keangkuhan, dan pembangkangan, ada langkah yang dianjurkan ditempuh suami untuk mempertahankan mahligai pernikahan.
            Ketiga langkah tersebut adalah nasihat, menghindari hubungan seks, dan memukul. Ketiganya dihubungkan satu dengan yang lain dengan menggunakan huruf wauw yang biasa diterjemahkan dengan dan. Huruf ini tidak mengandung makna perurutan sehingga dari segi tinjauan kebahasaan dapat saja yang kedua didahulukan sebelum yang pertama. Namun demikian, penyusunan langkah-langkah itu sebagaimana bunyi teks memberi kesan bahwa itulah perurutan langkah yang sebaiknya ditempuh.[30]
            Langkah pertama, dengan jalan memberi nasihat dan petunjuk yang bijaksana, serta pelajaran yang baik. Langkah kedua, memisahkan diri dengan jalan berpisah tempat tidur dan meninggalkan pergaulan yang lazim antara suami-isteri. Langkah ketiga, memukul tetapi tidak keras, dengan alat pemukul yang ringan. Langkah keempat, apabila semua langkah di atas tidak memberikan hasil, maka haruslah ditempuh jalan arbitrase untuk meminta keputusan hakam (juru perdamaian).[31]
            Sekali lagi jangan pahami kata “memukul” dalam arti “menyakiti”, jangan juga diartikan sebagai sesuatu yang terpuji. Rasul, Muhammad saw. Mengingatkan agar, “Jangan memukul wajah dan jangan pula menyakiti”. Di kali lain, beliau berabda, “Tidakkah kalian malu memukul isteri kalian, seperti memukul keledai? Malu bukan saja karena memukul, tetapi juga malu karena gagal mendidik dengan nasihat dan cara lain.[32]




















BAB II
PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA MENDATANG

A.    Realitas Umat Islam Indonesia.
Sudah sejak lama kita merisaukan kesenjangan yang parah antara jumlah mayoritas umat Islam Indonesia dan kualitas kehidupan mereka yang tertinggal jauh di buritan pada hampir semua bidang, khususnya di bidang ilmu, teknologi, dan ekonomi. Oleh sebab itu, untuk melangkah ke depan masalah kualitas ini harus mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari para pemimpin Islam Indonesia agar kesenjangan itu secara berangsur dan sadar dapat dipertautkan. Posisi mayoritas tuna-kualitas akan menjadi beban Islam sebagai agama yang ingin membangun peradaban asri yang berkualitas tinggi di muka bumi.[33]
Untuk masalah ini, faktor pendidikan, di samping faktor-faktor lain, akan sangat menentukan. Karena kelalaian kita untuk memikirkan masalah pendidikan ini secara sungguh-sungguh, maka buahnya yang semakin mendera kita adalah ketertinggalan umat dalam bidang ilmu, teknologi, dan ekonomi. Jika disebut umat, sama artinya dengan jumlah hampir 90% rakyat Indonesia. Dengan kata lain, kelumpuhan umat sama saja dengan kelumpuhan bangsa ini secara keseluruhan. Oleh sebab itu, menjadi tidak relevan berbicara tentang pembangunan bangsa, manakala rakyat mayoritas terabaikan.[34]
Dengan demikian dapat dimengerti dengan memandang umat berarti melihat secara nyata rakyat mayoritas di Indonesia yang secara otomatis menganut agama Islam. Jika sebuah realita ternyata umat Islam yang mendiami persada Indonesia aalah mayoritas kuantitas tetapi minoritas kualitas, termasuk dalam pembinaan hukum, maka sudah sewajarnya pembinaan dan pembangunan serta pengembangan di bidang hukum khususnya harus mengacu dan memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan umat tersebut.
B.     Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam.
Hubungan hukum adat dengan hukum Islam dalam makna kontak antara kedua sistem hukum itu telah lama berlagsung di tanah air. Hubungannya akrab dalam masyarakat. Keakraban itu tercermin dalam berbagai pepatah dan ungkapan di beberapa daerah, misalnya adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah. Makna pepatah ini adalah hubungan (hukum) adat dengan hukum  Islam (syara’) erat  sekali, salnig topang-menopang, karena sesungguhnya yang dinamakan adat yang benar-benar adat adalah syara’ itu sendiri. Dalam hubungan ini perlu dijelaskan bahwa adat dalam hubungan ini adalah cara melaksanakan atau memakai syara’ itu dalam masyarakat.
Hal tersebut berbeda dalam pandangan para  penulis barat (Belanda), dimana hubungan hukum adat dengan hukum Islam di Indonesia, terutama di Minangkabau, selalu digambarkan sebagai dua unsur yang bertentangan. Ini dapat dipahami, karena teori konplikyang mereka pergnakan untuk mendekati masalah kedua sistem hukum itu dengan sadar mereka pergunakan untuk memecah-belah dan mengadu-domba rakyat Indonesia guna mengukuhkan kekuasaan Belanda di Indonesia. Karena itu, sikap penguasa jajahan terhadap kedua sistem hukum itu dapat diumpamakan seperti sikap orang yang membelah bambu, mengangkat belahan yang satu (adat) dan menekan belahan yang lain (Islam). Sikap ini jelas tergambar dalam statement van Vollenhoven ketika berpolemik dengan pemerintahnya mengenai politik hukum yang akan dilaksanakan di Hindia-Belanda. Menurutnya, hukum adat harus dipertahankan sebagai hukum bagi golongan bumiputera, tidak boleh didesak oleh hukum Barat. Sebab kalau hukum adat didesak, hukum Islam yang akan berlaku.[35]
Karena itu ada yang mengatakan bahwa apa yang disebut sebagai konplik antara hukum Islam dengan hukum adat pada hakikatnya adalah isu buatan politikus hukum kolonial saja. Salah seorang di antaranya adalah B. Ter Haar yang menjadi master architect pembatasan wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Menurutnya, antara hukum adatdengan hukum Islam tidak mungkin bersatu, apalagi bekerjasama, karena titik-tolaknya berbeda. Hukum adat bertitik-tolak dari kenyataan hukum dalam masyarakat, sedang hukum Islam bertitik-tolak dari kitab-kitab hukum (hasil penalaran manusia). Karena perbedaan itu, timbullah pertentangan yang kadang-kadang dapat diperlunak tetapi sering kali tidak. Karena itu wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura, dibatasi sampai ke bidang yang sekecil-kecilnya.[36] 
Menurut penglihatan para penulis Barat (Belanda), perkawinan yang dilangsungkanmenurut ketentuan hukum Islam hanyalah kontrak antara pribadi-pribadi yang melangsungkan pernikahan saja, sedang perkawinan yang dilakukan menurut hukum adat adalah ikatan yang menghubungkan dua keluarga, yang tampak dari upacara waktu melangsungkan perkawinan itu. Mereka lebih menghargai dan menghidup-hidupkan perkawinan menurut hukum adat saja daripada perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum Islam.[37]
C.    Arah Pembinaan Hukum Nasional.
Hukum nasional adalah hukum yang tumbuh dari citra dan kesadaran hukum masyarakat. Unsur terbesar masyarakat Indonesia terdiri dari warga beragama Islam yang memandang hukum sebagai bagian integral dari keyakinan beragama. Karena itu, berdasarkan pandangan berbagai ahli hukum sendiri, hukum warisan kolonial di Indonesia yang bertentangan dengan pandangan hukum masyarakat tidak dapat diharapkan menjadi hukum nasional yang efektif di masa depan.
Pertarungan sekarang sebenarnya, bila dapat disebut demikian, adalah antara hukum Islam dan hukum adat. Sungguhpun demikian, kehidupan perkotaan, modernisasi, perpindahan penduduk, kawin antar-suku dan lain-lain telah memperkecil apa yang disebut hukum adat. Dari segi lain, hukum adat sebenarnya adalah sebuah istilah hukum Islam yang disebut hukm al ‘adah (ketentuan berdasarkan adat kebiasaan). Atau al-‘urf (kebiasaan). Istilah ini kemudian diselewengkan oleh van Vollenhoven dan kawan-kawan atas nasihat Christian Snauck Hourgronje. Di negara lain seperti India, Pakaistan, Malaysia, dan Filipina, memang terdapat adat-istiadat lokal, tetapi tidak ada hukum adat sebagai sistem hukum. Jadi, hukum adat adalah rekayasa Belanda di Indonesia. Prof. Hazairin menyebut teori hukum adat ini sebagai teori iblis, dan Takdir Alisjahbana memandangnya sebagai usaha mengacau budaya hukum Indonesia. Karena itu, Pembangunan hukun nasional harus melihat kepada hukum Islam.[38]
Indonesia sebagai suatu negara yang berpenduduk terbanyak beragama Islam. Indonesia adalah suatu negara nasional yaang memiliki dasar dan filsafat Pancasila yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945: “… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipinpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Dilihat dari sudut hukum Islam, maka sila pertama dapat dipahami identik dengan tauhid yang merupakan inti ajaran Islam, dengan pengertian bahwa alam ajaran Islam diberikan toleransi, kebebasan dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi pemeluk agama-agama lain untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Selain itu, negara Republik Indonesia bukan negara sekuler dan bukan pula negara agama.[39]  Sila pertama dipertegas kembali dalam Pasal 29 UUD 1945. Terhadap pasal ini Hazairin dalam salah satu tafsirnya mengatakan: “Dalam negara RI tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat Islam, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani bgai umat Nasrani, kaidah agama Hindu-Bali bagi orang-orang Hindu-Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Budha bagi orang-orang Budha.”[40]
Kitab-kitab suci yang bermuat syari’at (Qur’an, Bible, kitab-kitab Hindu Bali) ada berisikan kesamaan-kesamaan yang dapat dijadikan landasan bersama bagi pembinaan hukum nasional, sedangkan perbedaan-perbedaannya dapat dijadikan sumber bagi hukum-hukum khusus yang hanya berlaku bagi penganut agama masing-masing, seperti hukum khusus bagi umat Islam, hukum khusus bagi bagi umat Nasrani dan hukum khusus bagi umat Hindu-Bali.
Setiap pemeluk agama tentu maklum apa yang diperlukannya secara khusus, dan buat selebihnya  selaras dengan cita-cita unifikasi hukum, dapatlah semua umat yang beragama ditundukkan kepada satu kodifikasi hukum untuk menggantikan pelbagai sistem hukum yang diwariskan oleh kekuasaan kolonial. Kebudayaan normatif ciptaan manusia adalah untergoernet (dikebawahkan) kepada sila yang lebih utama dulu, dalam hal ini Ketuhanan Yang Maha Esa.[41]
D.    Kerangka Pemikiran Pengembangan Hukum Islam di Indonesia.
            Hukum Islam pada dasarnya merupakan hukum yang diderivasikan dari kepercayaan agama Islam. Istilah “Islam” itu sendiri mempunyai arti penyerahan diri (submission), dan orang yang berserah diri itu disebut “Muslim”. Seorang Muslim adalah orang yang menyerah kepada kehendak Tuhan (dalam Islam disebut Allah) yang diwahyukan kepada Muhammad, Nabi terakhir dari sekian banyak nabi-nabi Tuhan. Perintah-perintah Allah tersebut tertulis di dalam al-Qur’an, kitab suci agama Islam.
            Di sini jelas betapa sejak awalnya karakter normatif telah melekat dalam ajaran-ajaran Islam. Dengan demikian, esensi memeluk agama Islam adalah ketundukan kepada Allah, dan mengikuti dengan sadar hukum-hukum-Nya. Dalam kepercayaan Islam, hukum tidak sekadar bangunan sekuler untuk mengatur kehidupan manusia di dunia fana ini tetapi lebih sebagai jalan lurus menuju akhirat, yang diyakini akan kekal dan tidak berujung. Dunia fana ini akan dilanjutkan di akhirat nanti, dan melalui hukumlah kehidupan seorang Muslim akan menjadi benar di kedua kehidupan. [42]
            Elemen-elemen di atas menguatkan karakter Islam sebagai “agama hukum”. Hukum dan teologi pada dasarnya tidak pernah bisa dipisahkan. Dari teologilah institusi hukum itu dibangun dan dengan mentaati hukum aspek teologi dapat dipertahankan. Sistem kepercayaan seperti ini membuat Islam menjadi mirip dengan tradisi agama Yahudi. Memang dalam banyak hal mendasar tradisi Islam dan Yahudi mempunyai logika hukum yang sama.
            Islam memiliki kitab al-Qur’an sebagaimanaYahudi memiliki Taurat, yang kesemuanya dipercayai sebagai ipsissima verba dari Tuhan, sumber hukum yang pertama dan paling utama. Demikian pula, Islam memiliki hadis dan Sunnah Nabi Muhammad, sumber rujukan mengenai perilaku Nabi yang dapat dijadikan rujukan kaum Muslimin memahami kitab suci dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana pula orang Yahudi yang memiliki Mishna sebagai referensi mengenai kehidupan Musa.[43]
            Di sini dapat dipahami bahwa dalam Islam, al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad menjadi dua sumber utama dari semua aturan hukum yang harus ditaati setiap Muslim. Sikap seperti ini dituntunkan dalam al-Qur’an. Misalnya, “… Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44). “… Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.” (QS. Al-Maidah: 45).
            Secara teologis, setiap orang Islam diperintahkan untuk tidak mengambil dari luar Islam jawaban terhadap permasalahan yang ada,karena secara teoretik semua permasalahan tersebut sudah ada solusinya dalam tuntunan agama. Wahyu Allah diturunkan untuk memecahkan permasalahan manusia, karenanya manusia tidak perlu lagi mencari jawaban persoalan yang dihadapi melalui orang lain atau merujuk kepada pengalaman para pendahulu mereka. Karena itu, bagi orang Islam, terdapat hubunganyang tidak terpisahkan antara agama dan hukum. Menjadi orang Islam mengimplikasikan ketaatan kepada hukum yang telah diturunkan oleh Allah, sehingga ketika seseorang menolak mentaati hukum itu, konsekwensinya ia telah berhenti menjadi Muslam. Di sinilah mengapa hukum Islammemberikan perhatian secara khusus terhadap tanggung jawab manusia, karena dari tanggung jawab itulah hak-hak personal dan komunal seseorang akan dapat diberikan.
            Hukum Islam diturunkan dari Tuhan, tetapi dalam proses emanasinya seorang agen diperlukan kehadirannya untuk menjadi mediator antara sumber sakral tersebut (Tuhan) dengan dunia manusia yang fana ini. Sebagai penerima risalah tersebut, Muhammad dipercayai menjadi agen sakral dalam proses emanasi tersebut dimana kehendak Tuhan diterjemahkan ke dalam kosa kata manusia. Dengan demikian, peran nabi dalam Islam sangatlah besar. Ia tidak hanya sebagai utusan Tuhan tetapi juga model peercontohan bagi seluruh umat manusia dalam menjalani hukum Tuhan demi keselamatan hidup mereka di dunia inidan di akhirat nanti.
            Karenanya tidaklah mengherankan kalau kenabian Muhammad memainkan peran yang amat penting dalam tradisi hukum Islam, yang tanpanya tidak akan ada hubungan antara yang sakral dan yang profan, atau antara yang teologi dan hukum. Beberapa ayat al-Qur’an mendukung posisi nabi yang sangat penting ini sebagai referensi bagi setiap orang Islam dalam memecahkan permasalahan hukum, di antaranya: “… apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr: 7).   
            Berangkat dari ayat-ayat di atas, di samping adanya bukti penghormatan para sahabat Nabi begitu dalam terhadapnya, wajarlah jika orang-orang Islam generasi berikutnya beekerja keras untuk memelihara catatan-catatan sabda dan perilaku Nabi. Inilah yang kemudian disebut sebagai hadis. Dari hadis inilah orang-orang beriman dituntun menuju ke arah atau jalan (sunnah) Nabi. Maka dapatlah dipahami, bahwa sebagai sumber hukum, hadis tersebut menempati tempat kedua setelah al-Qur’an .
            Dari kedua sumber itulah para ahli hukum Islam mengembangkan sistem hukum yang kemudian disebut dengan syari’ah. Diambil dari istilah Arab yang berarti “jalan”. Syari’ah mempresentasikan jalan hidup yang telah didesain oleh Allah dan Rasul-Nya untuk kehidupan semua orang Islamdi dunia ini sebagai persiapan untuk kehidupan di akhirat nanti. Namun perlu diperhatikan bahwa dalam akidah Islam Allah merupakan satu-satunya pembuat hukum dan hanya firman-Nya yang wajib ditaati. Sementara fungsi dari Sunnah Nabi adalah sebagai penjelas bagi firman Allah. Namun demikian, dalam praktiknya, kedua elemen sumber syari’ah ini mengatur secara mendalam kehidupan manusia di dunia ini, baik dalam perkara-perkara individual maupun komunal, sebagaimana juga hal-hal yang berhubungan dengan tugas manusia terhadap Tuhan.[44]
            Karenanya kita melihat bahwa hukum dalam kepercayaan Islam mengatur segala sesuatu sesuai dengan kehendak Tuhan. Hal inilah yang menjadikan keimanan Islam dalam beberapa segi unik. Sebagai bagian dari agama, atau bahkan agama itu sendiri, hukum dalam Islam mengatur tidak hanya beberapa bagiandari kehidupan manusia tetapi bahkan keseluruhannya. Ide hukum sebagai entitas yang mencakup segalanya menjadi karakter utama bagaimana Islam memandang kehidupan.[45]
E.     Pengembangan Hukum Islam di Indonesia ke Masa Depan.
Langkah awal yang dilaksanakan oleh para pembaru hukum Islam di Indonesia adalah mendobrak paham ijtihad telah tertutup, dan membuka kembali kajian-kajian tentang hukum Islam dengan metode komprehenshif yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Para pembaru juga harus berusaha agar hukum Islam tetap eksis sepanjang zaman. Paham yang mengatakan lebih baik bertaklid daripada membuat hukum baru, segera harus dihilangkan. Para pembaru harus mengusahakan agar hukum Islam menjadi salah satu sumber hukum nasional dan dapat menjadi pedoman dalam berbangsa dan bernegara.[46]
Hasbi ash-Shiddieqy adalah orang pertama yang mengeluarkan gagasan agar fiqih yang diterapkan di Indonesia harus berkepribadian Indonesia. Untuk mewujudkan hal itu perlu dibuat Kompilasi Hukum Islam. Beliau mendirikan Lembaga Fiqih Islam Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta. Lembaga ini telah banyak memberikan kontribusi dalam kajian perubahan hukum Islam yang bercorak Indonesia. Hasil kajian fiqih ini merupakan salah satu kajian lebih lanjut oleh mahasiswa IAIN Yogyakarta dalam kurun waktu tahun 60-an. Menurut Hasbi as-Shiddieqy, dalam rangka pembaruan hukum Islam di Indonesia perlu dilaksanakan metode talfiq  dan secara selektif memilih peendapat mana yang paling cocok dengan kondisi negara Indonesia. Di samping itu, perlu digalakan metode komparasi, yaitu metode memperbandingkan satu pendapat dengan pendapat yang lain dari seluruh aliran hukum yang ada atau yang pernah ada, dan memilih yang lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran serta didukung oleh dalil yang kuat.[47]
Kajian komparasi ini hendaknya dilakukan juga antara fiqih dengan hukum adat dan hukum positif Indonesia, juga dengan syari’at agama lain. Sehubungan dengan hal ini, seorang yang ingin melakukan kajian komparasi hendaknya meempunyai pengetahuan yang luas dalam berbagai ilmu pengetahuan dan juga mengetahui secara lengkap tentang berbagai masalah fiqih.[48]
Dilihat dari kenyataan normatif yang ada (das sollen), maka Indonesia mempunyai sebuah hukum nasional yang teridiri dari UUD, undang-undang dan peraturan lainnya yang berlaku dalam wilayah negara Republik Indonesia, tetapi dari segi kenyataan alamiah (das sein) apakah norma-norma hukum tersebut betul-betul jalan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara masih merupakan persoalan besar. Masalah lainnya, hukum yang kita pandang nasional tidak melambangkan sebagai satu kesatuan dilihat dari segi sejarah, asal usul dan filsafatnya.[49]
Sewaktu Indonesia memprokllamasikan kemerdekaannya, satu-satunya hukum nasional adalah UUD 1945 yang disusun dalam masa relatif pendek, dan karena itu memiliki berbagai kelemahan, sehingga pada era reformasi, konstitusi Indonesia telah tiga kali mengalami amademen dan untuk masa datang akan disempurnaakan secara terus menerus. Sementara itu, sumber hukum yang lebih  rendah berupa undang-undang, peraturan-peraturan, sistem pemerintahan, sistem peradilan dan lain-lain masih mewarisi apa yang ditinggalkan oleh kaum kolonial. Pemerintah kolonial juga mewariskan apa yang mereka pandang sebagai hukum adat, di samping pengakuannya terhadap hukum Islam sebagai perdata khusus yang berlaku bagi umat Islam. Dengan demikian, para ahli hukum pada umumnya mengatakan bahwa hukum nasional Indonesia pada waktu ini bersumber atau mencerminkan tiga sistem hukum: Barat, Adat, dan Islam.[50]
Dari ketiga sistem hukum ini, maka hukum Islam mempunyai peluang untuk mengisi hukum nasional karena beberapa pertimbangan. Pertama, apabila disepakati dengan adat yang mempunyai implikasi hukum, maka hukum adat di samping klaim sebagai hukum yang berciri Indonesia, ia lebih bersifat kesukuan (ethnicity), kecuali adat yang benar yang merupakan sumber komplementer hukum Islam. Karena itu, hukum adat yang tidak mencerminkan keadilan, kemanusiaan dan kebersamaan berpotensi untuk sektarianisme dan disintegrasi bangsa, cenderung ditinggalkan oleh masyarakat seiring dengan berkembangnya arus migrasi, akulturasi dan modernisasi.
Kedua, hukum Barat sebagai hukum asing menggambarkan sejarah dan norma-norma bangsa Eropa yang belum tentu sejalan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia. Selain itu, Hukum Barat zaman kolonial dirancang sebagai bagaian dari politik kolonial untuk mempertahankan kekusaan asing di bumi nusantara. Dengan meningkatnya rasa kebangsaan di masa depan, maka hukum yang berasal dari Barat akan diterima dengan sangat selektif, hanya bila itu sesuai dengan rasa keadilan dan norma-norma bangsa Indonesia.
Ketiga, hukum Islam mencermnkan norma-norma bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Sebelum Nusantara dipersatukan oleh sebuah Pemerintah Kolonial Belanda, hukum Islam terlebih dahulu telah menyatukan mayoritas rakyat Indonesia. Segi lain yang memantapkan hukum Islam adalah sifat diyani  yang dikandungnya di samping sifat qadha’i karena berasal dari hukum agama yang tidak hanya mengikat manusia sebagai makhluk sosial, tetapi lebih-lebih lagi karena berhubungan dengan keyakinan kepada Tuhan Yang Mahatinggi bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan keburukan akan dibalas dengan keburukan, baik di dunia maupun di akhirat. Ini merupakan sebuah keyataan bahwa hukum Islam telah menjadi bagian hukum positif Indonesia.
Faktor lain yang memberi peluang kepada hukum Islam sebagai solusi adalah sanksi hukumnya yang bersifat menjerakan. Ini terutama dapat dilihat dari sanksi kejahatan-kejahatan terhadap jiwa raga, akal fikiran, keturunan, agama dan harta benda. Salah satu ciri hukum peidana Islam adalah pembalasan yang setimpal atas kejahatan yang dilakukan dengan pengertian bahwa hilang nyawa harus diganti dengan nyawa (QS. al-Maidah: 45, QS. al-Baqarah: 178) dan permusuhan dibalas dengan permusuhan setimpal (QS. al-Baqarah: 194). Para penjahat akan berfikir seribu kali sebelum melakukan kejahatan karena kalau ia membunuh, maka ia juga akan dibunuh melalui proses hukum. Sanksi atas pidana berat (hudud) akan memberikan rasa takut kepada warga untuk melakukan kejahatan dan sekaligus akan membuat masyarakat menjadi aman. Karena itu, bila dipikirkan dengan mendalam, sanksi berat terhadap pelanggaran berat sebenarnya memberikan kehidupan kepada masyarakat secara umum. Al-Qur’an menyatakan bahwa bagi orang yang mempunyai pemikiran, hukuman qishash memberikan kehidupan (QS. al-Baqarah: 179). Dengan menghabisi serang penjahat yang menghabisi nyawa orang lain melalui proses hukum, beribu-ribu nyawa dapat diselamatkan dari perbuatan melanggar hukum.[51]
Pengembangan hukum Islam di Indonesia yang paling dominan adalah pengembangan yang dilakukan melalui pembentukan perundang-undangan dan putusan peradilan agama sebagai hasil ijtihad para hakim. Di samping itu, kajian yang dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi di Indonesia juga berperan dalam pengembangan hukum Islam, terutama melalui berbagai kajian ilmiah.[52] Oleh karena itu, prinsip yang wajar yang harus dipegang dalam pengembangan hukum Islam adalah adagium: “al-Muhaafadhatu ‘alal qadiimish shaalih wal akhdu bil jadiidil ashlah”.  “Memelihara keadaan yang lama yang maslahat dan mengambil yang baru yang lebih maslahat.”[53]




BAB III
PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG KEWARISAN DI INDONESIA

A.    Asas-Asas Hukum Kewarisan
      Pertama, asas ijbari (compulsory), bahwa peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Oleh karena itu, calon pewaris tidak perlu merencanakan penggunaan hartanya setelah ia meninggal dunia, karena dengan kematiannya secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan perolehan yang sudah dipastikan.
      Kedua, asas bilateral, bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari pihak keturunan laki-laki dan dari pihak keturunan perempuan. Seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari ayah-ibunya, demikian pula halnya dengan seorang perempuan.
      Ketiga, asas individual, bahwa harta warisan dapat dibagikan kepada ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan. Dalam pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang menerimanya menurut kadarnya masing-masing. Dengan asas ini tidak mengenal kewarisan kolektif seperti yang berlaku pada masyarakat tertentu.
      Keempat, asas keadilan berimbang, bahwa harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Harta peninggalan yang diterima ahli waris hakekatnya merupakan pelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya. Oleh karena itu, perbedaan bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing terhadap keluarga.
      Kelima, asas akibat kematian, bahwa kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia. Peralihan harta seseorang kepada orang lain sebagai ahli warisnya dengan alasan kewarisan baru terjadi setelah orang yang mempunyai harta meninggal dunia. Segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik secara langsung maupun akan dilaksanakan kemudian tidak termasuk katagori kewarisan.[54]  
B.     Kerangka Teologis Hukum Kewarisan.
Hukum waris merupakan salah satu aspek substantif hukum Islam yang tidak terpisahkan dari unsur sakral. Karenanya, tidak mengherankan jika Nabi sendiri memberi nilai yang sangat tinggi terhadap aturan waris. Penguasaan terhadap ilmu hukum waris sama dengan menguasai setengah dari ilmu-ilmu yang berguna di dunia ini, yang karenanya setiap orang Islam dianjurkan untuk mempelajarinya. Dapatlah dipahami jika para ahli hukum Islam sejak masa klasik senantiasa memberikan perhatian yang besar dalam buku-buku fiqh mereka mengenai sistem hukum waris ini. Terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang mengatur hukum waris pada hakikatnya merefleksikan nilai-nilai ilahiyah dalam praktik warisan Islam.
Namun demikian, dalam hal ini juga harus disadari bahwa banyak dari ayat-ayat tersebut tidak sepenuhnya menghapus tradisi hukum waris masyarakat Arab pra-Islam yang telah lama berlaku sebelum masa Nabi Muhammad. Fungsi ayat-ayat al-Qur’an yang demikian lebih sebagai struktur yang melengkapi adat masyarkat Arab yang berlaku saat itu, utamanya untuk mereformasi praktik kewarisan dalam masyarakat dengan pertolongan wahyu, dan bukannya mengubah keseluruhan institusi hukum waris tersebut. Karenanya, melalui reformasi ini elemen-elemen sakral dan profan dapat disatukan secara kreatif sehingga kedua unsur dapat eksis bersama, meskipun dalam beberapa segi tetap berbeda.[55]
Hukum waris Islam dapat dikarakteristikan sebagai sistem “warisan nir-wasiat” (intestate disposition) dalam arti harta warisan tersebut tidak dapat dibagikan sesuai dengan kemauan pewarisnya melainkan si pewaris harus mengikuti sepenuhnya aturan-aturan Tuhan mengenai pembagian tersebut. Ini tentu saja bertentangan dengan tradisi saat itu, di mana dalam proses pembagian harta warisan, si pewaris bebas sepenuhnya untuk menentukan kepada siapa dan berapa banyak harta yang akan diwariskan (testamentary disposition). Nabi Muhammad, saat berhadapan dengan institusi adat semacam itu, tampaknya lebih cenderung untuk menggunakan pendekatan gradual. Karena itu, Nabi tidak berkeinginan untuk mempertahankan tradisi warisan semacam itu tetapi beliau kemudian memberikan jalan keluarnya dengan cara mempertahankannya lewat institusi wasiat. Hal ini terefleksi dalam firman Tuhan, di mana kaum Muslimin diperintahkan untuk membuat wasiat kepada kedua orang tua dan anggota keluarga yang lain, namun kemudian pada kesempatan yang lain Tuhan juga menentukan secara terperinci para penerima warisan (ahli waris) di mana kedua orang tua dan beberapa anggota keluarga juga disebutkan di dalamnya.[56]
C.    Pembentukan Undang-Undang Kewarisan di Indonesia.
Sistem hukum Idonesia mengikuti tradisi hukum yang diwariskan oleh Belanda, dan karena Belanda pernah dijajah oleh Perancis mewarisi tradisi civil law, terutama kode Napoleon. Ciri utama civil law adalah peraturan perundang-undangan yang kodifikasi. Sementara itu, hukum Islam walaupun mempunyai sumber-sumber tertulis pada al-Qur’an, as-Sunnah dan pendapat para fuqaha, pada umumnya tidak terkodifikasi dalam bentuk buku perundang-undangan yang mudah dirujuki. Para hakim sejak zaman Nabi Muhammad tidaklah memutus perkara yang dihadapkan kepada mereka berdasarkan pasal-pasal yang jelas dari kitab undang-undang yang sudah baku, tetapi berdasarkan hukum umum yang disarikan dari tiga sumber tertulis di atas.
Karena itu, dari sudut ini, sistem peradilan Islam lebih mirip dengan tradisi common law (hukum umum) yang berlaku di Inggris dan negara-negara commonwealth. Bahkan di zaman Raffles, peradilan Islam di Jawa, yaitu peradilan surambi yang mengambil tempat di serambi masjid agung, pernah menggunakan sistem jury, tetapi setelah pemerintahan kembali ke tangan Belanda sistem jury yang menjadi ciri pengadilan common law ditiadakan.[57]
Selanjutnya dalam alam Indonesia merdeka, kepastian hukum terus ditentukan oleh peraturan perundangan-undangan. Sejak diundangkannya UU No.14 Tahun 1970 pembinaan peradilan secara organisatoris dan finansial sudah mendapat pijakan yang kuat, dalam hal ini untuk peradilan agama baru dapat terlaksana sejak tahun 1983 (SKB Menag dengan Ketua MA). Sedangkan untuk kepastian hukum dalam bidang kewarisan dalam bentuk undang-undang belum ada yang terkodifikasi secara universal, termasuk undang-undang kewarisan Islam.
Hukum Islam ada yang bersifat diyani (misalnya thaharah, bersuci) dan ada yang bersifat qadhai (berhubungan dengan penegakkan sistem peradilan), dimana dalam penegakannya banyak tergantung kepada kekuasaan negara, administrasi pemerintahan dan aparat penegak hukum. Salah satu dalam katagori ini adalah penegakan hukum kewarisan Islam.
Idealnya undang-undang kewarisan dapat terkodifikasi secara universal tapi sangat sulit terwujud dalam konteks negara Republik Indonesia, kecuali undang-undang tersebut beralih status menjadi undang-undang semi sektoral. Hal ini dapat dibentuk dan diwujudkan dengan berkaca pada pembuatan undang-undang perkawinan. 
Mengapa semi sektoral. Dengan mempertimbangkan asas-asas kewarisan Islam tersebut di atas, ada nilai-nilai universal yang ada pada setiap ajaran agama yang dianut oleh warganegara Indonesia, namun terhadap nilai-nilai parsial yang tidak dapat dikompromikan maka dapat ditundukkan kepada ajaran agama masing-masing, apabila dalam ajaran agama tersebut mempunyai pranata sosial yang berkaitan hukum kewarisan.
Kompetensi absolut peradilan agama dalam bidang kewarisan belum terkodifikasi secara universal dalam sebuah undang-undang, dan dalam penegakannya digunakan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan kekuatan legalitas formal berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, dan merupakan hukum terapan di lingkungan peradilan agama, dengan berpijak pada adagium kaidah ushuliyah: “ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh”. Undang-undang Kewarisan belum ada, maka KHI jangan ditinggalkan.
Bagaimana mempersiapkan terbentuknya undang-undang kewarisan. Hukum Islam sebagai hukum yang hidup di Indonesia didukung oleh pemahaman ahli hukum, leteratur hukum, serta pendidikan hukum formal dan nonformal. Semuanya saling berhubungan dengan dunia Islam yang lain. Sekalipun umat Islam Indonesia sering disebut bermazhab Syafi’i, pemikiran hukum Islam yang berkembang di tengah masyarakat juga mencakup mazhab-mazhab yang lain.[58]
Pengembangan hukum Islam, termasuk di dalamnya hukum kewarisan, dapat ditempuh melalui empat program, baik secara parsial maupun secara masip, yaitu: Pertama, melalui proyeksi penyusunan ensiklopedi hukum. Pertama kali muncul gagasan untuk menyusun ensiklopedi fiqh adalah dalam Konferensi Fiqh Islam Internsional yang dilaksanakan di Paris tahun 1951. Hasil dari konferensi ini dijadikan momentum dalam menjadikan fiqh sebagai ilmu hukum Islam sesuai dengan gaya bahasa modern dan kamus yang sesuai dengan perkembangan zaman.
 Kedua, Melalui proyeksi pembentukan undang-undang. Pembaruan dan pengembangan hukum Islam melalui proyek ini dimulai pada abad ke-16 ketika Sultan Salaim I dari Dinasti Ustmaniyah berkuasa mengeluarkan faramana (titah raja) tentang keharusan mufti dan hakim dalam memutus perkara wajib berpegang pada mazhab Hanafi.
 Ketiga, melalui proyeksi fatwa. Pengembangan hukum Islam melalui proyek ini mencakup lapangan yang sangat luas dan kompleks. Oleh karena itu, fatwa-fatwa hukum Islam dalam berbagai bidang telah dilakukan oleh lembaga resmi yang dibentuk oleh lembaga internasional dan juga oleh lembaga resmi yang dibentuk oleh seluruh negara Islam. Selain itu, ada juga fatwa-fatwa hukum  yang dikeluarkan melalui media massa, elektronik, dan majalah-majalah. Ada juga fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleeh lembaga organisasi Islam, lembaga riset perguruan tinggi dan organisasi lokal.
 Keempat, melaui kajian ilmiah dan penelitian. Pada akhir abad ke-20 para ulama sangat giat mendirikan kelompok ilmiah dan pusat kajian Islam dengan tujuan menyebarkan pengajaran syariat ke seluruh dunia. Salah satu kelompok kajian hukum Islam yang terkenal adalah Kajian Islam Universitas Al-Azhar Cairo yang didirikan pada tahun 1961. Anggotanya terdiri dari para ulama besar yang memiliki wawasan keilmuan yang luas dalam bidang hukum dan perundang-undangan Islam. Mereka mewakili para ulama dari seluruh negara Islam.
Kelompok ini melakukan sidang tahunan dengan mewajibkan anggotanya mengajukan kajian hukum Islam kontemporer, terutama dalam bidang mu’amalah dan hukum-hukum keluarga. Hasil dari kajian kelompok ini telah disebarkan ke negara Islam di seluruh dunia.


BAB IV
SUMBANGAN PARA FUKAHA DALAM PENGEMBANGAN HUKUM EKONOMI DAN PEMERINTAHAN DI INDONESIA

A.    Sumbangan para Fukaha dalam Pengembangan Hukum Ekonomi.
1.      Para founding father (pendiri republik ini) yang juga berperan sebagai ulama (fukaha) seperti KH. Hasyim Asy’ari dan H. Agus Salim yang telah merumuskan UUD 1945, dimana melalui Pasal 29 menjadi landasan munculnya peraturan perundangan-undangan dalam bidang ekonomi yang Islami.
2.      Para ulama memberikan masukan dalam perumusan UU No.5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria, dimana di dalamnya ada rumusan tentang wakaf tanah hak milik. Rumusan muatan hukum wakaf lebih kokoh dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang wakaf.
3.      Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah memperteguh sumbangsih para fukaha dalam pengembangan hukum ekonomi yang bernafaskan ajaran Islam. Undang-undang ini didahului dengan lahirnya undang-undang tentang Bank Indonesia yang merumuskan adanya bank dengan konsep bagi hasil bukan dengan konsep bunga (ribawi).
4.      Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Zakat,  merupakan hasil kerja keras para fukaha dalam menata ekonomi umat demi terwujudnya kesejahteraan umat.
5.      Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang memperluas kewenangan absolut peradilan agama berupa kewenangan mengadili sengketa ekonomi syari’ah. Tentu rumusan dalam undang-undang ini tidak luput dari campur tangan para fukaha.
6.       Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang di dalamnya dirumuskan tentang waris, wakaf, infak, dan shadaqah merupakan ijtihad para fukaha Indonesia yang khas.
7.      Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) sebagai hukum terapan yang diperkuat dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 yang tentunya tidak pernah lepas dari tangan dingin para fukaha.
B.     Sumbangan para Fukaha dalam Pengembangan Hukum Pemerintahan.
1.      Para founding father (pendiri republik ini) yang juga berperan sebagai ulama (fukaha) seperti KH. Hasyim Asy’ari dan H. Agus Salim yang telah merumuskan UUD 1945, dimana melalui Pasal 24 menjadi landasan munculnya peraturan perundangan-undangan dalam bidang pemerintahan yang Islami, misalnya munculnya lingungan peradilalan agama. Hal ini diperkuat dengan undang-undang tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman dan undang-undang tentang Mahkamah Agung dimana peradilan agama ada di dalamnya.
2.      Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Nanggro Aceh Darusslam yang memberikan perlakuan khusus berlakunya Syari’at Islam walau terbatas yang tidak luput dari smbang saran para fukaha. Undang-undang ini merupakan perluasan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.
3.      Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang memberikan landasan Islami dalam menyelenggarakan pemerintahan melalui jalur judikatif yang tentunya muatan dalam undang-undang ini diijtihadi oleh para fukaha.
4.      Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dua kali melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 memperkokoh pelenggaraan pemerintahan melalui jalur judikatif yang tentunya materi muatannya tidak lepas dari kawalan ijtihad para fukaha.
5.      Penyelenggaraan ibadah haji pun menjadi bukti adanya campur tangan ijtihadi para fukaha dimana pengaturannya sudah dalam bentuk undang-undang.




DAFTAR PUSTAKA

Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dan Tata Hukum Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 1994

Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia Ditinjau dari Aspek Metodologis, Legalisasi, dan Yurisprudensi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006

A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam  dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006

Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Reffleksi Sejarah, Mizan Pustaka, Bandung, 2009

Departemen Agama RI., Mushaf Al-Qur’an dan Terjemah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2009, hlm. 275.

---------------, Syaamil Al-Qur’an (Terjemah Per-kata Type Hijaz), Cipta Media, Bandung, 2007.

Hazairin, Demokrasi Pancasila, Rineka Cipta, Jakarta, 1990

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, I’lamul Muwaqi’in (Panduan Hukum Islam), Pustaka Azzam, Jakarta, 2000

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009

Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat-Ayat Hukum Dalam Al-Qur’an, Jilid I, Al-Ma’arif, Bandung, 1994

Muhammad Yusuf Qardhawi, Al-Halal Wal Haram Fil Islam  (Halal Dan Haram Dalam Islam), Bina Ilmu, Surabaya, 1980

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Volume 1, Lentera Hati, Ciputat, 2009

---------------, Tafsir Al-Mishbah, Volume 2, Lentera Hati, Ciputat, 2009

---------------, Tafsir Al-Mishbah, Volume 3, Lentera Hati, Ciputat, 2009

---------------, Tafsir Al-Mishbah, Volume 10, Lentera Hati, Ciputat, 2009
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2003

Muhammad Yusuf Qardhawi, Al-Halal Wal Haram Fil Islam (Halal Dan Haram Dalam Islam), Bina Ilmu, Surabaya, 1980

Nourrouzzaman as-Shiddieqy, Fiqih Indonesia, Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1997

Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia, Pustaka Alvabet, Ciputat, 2008

Rifyal Ka’bah, Penegakan Syari’at Islam di Indonesia, Khairul Bayan, Jakarta, 2004



0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com